TRIBUN-BALI.COM — Monumen Perjuangan Rakyat Bali (MPRB), bersiap melangkah ke era digital melalui program digitalisasi koleksi.
Upaya ini dilakukan untuk memperluas aksesibilitas publik, sekaligus melestarikan koleksi-koleksi yang rentan rusak dengan menghadirkan salinan digital.
Selain menjaga keberlanjutan arsip sejarah, digitalisasi juga diharapkan meningkatkan pengalaman pengunjung, memperkuat fungsi edukasi dan riset, serta menjaga relevansi museum di tengah arus teknologi yang kian pesat.
Langkah awal digitalisasi ditandai dengan penyelenggaraan seminar bertajuk “Strategi Digitalisasi Koleksi Subak dalam Mendukung Pelestarian Budaya dan Pameran Sri Nadi”, yang digelar UPTD Monumen Perjuangan Rakyat Bali, Senin (22/12/2025).
Seminar ini menghadirkan Pamong Budaya Ahli Utama Drs. Siswanto, M.A., CEO & Founder MySkill Angga Fauzan, serta akademisi ITB Stikom Bali I Made Suandana Astika Pande, S.Kom., M.Kom.
Baca juga: SUBAK Tak Hanya Irigasi Pertanian, Monumen Perjuangan Rakyat Bali Melangkah ke Era Digital
Baca juga: SUBAK Tak Hanya Irigasi Pertanian, Monumen Perjuangan Rakyat Bali Melangkah ke Era Digital
Direktur Sejarah dan Permuseuman Kementerian Kebudayaan RI, Prof. Dr. Agus Mulyana, M.Hum., menegaskan digitalisasi merupakan langkah strategis untuk menjaga jejak kearifan lokal, khususnya subak sebagai warisan budaya masyarakat Bali.
Subak tidak hanya sistem irigasi pertanian, tetapi juga ruang praktik nilai-nilai budaya, kepercayaan, dan ritual yang mencerminkan harmoni hubungan manusia dengan alam.
“Dalam praktik subak terdapat berbagai seremoni berbasis budaya dan keyakinan yang menunjukkan harmonisasi manusia dan alam. Di era modern saat ini, relasi itu mulai terganggu, bahkan memicu bencana. Karena itu, digitalisasi penting agar kearifan lokal ini terdokumentasi dan tidak hilang,” ujarnya.
Ia menambahkan, pengakuan subak sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO bukan sekadar simbol, melainkan tanggung jawab untuk melakukan pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan.
“Pelestarian berbasis digital diharapkan menjadi pembelajaran bagi generasi muda, sekaligus fondasi membangun modernisasi yang berakar pada budaya,” tegasnya.
Pemerintah pusat, kata Agus, siap mendukung melalui penguatan sarana prasarana, alokasi anggaran, hingga program revitalisasi yang direncanakan berlanjut pada 2026.
Sementara itu, Kepala UPTD Monumen Perjuangan Rakyat Bali, Gede Nova Widiarta, SSTP, MAP, menilai digitalisasi museum menjadi pintu masuk efektif untuk menarik minat generasi muda.
MPRB, kata dia, tengah merancang museum digital agar masyarakat tidak hanya melihat koleksi secara konvensional, tetapi dapat mengakses narasi dan makna sejarah secara lebih interaktif.
“Ke depan, museum tidak hanya soal melihat koleksi fisik. Digitalisasi memungkinkan pengunjung, khususnya pelajar, memahami kisah perjalanan Bali hingga masa kemerdekaan secara lebih aktual dan menarik. Kami berharap program ini dapat mulai diimplementasikan tahun depan,” ujarnya.
Dukungan terhadap digitalisasi juga tercermin melalui pameran Sri Nadi di Monumen Bajra Sandhi yang dikuratori Kadek Wahyudita.
Susan, salah satu wisatawan mancanegara yang mengunjungi pameran tersebut, menilai Sri Nadi sebagai komunikasi mendalam tentang budaya subak Bali yang telah berusia lebih dari 1.000 tahun. Pameran ini, menurutnya, menegaskan makna hidup kolektif manusia yang selaras dan penuh hormat terhadap Bumi.
Kadek Wahyudita, salah satu pemerhati budaya sekaligus kurator menekankan konsep pengemong pengasuhan, bukan kepemilikan dalam relasi manusia dengan alam.
“Keberadaan kita di atas Ibu Pertiwi bersifat sementara. Kita tidak benar-benar memiliki apa pun, melainkan merawat,” ungkapnya.
Nilai-nilai inilah yang dinilai perlu diwariskan kepada generasi muda melalui berbagai medium kreatif, mulai dari cerita, permainan, hingga platform digital. Dengan digitalisasi koleksi dan narasi budaya, MPRB berharap museum tak sekadar menjadi ruang penyimpanan sejarah, tetapi juga jembatan yang menghubungkan warisan leluhur dengan masa depan. (*)