Laporan Reporter Tribun Jogja Christi Mahatma Wardhani
TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Diskusi dan bedah buku Reset Indonesia di Madiun dibubarkan aparat kepolisian dan perangkat pemerintah setempat.
Buku Reset Indonesia merupakan karya kolektif yang ditulis oleh Dandhy Laksono, Farid Gaban, Yusuf Priambodo, dan Benaya Harobu.
Menurut Kepala Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD) Universitas Islam Indonesia (UII) Prof. Dr.rer.soc. Masduki, S.Ag., MSi, pembubaran kegiatan tersebut menunjukkan pemerintah, khususnya aparat keamaan anti science atau anti pengetahuan.
"Jadi mereka seperti sangat mengkhawatirkan bahwa produksi pengetahuan, distribusi pengetahuan, diseminasi pengetahuan itu menimbulkan bahaya atau pengaruh pada ideologi tertentu," katanya, Senin (22/12/2025).
Ia menilai pembubaran diskusi dan bedah buku berlawanan dengan mandat konstitusi. Memproduksi buku seperti Dandhy Laksono dan kawan-kawan merupakan hak warga negara. Mendapatkan pengetahuan yang disebarluaskan dari buku itu juga hak warga negara.
Sementara bedah buku dipandang sebagai forum pencerdasan, yang menjadi bagian dari kerja-kerja ilmu pengetahuan.
"Dan kalau dirujuk pada konstitusi kita, Undang-undang 1945, apapun produk pengetahuannya itu akan berkorelasi dengan pencerdasan atau mandat mencerdaskan kehidupan bangsa itu. Jadi apa yang dilakukan aparat itu sebenarnya berlawanan dengan mandat konstitusi," terangnya.
Masduki juga memandang pembubaran diskusi dan bedah buku di Madiun sebagai menghalangi kebebasan berekspresi warga negara.
Ia menilai menyampikan pendapat maupun kritik bisa dilakukan melalui media apapun, termasuk lewat buku maupun diskusi.
"Jadi kebebasan berekspresi ini kemudian menjadi terancam, hanya gara-gara aksi pembubaran diskusi yang sebetulnya kebebasan berekspresi. Itu (kebebasan berekspresi) juga dilindungi undang-undang," ujarnya.
Pembubaran diskusi dan bedah buku mestinya tidak perlu terjadi. Menurutnya tindakan pemerintah termasuk aparat keamanan berlebihan. Tindakan represif mestinya sudah ditinggalkan, bukan malah kembali ke era Orde Baru.
Ia khawatir tindakan berlebihan serupa dapat menimbulkan penyakit psikologis masyarakat, yang membut masyarakat takut berpendapat.
"Akan meningkatkan fear of criticism, semakin meningkatkan ketakutan-ketakutan atau istilahnya penyakit psikologis. Masyarakat khawatir berlebihan terhadap hak-hak mereka atau keinginan mereka untuk menjadi warga negara yang kritis," imbuhnya.
"Kalau ini terjadi di warga negara kita, maka kita akan kehilangan satu fungsi penting dalam sistem demokrasi, yaitu fungsi kontrol atau fungsi watchdog. Ini nanti akan mengalami pematian, pendangkalan, bahkan mungkin warga negara mengalami penundukan pada rezim. Sesungguhnya rezim itu selalu kan melakukan atau cenderung bisa melakukan tindakan yang buruk, karenanya harus dikontrol," pungkasnya. (maw)