TRIBUNNEWS.COM - Rencana pertemuan antara Thailand dan Kamboja guna membahas penghentian konflik bersenjata di perbatasan kini terancam batal.
Hal ini terjadi setelah Thailand menolak permintaan Kamboja untuk memindahkan lokasi perundingan ke negara netral.
Konflik perbatasan yang telah berlangsung lama antara kedua negara kembali memanas sejak awal Desember 2025 ini.
Bentrokan tersebut menghancurkan kesepakatan gencatan senjata sebelumnya, merenggut lebih dari 40 nyawa, dan memaksa sedikitnya 900.000 orang dari kedua belah pihak untuk mengungsi.
Pada Senin (22/12/2025), kedua negara sempat sepakat untuk merundingkan syarat-syarat gencatan senjata pekan ini.
Namun, pihak Kamboja mengajukan permintaan agar pembicaraan dilakukan di tempat netral, yakni Kuala Lumpur, Malaysia.
Menanggapi hal tersebut, Kementerian Pertahanan Thailand menegaskan bahwa pertemuan Komite Perbatasan Umum (GBC) harus tetap dilaksanakan di Chanthaburi, Thailand, mulai Rabu esok sesuai rencana awal.
"Kami menjamin Chanthaburi aman. Provinsi ini sudah direncanakan menjadi tuan rumah GBC bahkan sebelum pertempuran pecah," ujar juru bicara Kementerian Pertahanan Thailand, Surasant Kongsiri, kepada awak media, Selasa (23/12/2025), mengutip CNA.
Surasant menambahkan bahwa pertemuan tersebut dijadwalkan berlangsung hingga Sabtu.
Namun, kepastian terlaksananya pertemuan kini sepenuhnya bergantung pada keputusan Kamboja.
Di sisi lain, Menteri Pertahanan Kamboja, Tea Seiha, dalam suratnya kepada Menteri Pertahanan Thailand, Nattaphon Narkphanit, menekankan pentingnya lokasi netral demi faktor keamanan.
Baca juga: Sempat Hampir Berdamai, ASEAN Gagal Redam Konflik Thailand dan Kamboja
"Mengingat pertempuran masih berlangsung di sepanjang perbatasan, pertemuan ini sebaiknya diadakan di tempat yang aman dan netral," tulis Tea Seiha dalam dokumen.
Namun, Menteri Pertahanan Thailand Nattaphon menyatakan bahwa berdasarkan urutan rotasi, kini adalah giliran Thailand menjadi tuan rumah setelah pertemuan sebelumnya diadakan di Provinsi Koh Kong, Kamboja.
Ia juga menegaskan bahwa militer Thailand akan terus melakukan perlawanan selama pasukan Kamboja masih melakukan serangan.
Pertemuan Luar Biasa Menteri Luar Negeri ASEAN yang digelar di Kuala Lumpur, Senin (22/12/2025), gagal meyakinkan Thailand untuk menyepakati gencatan senjata segera.
Meski demikian, kedua negara secara prinsip setuju untuk kembali ke kesepakatan damai Kuala Lumpur yang ditandatangani pada 26 Oktober lalu, sembari menunggu hasil pertemuan GBC yang dijadwalkan berlangsung besok.
Menteri Luar Negeri Malaysia, Mohamad Hasan, selaku Ketua ASEAN, memperingatkan bahwa eskalasi konflik ini tidak hanya mengancam hubungan bilateral, tetapi juga stabilitas kawasan dan kredibilitas ASEAN.
"Dalam dunia yang saling terhubung, guncangan keamanan di satu anggota ASEAN adalah masalah bagi seluruh ASEAN dan kekhawatiran global," tegas Mohamad, mengutip Khmer Times.
Ia mendesak agar penghentian permusuhan menjadi prioritas utama guna menjaga reputasi ASEAN sebagai organisasi regional yang sukses.
Laporan dari lokasi pertemuan menyebutkan bahwa kegagalan mencapai kesepakatan gencatan senjata disebabkan oleh syarat ketat yang diajukan oleh Bangkok.
Menteri Luar Negeri Thailand, Sihasak Phuangketkeow, bersikeras bahwa Kamboja harus memenuhi tiga tuntutan.
Pertama, Kamboja harus menyatakan gencatan senjata terlebih dahulu,
Kemudian Kamboja harus mengakui sebagai pihak yang memulai konflik.
Serta meminta Kamboja untuk bekerja sama dalam upaya pembersihan ranjau darat.
Baca juga: Pertempuran Perbatasan Memakan Puluhan Korban, Thailand dan Kamboja Sepakat Bahas Gencatan Senjata
Di sisi lain, Deputi Perdana Menteri sekaligus Menteri Luar Negeri Kamboja, Prak Sokhonn, meminta agar gencatan senjata dimulai efektif tengah malam tadi.
Namun, pihak Thailand menuntut agar permintaan tersebut disampaikan secara tertulis kepada mereka.
Dalam pernyataan resmi setelah pertemuan, para Menteri Luar Negeri ASEAN menyatakan "keprihatinan mendalam" atas terus berlanjutnya pertempuran yang telah menimbulkan korban jiwa signifikan, kerusakan infrastruktur sipil, serta pengungsian massal di kedua sisi perbatasan.
ASEAN mendesak kedua belah pihak untuk menahan diri secara maksimal dan kembali ke jalur dialog.
Pernyataan tersebut juga menyerukan agar warga sipil yang terdampak dapat segera kembali ke rumah mereka dengan aman tanpa hambatan.
(Tribunnews.com/Whiesa)