TRIBUNJATENG.COM, JEPARA - Di bawah terik matahari, langkah demi langkah ditempuh puluhan buruh Jepara sejak Senin (22/12/2025) pagi.
Dari depan PT SAMI JF di Desa Sengonbugel, Kecamatan Mayong, mereka berjalan kaki sejauh 22 kilometer menuju Kantor Bupati Jepara.
Perjalanan panjang itu memakan waktu hampir delapan jam.
Baca juga: Pabrik Garmen Pemalang Beroperasi Lagi, Wakapolri Turun Langsung Salurkan Sembako untuk Ribuan Buruh
Sebagian buruh tampak kelelahan.
Kaki dibalut sandal tipis, ransel kecil berisi air minum di punggung, dan wajah yang memerah oleh panas tak menyurutkan langkah mereka.
Bagi para buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Jepara Raya, longmarch ini adalah bentuk ikhtiar terakhir untuk menyuarakan kebutuhan hidup yang kian berat.
Mereka berangkat sekitar pukul 08.00 WIB dan baru tiba di pusat pemerintahan Jepara sekitar pukul 14.00 WIB.
Setibanya di depan gerbang Kantor Bupati, suasana sempat memanas ketika massa aksi mencoba masuk dan dicegah aparat keamanan.
Namun ketegangan itu tak berlangsung lama.
Bupati Jepara Witiarso Utomo bersama jajaran Organisasi Perangkat Daerah (OPD) akhirnya menemui para buruh dan menggelar audiensi langsung di Ruang Bupati.
Ketua FSPMI Jepara Raya, Yopi Priambudi, menyampaikan bahwa langkah panjang yang ditempuh buruh bukan tanpa alasan.
Ada dua tuntutan utama yang mereka bawa dengan kaki dan keringat, penetapan Upah Minimum Kabupaten (UMK) Jepara 2026 dengan indeks alpha 0,9, serta pemberlakuan Upah Minimum Sektoral Kabupaten (UMSK) 2026.
“Kalau memakai alpha 0,7, itu masih jauh dari Kebutuhan Hidup Layak. Kami yang merasakan langsung di lapangan,” kata Yopi dalam audiensi.
Ia menjelaskan, berdasarkan hasil rapat Dewan Pengupahan pada Jumat (19/12/2025), nilai alpha yang disepakati adalah 0,7.
Bagi buruh, angka itu belum cukup untuk menutup kebutuhan dasar seperti pangan, sewa rumah, pendidikan anak, dan transportasi.
Tak hanya soal UMK, UMSK juga menjadi isu krusial bagi para buruh.
Yopi menegaskan, UMSK penting untuk mencerminkan perbedaan beban kerja dan risiko antar sektor industri.
“UMSK ini untuk membedakan kinerja dan karakter perusahaan. Tidak adil kalau buruh garmen, tekstil, kabel disamakan dengan sistem borongan. Bebannya beda,” ujarnya.
Meski Dewan Pengupahan merekomendasikan pembahasan UMSK 2026 untuk penerapan tahun 2027, FSPMI Jepara Raya tetap meminta agar UMSK tidak dihapus pada 2026.
Baca juga: Aksi Buruh Kabupaten Semarang soal UMK 2026 Hari Ini Ditunda, Segini Tuntutan Kenaikannya
“Kami tidak menolak kajian. Tapi 2026 UMSK tetap harus ada. Kalau mau dibahas lagi untuk 2027, kami siap,” tutupnya.
Di luar ruang pertemuan, sisa kelelahan masih tampak di wajah para buruh, namun langkah panjang hari itu telah membawa suara mereka lebih dekat ke pusat pengambilan keputusan. (Ito)