TRIBUNJOGJA.COM - Wanita Tamansiswa mengangkat kembali teladan Nyi Hadjar Dewantara dalam pembentukan karakter anak dan peran besar perempuan dalam keluarga melalui sesi dialog interaktif pada Kamis (18/12/2025).
Sesi dialog interaktif dipimpin oleh Kepala Perpustakaan Widyapustaka Pura Pakualaman Sri Ratna Saktimulya atau Sakti selaku Dewan Pakar Kebudayaan Wanita Tamansiswa.
Sesi dibuka dengan paparan Sakti tentang sosok Nyi Hadjar Dewantara dan peran besarnya sebagai salah satu inisiator dalam Kongres Perempuan 1 pada 22-24 Desember 1928, yang kemudian menjadi cikal bakal Hari Ibu.
Saat itu mewakili Wanita Tamansiswa, Nyi Hadjar Dewantara bersama R.A. Suyatin dari Putri Indonesia dan R.A. Sukonto dari Wanito Utomo menjadi tokoh kunci dalam Kongres Perempuan 1 yang dilaksanakan di Ndalem Jayadipuran Yogyakarta.
“Jadi tidak hanya hadir sebagai pendamping Ki Hadjar Dewantara, Nyi Hadjar juga melanjutkan tonggak perjuangan pendidikan dan memimpin Tamansiswa setelah Ki Hadjar seda (meninggal) dan berperan besar dalam perkembangan organisasi wanita di Indonesia,” ujar Sakti, Kamis (18/12/2025).
Baca juga: Peringatan Hari Ibu, Sri Sultan HB X Dorong Keberpihakan Nyata bagi Ibu
Dalam paparannya, Sakti mengatakan Nyi Hadjar Dewantara aktif mengikuti pertemuan besar organisasi-organisasi perempuan.
Seperti Kongres Perikatan Perempuan Indonesia (PPI) tahun 1929, Kongres Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia (PPII) tahun 1930, serta menjadi anggota Dewan Redaksi Surat Kabar Isteri.
Semasa hidupnya, Sakti bercerita, Nyi Hadjar Dewantara bertugas menciptakan suasana kekeluargaan di sekolah serta berperan memberi teladan dan dorongan semangat bagi para perempuan.
Sakti membagikan tentang ajaran sestradi dari Pura Pakualaman, tempat di mana Ki Hadjar Dewantara dan Nyi Hadjar Dewantara berasal.
Ajaran sestradi merupakan sari pitutur luhur sebagai pedoman dalam bersikap agar selamat lahir dan batinnya.
Para peserta diajak berdialog tentang pentingnya peran seorang ibu bersikap adaptif, kemandirian progresif-inovatif, dan pengelolaan emosi yang semuanya bermuara pada anak.
Perempuan, menurutnya, perlu menjadi teladan dalam mengambil keputusan, mengelola emosi, serta menciptakan solusi di tengah keterbatasan yang dihadapi keluarga dan lingkungan sekitar
“Yang jelas, bagaimana sisi yang saya sebutkan yaitu mampu menyesuaikan diri secara praktis di tengah krisis. Seperti yang dilakukan Nyi Hadjar Dewantara dengan memilih profesi guru sebagai wujud kemandirian perempuan ningrat Jawa pada masa itu,” kata Sakti.
Menurutnya, pemikiran Ki Hadjar Dewantara dan Nyi Hadjar Dewantara bahwa setiap anak itu unik masih relevan hingga saat ini.
Sakti menekankan pentingnya memberi ruang bagi anak untuk menemukan potensi dan pengetahuannya sendiri.
“Sebetulnya sekolah hanya menjadi bagian kecil dari proses pendidikan anak. Pendidikan sejatinya tidak bisa dipisahkan dari peran keluarga, khususnya ibu, dan masyarakat,” ujarnya.
(MG Shafira Puti Krisnintya)