Oleh: Dr. Ummu Salamah, MA
Dosen Fakultas Hukum Universitas Nasional
Peneliti masalah perempuan dan Anak
BENCANA alam adalah bagian dari geografi Indonesia, tetapi bagaimana kita meresponsnya adalah bagian dari karakter bangsa.
Ketika banjir dan longsor melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, yang menjadi sorotan bukan hanya infrastruktur yang runtuh atau jalan yang putus.
Lebih dari itu, bencana membuka luka sosial yang lebih dalam—ketika perempuan dan anak-anak sekali lagi menjadi kelompok yang paling menderita, dan paling tidak diprioritaskan.
Ini bukan sekadar bencana alam. Ini adalah ujian kemanusiaan Indonesia—ujian terhadap kepekaan, keadilan, dan kemampuan negara melindungi rakyatnya yang paling rentan.
Gagasan bahwa bencana “menimpa semua orang secara setara” adalah mitos yang menyesatkan. Data dan pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa perempuan dan anak-anak menghadapi dampak berlapis:
Masalah ini bukan hanya soal teknis distribusi bantuan, melainkan refleksi atas absennya keadilan dalam manajemen krisis.
Meski Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang mengakui pentingnya perlindungan kelompok rentan, dalam praktiknya, kebijakan ini belum sepenuhnya diterjemahkan ke dalam tindakan nyata di lapangan.
SOP evakuasi, penyediaan logistik, dan koordinasi antarinstansi masih cenderung “netral gender” secara administratif, padahal kenyataan di lapangan menuntut pendekatan yang sangat spesifik dan sensitif. Artinya, tanggap darurat kita cepat, tapi belum bijak.
Ujian kemanusiaan suatu negara terlihat dari bagaimana ia melindungi yang paling tak berdaya. Ketika negara gagal:
Maka bukan hanya ada kekosongan logistik, tapi juga kekosongan moral.
Untuk memastikan bahwa Indonesia lulus dari ujian kemanusiaan ini, dibutuhkan transformasi pendekatan, bukan hanya tambahan anggaran. Beberapa langkah strategis yang harus segera dilakukan:
Ukuran sejati dari keberhasilan penanganan bencana bukan pada seberapa banyak logistik yang dikirim, tetapi siapa yang merasa aman dan terlindungi.
Bila perempuan dan anak-anak tetap menjadi yang paling menderita setiap kali bencana datang, maka kita sedang gagal—bukan hanya sebagai negara, tetapi sebagai komunitas manusia.
Bencana akan selalu datang, tapi apakah kita akan selalu mengulangi kegagalan yang sama?
Itulah pertanyaan yang harus dijawab oleh seluruh elemen bangsa—pemerintah, masyarakat sipil, media, dan kita semua—dengan tindakan nyata, bukan retorika semata.