Oleh : Said Abdullah , Ketua DPP PDI Perjuangan
SURYAMALANG.COM - Wacana menggeser dari Pilkada langsung menjadi kepala daerah dipilih oleh DPRD perlu di kaji mendalam.
Jangan sampai kita membuat kebijakan berdasarkan selera politik sesaat.
Kajian mendalam digunakan agar sebuah kebijakan menjawab akar masalah dan didasarkan pada kepentingan publik lebih luas.
Baca juga: Said Abdullah : Red Talk, Anak Muda Jatim Keren sebagai Fondasi Pembaruan Strategis Partai
Pelaksanaan Pilkada langsung yang kita jalani saat ini memang disertai sejumlah masalah, seperti ongkos Pilkada yang dikeluarkan oleh kandidat sangat tinggi.
Untuk mengurai masalah ongkos biaya tinggi Pilkada tidak serta merta bisa diselesaikan dengan Pilkada lewat DPRD, itu jumping conlusion.
Esensi Pilkada langsung adalah keterlibatan langsung dalam memilih pemimpin di daerah, jika di ganti DPRD, maka pemilihannya di wakilkan oleh DPRD.
Langkah ini bisa membengkokkan aspirasi rakyat di daerah, karena bisa jadi antara kepentingan DPRD dengan rakyat atas figur kepala daerah bisa berbeda.
Untuk mengatasi ongkos Pilkada langsung yang mahal, kita bisa merevisi UU Pilkada dengan memperkuat penegakkan hukum atas politik uang.
Kita berbusa- busa menyampaikan biaya Pilkada langsung mahal, tetapi kita tidak membenahi sistem penegakan hukumnya.
Untuk itu saya menawarkan, pembenahan hukum, kita perlu criminal justice system dalam kontek pelanggaran hukum pemilu, yang didominasi oleh politik uang.
Kita perlu perkuat Bawaslu, mereka harus memiliki aparat penyidik independen, atau bisa melibatkan KPK khusus dalam penanganan politik uang.
Yang menerima dan yang memberi bisa di sanksi pidana lebih berat, dan kandidatnya di batalkan pencalonannya.
Pada saat yang sama perlu ada peradilan ad hoc khusus untuk penanganan politik uang di setiap daerah.
KPK dan Bawaslu bisa melibatkan para akademisi dan praktisi hukum sebagai penyidik ad hoc dalam penanganan politik uang.
Baca juga: Said Abdullah : Prabowo Subianto Konsisten dengan Sistem Pertahanan Semesta
Karena Pilkada dan Pemilu serentak, maka politik uang bisa berlangsung massif, sistematis dan serentak, olah sebab itu perlu aparatus yang juga kredibel, dan berjumlah banyak.
Langkah ini bisa menimbulkan efek jera, baik pemberi maupun penerima politik uang, sehingga peluang kandidat memenangkan Pilkada dengan biaya murah peluangnya lebih besar.
Kedua; dari sisi masyarakat perlu di edukasi, bahwa menerima politik uang adalah pidana, dan merusak demokrasi, menghambat peluang daerah mendapatkan pemimpin yang baik, berintegritas dan jujur.
Oleh sebab itu, semua pihak, penyelanggara Pemilu, perguruan tinggi, organisasi dan tokoh tokoh sosial perlu menggelorakan voter education, mendidik pemilih cerdas.
Saya yakin kalau kedua langkah ini dijalankan serius dan berkelanjutan, persoalan kepala daerah mengeluarkan ongkos mahal bisa di antisipasi.
Tentu ini bukan bim salabim sekali jadi. Butuh proses, dan kita optimis hal itu bisa berjalan dengan baik.
Kuncinya tentu kita semua, para pemimpin politik, tokoh masyarakat, akademisi, budayawan, aktivis LSM, semuanya memiliki komitmen yang sama membangun demokrasi di daerah.