Jakarta (ANTARA) - Tim Ekspedisi Patriot (TEP) Kementerian Transmigrasi (Kementrans) memproyeksikan kawasan transmigrasi di Indonesia mampu menciptakan nilai ekspor baru sebesar Rp85-120 triliun per tahun.
"Dari sisi perdagangan luar negeri, kawasan transmigrasi diproyeksikan mampu berkontribusi nilai ekspor baru sebesar Rp85-120 triliun per tahun terutama dari sawit hilir, kakao terfermentasi, specialty coffee (kopi berkualitas sangat tinggi), sagu, perikanan, dan peternakan," ucap Menteri Transmigrasi (Mentrans) M. Iftitah Sulaiman Suryanagara dalam Diseminasi Hasil Riset dan Rekomendasi Kebijakan Tim Ekspedisi Patriot Tahun 2025 di Jakarta, Selasa.
Ia menuturkan bahwa potensi peningkatan nilai ekspor tersebut dapat dioptimalkan jika pengembangan kawasan transmigrasi dilakukan secara terintegrasi, meliputi pembangunan infrastruktur dasar, hilirisasi Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih sebagai agregator, serta pemberian kepastian status pemanfaatan lahan.
Ia mengatakan berbagai upaya tersebut diperkirakan dapat mendongkrak nilai tambah kawasan sebesar 20-35 persen, meningkatkan realisasi investasi sebesar 15-25 persen, serta menekan biaya logistik nasional sebesar 10-20 persen dalam jangka waktu 3 hingga 5 tahun ke depan.
Pengembangan kawasan transmigrasi secara terintegrasi tersebut juga diperkirakan dapat mendorong kenaikan nilai produktivitas ekonomi kawasan Rp320-410 triliun per tahun.
Namun, Iftitah mengakui bahwa pembangunan kawasan transmigrasi menghadapi tantangan yang berat.
Menurut riset Tim Ekspedisi Patriot (TEP) Kementrans, lebih dari 70 persen kawasan transmigrasi saat ini belum memiliki infrastruktur dasar yang berfungsi penuh.
Ia menyampaikan sejumlah permasalahan yang ditemukan adalah jalan produksi yang rusak, sistem irigasi yang tidak menjangkau lahan, ketersediaan air bersih dan listrik yang tidak stabil, hingga ketiadaan fasilitas cold storage, sehingga masyarakat sulit melakukan hilirisasi produk.
"Dampaknya sangat nyata, lebih dari 60 persen komoditas unggulan masih dijual dalam bentuk mentah, dan ketergantungan pada tengkulak melampaui 65 persen, sehingga nilai tambah justru dinikmati di luar kawasan transmigrasi," jelasnya.
Iftitah menyebutkan sejumlah temuan kasus terkait, salah satunya permintaan kemiri di Aceh yang mencapai lebih dari 5.500 ton per tahun, tapi tidak terkonsolidasi sebagai industri hilir.
Kawasan Transmigrasi Salor, Papua Barat, lanjut dia, memiliki lebih dari 243 ribu hektare lahan padi dengan pola tanam dua kali setahun, tapi keuntungan petani tertekan oleh biaya logistik.
Ia juga menuturkan wilayah Barelang, Kepulauan Riau, juga tercatat memiliki potensi energi surya 5,03 kilowatt-peak (kWp) per hari serta kedalaman laut 15-27 meter yang ideal untuk pengembangan pelabuhan internasional serta pusat industri maritim.
Pihaknya menilai, permasalahan tersebut terjadi bukan karena tidak adanya dana untuk mengembangkan kawasan transmigrasi, tapi karena investasi yang salah sasaran.
"Investasi kecil yang presisi jauh lebih berdampak dibanding proyek besar yang tidak terhubung ke rantai nilai. Berdasar temuan tersebut, TEP 2025 menyusun peta investasi berbasis data yang siap untuk ditawarkan (kepada investor)," kata Iftitah.







