Oleh: Leonardo Alessandro Lako Dhei
Mahasiswa Fakultas Filsafat Unwira Kupang, Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Di zaman yang serba instan dan berteknologi tinggi, kemampuan berpikir kritis dan moral bukan lagi sekadar idealisme akademis melainkan suatu keharusan praktis.
Dalam konteks pendidikan, khususnya di kalangan pelajar dan mahasiswa, kemampuan ini menjadi landasan agar kita tidak hanya menjadi konsumen pasif informasi, tetapi juga pengolah dan penilai yang bertanggung jawab.
Filsafat klasik dan skolastik, meskipun lahir berabad-abad lalu tanpa smartphone ataupun internet, justru memberi alat berpikir yang sangat relevan untuk menghadapi paradoks modern antara apa yang “viral” dan apa yang benar.
Baca juga: Opini: Natal, Hari Ibu dan Tahun Yubileum 2025
Fenomena ini mencerminkan bagaimana konten tentang kehidupan personal tokoh terkenal bisa menjadi viral di media sosial bukan karena kontribusi substansial terhadap isu sosial yang lebih luas.
Tetapi karena daya tarik emosional dan algoritma yang mendorong keterlibatan tinggi, yang sering kali mempercepat penyebaran informasi yang dangkal atau bahkan salah kaprah tentang publik figure itu sendiri.
Di tengah dinamika politik Indonesia masa kini, tak hanya sosialita selebritas yang berjuang mempertahankan citra di media sosial.
Banyak tokoh pemerintahan dan elit politik juga hidup bersosialitas online dengan gaya yang mirip “selebgram politik”, di mana konten yang viral sering dipakai untuk membentuk citra atau merespons kritik publik.
Misalnya, pemerintah dan politisi secara aktif memanfaatkan platform seperti TikTok dan Instagram untuk menjelaskan kebijakan atau membangun kedekatan dengan pemilih muda.
Tetapi strategi ini juga sering menimbulkan kesan bahwa respons politik lebih dipandu oleh popularitas atau persepsi viral daripada analisis substansial terhadap isu-isu mendasar seperti biaya hidup atau kebijakan ekonomi yang memicu protes besar-besaran di Jakarta dan kota-kota lain belakangan ini.
Akibatnya wacana politik yang paling “menarik” secara visual sering kali lebih menentukan persepsi publik dibanding fakta yang lebih kompleks atau kurang sensasional.
Di era sekarang ini menjadi hal yang relevan jika di kaitkan dengan pandangan para pemikir kritis dan rasional zaman yang lampau.
Seperti, istilah “abad Kegelapan” dilontarkan terhadap periode sejarah Eropa abad pertengahan seakan menandakan kemunduran rasionalitas.
Namun, pemosisian ini lebih mencerminkan bias historis dari renaisans atau pencerahan yang ingin menonjolkan superioritas pemikirannya.
Padahal, seperti ditunjukkan oleh para sejarawan kontemporer, tradisi intelektual abad pertengahan justru berkembang dalam bentuk universitas pertama, integrasi logika Aristotelian dengan teologi, serta usaha sistematis untuk memahami dunia melalui akal bukan hanya dogma semata.
Ini menunjukkan bahwa tradisi berpikir rasional bukanlah penemuan modern semata, melainkan produk evolusi panjang dalam sejarah pemikiran.
Di tengah sorotan publik terhadap kecerdasan buatan (AI), sering muncul pertanyaan apakah mesin bisa “melampaui” manusia?
Dari perspektif teologis Agustinus, jawaban atas pertanyaan ini mengarah pada martabat manusia yang tak tergantikan.
Menurutnya, manusia bukan sekadar kumpulan reaksi otomatis terhadap rangsangan, tetapi makhluk yang memiliki jiwa, kehendak bebas, dan kapasitas moral yang tidak dimiliki oleh mesin apapun.
Namun, di sisi lain, sejarah teknologi modern menunjukkan bahwa manusia mampu mewujudkan hal-hal yang dulu dianggap mustahil misalnya kemampuan AI untuk mengalahkan pemain Go terbaik dunia.
Sebuah pencapaian yang pernah dipandang di luar jangkauan mesin karena kompleksitas permainan itu atau terobosan dalam pengembangan antarmuka otak-komputer yang memungkinkan individu paralisasi mengetik hanya dengan pikiran mereka, suatu hal yang sebelumnya hanya ada dalam fiksi ilmiah.
Fenomena-fenomena ini mengilustrasikan bahwa kreativitas, inovasi, dan ambisi manusia terus melampaui batasan-batasan lama, tetapi justru karena kita memiliki kapasitas reflektif dan moral untuk mengevaluasi kapan dan bagaimana teknologi digunakan secara etis bukan sekadar karena teknologi itu sendiri menjadi canggih.
Agustinus akan mengingatkan bahwa kemampuan ini bukan sekadar hasil kemampuan teknis, tetapi cerminan martabat manusia yang bertanggung jawab atas pilihan moralnya di tengah kekuatan teknologi.
Mesin dan AI mungkin dapat mengolah informasi, memprediksi pola, bahkan memproduksi karya yang menyerupai kreativitas manusia namun itu semua terjadi karena algoritma yang dibuat oleh manusia.
Tanpa kesadaran, cinta, atau penilaian moral yang autentik, AI tetaplah alat. Jika kita mulai memandang manusia hanya sebagai “sistem kompleks” tanpa memperhitungkan dimensi moral dan spiritualnya, kita berisiko mereduksi martabat manusia menjadi sekadar fungsi teknologi.
Di tengah ketertarikan kita kepada kecanggihan teknologi, kita harus tetap menempatkan martabat manusia pada posisi yang tak tergantikan.
Teknologi harus dilihat sebagai alat yang meningkatkan kualitas hidup manusia, bukan sebagai entitas yang bisa menggantikan nilai moral atau spiritual kita.
Salah satu fenomena paling mencolok di era digital adalah bagaimana informasi tersebar bukan berdasarkan kebenarannya, tetapi berdasarkan viralitas jumlah bagikan, like, atau komentar yang diterima.
Dalam konteks ini, kontribusi Agustinus sangat relevan, ia menekankan bahwa kebenaran bukan sesuatu yang ditentukan oleh popularitas, melainkan oleh hubungan yang jujur dengan kenyataan dan pengetahuan yang tulus.
Media sosial, melalui algoritmanya, seringkali mempromosikan konten yang memancing emosi atau reaksi cepat, bukan konten yang akurat atau bernalar.
Akibatnya, yang populer tidak selalu benar bahkan sering kali sebaliknya.
Fenomena ini menyebabkan apa yang disebut “infodemik” kebingungan massal antara fakta dan fiksi.
Ketika bukti dipukul rata oleh sensasi, masyarakat kehilangan pijakan bersama untuk mendiskusikan isu penting, mulai dari kesehatan masyarakat sampai realitas politik.
Menjadi pengguna media sosial yang cerdas berarti lebih dari sekadar mengonsumsinya.
Kita mesti mempertanyakan sumber, mencari fakta, dan menahan diri sebelum menyebarkan sesuatu yang belum terverifikasi.
Kebiasaan ini bukan semata latihan epistemik, tetapi juga tindakan etis karena menyebarkan informasi palsu bisa merugikan orang lain dan merusak kepercayaan publik.
Arah diskusi berpindah pada pokok etika yang lebih luas, termasuk soal euthanasia sebuah isu yang menyentuh tema paling sensitif, kehidupan dan kematian.
Thomas Aquinas, melalui gagasan hukum alamnya, menawarkan kerangka moral yang bukan sekadar hitungan untung-rugi, tetapi berdasarkan kodrat manusia sebagai makhluk rasional yang memiliki tujuan intrinsik untuk hidup dan berkembang.
Dalam pendekatan utilitarian atau preferensi individu, euthanasia kadang dipandang sebagai hak atau pilihan untuk mengakhiri penderitaan.
Namun, dari perspektif hukum alam, kehidupan bukan sekadar persoalan subjektif yang dibentuk oleh kenyamanan atau preferensi pribadi. Ia adalah sesuatu yang inheren dalam kodrat manusia.
Maka, keputusan yang memengaruhi kehidupan seperti euthanasia tak bisa diputuskan hanya berdasarkan selera atau konteks semata.
Itu memerlukan kesadaran tentang tujuan hidup manusia secara universal.
Hukum alam memberikan dasar moral yang lebih kuat dan konsisten dibandingkan sekadar logika “mengurangi penderitaan terbesar” atau sekadar memenuhi keinginan individu.
Ini bukan menolak empati atau simpati terhadap penderitaan, melainkan menempatkan hidup manusia dalam kerangka nilai yang lebih kokoh dan tak tergantung pada perubahan opini.
Pertanyaan yang sering muncul adalah mengapa kita masih mempelajari filsafat yang ratusan bahkan ribuan tahun lebih tua daripada smartphone atau AI?
Jawabannya sederhana karena filsafat mengajarkan cara berpikir, bukan sekadar kumpulan konten.
Ia mendorong kita untuk menelaah, mengkritisi, dan memberi justifikasi logis terhadap klaim kualitas berpikir yang sangat dibutuhkan di era di mana informasi sangat mudah diproduksi namun sering kali miskin verifikasi.
Socrates mengajarkan penelusuran keyakinan dasar dan Aquinas mengembangkan argumen sistematis tentang moral dan realitas.
Pemikiran mereka menciptakan alat berpikir yang tak lekang oleh zaman alat yang membantu kita tidak hanya menilai apa yang benar, tetapi juga mengapa hal itu dianggap benar.
Di era AI, di mana jawaban bisa didapatkan dalam hitungan detik, filsafat mengajarkan kita untuk tidak hanya mengejar jawaban cepat, tetapi mengejar pemahaman yang mendalam tentang jawaban itu.
Kita belajar bertanya bukan sekadar “apa yang dikatakan AI?”, tetapi “mengapa jawaban itu penting bagi manusia?”.
Tantangan terbesar di era digital bukan hanya soal teknologi itu sendiri melainkan bagaimana kita menggunakannya.
Filsafat klasik dan skolastik bukan museum ide, tetapi gudang alat berpikir yang dapat menolong kita menavigasi kompleksitas modern dari klaim viral di media sosial sampai dilema etika seperti euthanasia atau peran AI dalam kehidupan manusia.
Kebenaran bukan sesuatu yang ditemukan berdasarkan popularitas, tetapi melalui penalaran, refleksi, dan komitmen terhadap fakta.
Jika kita ingin memanfaatkan teknologi secara bijak agar teknologi tidak menjadi tuan atas kita maka kita harus terus mempertahankan dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan moral.
Ini bukan sekadar tugas akademik, tetapi panggilan praktis bagi siapa pun yang hidup di zaman informasi ini. (*)