Oleh: Prima Trisna Aji
Dosen Spesialis Medikal Bedah Universitas Muhammadiyah Semarang
POS-KUPANG.COM - Setiap tanggal 22 Desember, bangsa ini memperingati Hari Ibu Nasional.
Spanduk ucapan bermunculan, bunga diberikan, dan kata “terima kasih” diucapkan dengan penuh haru.
Namun di balik perayaan simbolik itu, ada satu pertanyaan mendasar yang sering luput kita ajukan: sudahkah negara dan masyarakat benar-benar menjaga kesehatan para ibu, atau kita hanya merayakan perannya tanpa melindungi kehidupannya?
Baca juga: Opini: Menagih Makna Hari Ibu
Ibu adalah fondasi kesehatan keluarga. Dari rahim ibu lahir generasi masa depan, dari tangan ibu tumbuh kebiasaan makan, kebersihan, hingga perilaku hidup sehat.
Namun ironisnya, justru kelompok ini masih menghadapi beban kesehatan yang berat, kompleks, dan sering kali tidak terlihat.
Ibu Indonesia hidup dalam beban ganda bahkan rangkap tiga. Di satu sisi, ia berperan sebagai pengasuh utama anak, pengelola rumah tangga, dan penjaga kesehatan keluarga.
Di sisi lain, banyak ibu juga menjadi tulang punggung ekonomi, bekerja di sektor formal maupun informal.
Di atas semua itu, mereka masih memikul ekspektasi sosial untuk selalu “kuat”, “sabar”, dan “tidak mengeluh”.
Beban ini berdampak langsung pada kesehatan fisik dan mental. Ibu usia produktif rentan mengalami anemia, kelelahan kronis, gangguan kecemasan, hingga depresi.
Namun sebagian besar masalah ini tidak terdeteksi, karena ibu sering kali menomorduakan dirinya sendiri.
Dalam praktik sehari-hari, banyak ibu yang lebih memilih membawa anak atau suaminya ke fasilitas kesehatan, tetapi menunda pemeriksaan untuk dirinya.
Rasa sakit dianggap biasa, kelelahan dianggap kewajiban, dan stres dianggap bagian dari takdir perempuan.
Beberapa waktu lalu, saya bertemu dengan seorang ibu berusia 38 tahun, sebut saja namanya Bu Rina.
Ia bekerja sebagai penjual makanan kecil, bangun sejak pukul empat pagi, mengurus dua anak, lalu berdagang hingga sore.
Selama hampir satu tahun, Bu Rina sering merasa pusing, sesak, dan kelelahan ekstrem. Namun ia tidak pernah memeriksakan diri.
“Masih bisa kerja, Pak. Anak-anak masih butuh,” katanya singkat. Suatu hari, Bu Rina pingsan di rumah.
Hasil pemeriksaan menunjukkan anemia berat dan gangguan kecemasan yang tidak pernah tertangani.
Dokter menyebut kondisinya bukan terjadi dalam semalam, melainkan akibat kelelahan fisik dan mental yang menumpuk bertahun-tahun.
Kisah Bu Rina bukan pengecualian. Ia adalah potret ribuan bahkan jutaan ibu Indonesia yang bekerja tanpa jeda, berjuang dalam senyap, dan baru datang ke layanan kesehatan ketika tubuhnya benar-benar menyerah.
Dalam banyak kasus, yang terlambat bukan hanya pengobatan tetapi juga perhatian.
Selama ini, kesehatan ibu sering diposisikan sebagai urusan domestik tanggung jawab pribadi dan keluarga. Padahal, kesehatan ibu adalah isu publik dan strategis.
Ketika seorang ibu sakit, dampaknya menjalar ke seluruh sistem keluarga: anak kurang terawat, gizi terganggu, kesehatan mental keluarga memburuk, bahkan produktivitas ekonomi menurun.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kondisi kesehatan ibu berhubungan langsung dengan kualitas tumbuh kembang anak, prestasi belajar, dan risiko penyakit kronis di masa depan.
Artinya, mengabaikan kesehatan ibu sama saja dengan menabung masalah kesehatan bangsa di kemudian hari.
Negara-negara dengan kualitas kesehatan masyarakat yang baik hampir selalu menempatkan ibu sebagai pusat kebijakan kesehatan preventif.
Pemeriksaan rutin, edukasi gizi, dukungan kesehatan mental, dan perlindungan sosial bagi ibu bukan sekadar program tambahan, melainkan prioritas.
Peringatan Hari Ibu Nasional seharusnya menjadi momentum refleksi kebijakan.
Bukan hanya mengenang perjuangan perempuan dalam sejarah, tetapi juga menilai sejauh mana negara hadir dalam menjaga kesejahteraan mereka hari ini.
Sudahkah layanan kesehatan primer ramah bagi ibu bekerja? Apakah jam layanan puskesmas fleksibel? Apakah skrining kesehatan mental ibu dilakukan secara sistematis?
Apakah edukasi kesehatan ibu berhenti setelah persalinan, lalu menghilang ketika ibu kembali menghadapi realitas hidup? Sering kali kebijakan kesehatan masih terfragmentasi.
Ibu diperlakukan sebagai “pasien reproduksi”, bukan manusia utuh yang memiliki kebutuhan fisik, psikologis, dan sosial sepanjang siklus hidupnya.
Selain kebijakan, faktor budaya juga memainkan peran besar. Budaya yang mengglorifikasi pengorbanan ibu tanpa batas justru berbahaya.
Ibu yang sakit dianggap kurang kuat, ibu yang mengeluh dianggap kurang bersyukur.
Narasi ini perlu diubah. Menjaga kesehatan diri bukan egoisme, melainkan bentuk tanggung jawab. Ibu yang sehat secara fisik dan mental adalah sumber ketahanan keluarga.
Oleh karena itu, keluarga terutama pasangan perlu dilibatkan secara aktif dalam menjaga kesehatan ibu, bukan sekadar menyerahkan semuanya pada peran tradisional.
Hari Ibu Nasional 22 Desember 2025 harus menjadi titik balik, bukan sekadar peringatan tahunan. Ada beberapa langkah konkret yang perlu segera diwujudkan.
Pertama, memperkuat layanan kesehatan ibu berbasis pencegahan, termasuk skrining anemia, kelelahan kronis, dan kesehatan mental secara rutin di layanan primer.
Kedua, menyediakan layanan kesehatan yang lebih fleksibel dan ramah ibu bekerja, baik dari sisi jam layanan maupun pendekatan komunikasi.
Ketiga, mengintegrasikan edukasi kesehatan ibu sepanjang daur kehidupan, bukan hanya saat hamil dan melahirkan.
Keempat, mendorong kebijakan kerja yang lebih berkeadilan bagi ibu, termasuk perlindungan kesehatan bagi pekerja informal.
Kelima, mengubah narasi sosial: dari ibu yang harus selalu berkorban menjadi ibu yang berhak sehat, didengar, dan dirawat.
Hari Ibu bukan sekadar tanggal merah di kalender. Ia adalah pengingat moral bahwa bangsa ini berdiri di atas kesehatan para ibu.
Ucapan terima kasih akan terdengar hampa jika tidak diiringi dengan perlindungan nyata.
Merawat ibu berarti merawat masa depan. Dan bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang memuliakan ibu dengan kata-kata, tetapi yang menjaga kesehatannya dengan kebijakan, empati, dan tindakan nyata. (*)