UMP NTB Naik Rp70 Ribu, Bisakah Buruh Makmur Mendunia?
December 24, 2025 12:22 PM

Oleh : Maharani

Jika kenaikan upah minimum di NTB hanya sekitar Rp70 ribu, maka kondisi ini semakin menegaskan bahwa pekerja masih jauh dari kata makmur dan berdaya

TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Di akhir tahun 2025 ini, pekerja di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) mendapatkan angin puting beliung di tengah guyuran hujan di bulan Desember. Hal ini dikarenakan pada tanggal 23 Desember 2025 yang lalu, Gubernur NTB, Lalu Iqbal mengumkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) pada tahun 2026 sebesar 2,7 persen. Yang awalnya dari 2.602.931 rupiah menjadi 2.673.861 rupiah. 

Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) NTB tahun 2026 sekitar Rp70 ribu atau kurang lebih 2,7 persen secara regulasi sudah sesuai dengan formula penetapan upah minimum nasional, karena mempertimbangkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan kondisi dunia usaha. Namun, jika dilihat dari perspektif kebutuhan riil pekerja, kenaikan tersebut belum sepenuhnya menjawab kebutuhan hidup layak. 

Dengan UMP NTB 2026 sekitar Rp2,67 juta per bulan, angka ini masih berada cukup jauh di bawah estimasi Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang berada di kisaran Rp3,4 juta per bulan. Selisih ini menunjukkan bahwa pekerja, terutama yang memiliki tanggungan keluarga, masih menghadapi tekanan ekonomi akibat kenaikan harga pangan, biaya perumahan, transportasi, pendidikan, dan kesehatan. Apalagi saat ini Pemerintah Daerah sudah mendorong pertumbuhan pembangunan menuju pariwisata berkelanjutan, sehingga di beberapa lokasi harga barang akan menyesuaikan dengan pariwisata setempat.

Oleh karena itu, meskipun kenaikan UMP dinilai aman bagi dunia usaha dan sesuai aturan, secara substantif upah tersebut belum sepenuhnya mencerminkan kebutuhan hidup pekerja yang layak di NTB, sehingga isu daya beli dan kesejahteraan buruh masih menjadi tantangan utama. Hal ini memang akan menjadi sebuah dilema bagi Pemerintah Daerah. Agar bagaimana menemukan titik temu antara pengusaha dengan pekerja. Sehingga kreatifitas Pemerintah daerah dalam menjaga iklim investasi yang benar-benar baik dan menjaga ritme pertumbuhan ekonomi daerah menjadi sebuah tantangan tersendiri.

Kondisi ekonomi pekerja di NTB saat ini menunjukkan gambaran yang kompleks dengan beberapa tren penting yang tercatat oleh Badan Pusat Statistik melalui laporan resminya. Secara umum, tingkat pengangguran di NTB relatif rendah dibanding banyak daerah lain di Indonesia, dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sekitar 3,06 – 3,22 % pada tahun 2025, meskipun sedikit naik dibanding tahun sebelumnya, mencerminkan tantangan tersendiri dalam menyerap angkatan kerja yang terus meningkat. 

Berdasarkan hasil penelitian dari Lombok Research Center (LRC) menunjukkan bahwa jumlah penduduk usia kerja yang tidak terserap pasar kerja bertambah sekitar 10.920 orang, sehingga total pengangguran di NTB mencapai 97.930 orang pada Agustus 2025. Data Badan Pusat Statistik juga menunjukkan jumlah penduduk yang bekerja meningkat menjadi sekitar 3,11 juta orang, dengan sektor perdagangan sebagai salah satu penyerap tenaga kerja terbesar. 

Namun demikian, sebagian besar pekerja di NTB masih bekerja di sektor informal atau semi-formal, yang sering kali tidak memberi perlindungan sosial atau upah yang stabil. Rata-rata upah buruh/karyawan di provinsi ini pada tahun 2024 tercatat sekitar Rp2,37 juta per bulan, bahkan banyak perusahan yang menggaji pekerja jauh dibawah itu. Tetapi upah tersebut sangat bervariasi antar wilayah, dari sekitar Rp1,82 juta hingga Rp3,35 juta tergantung kabupaten/kota, dan juga menunjukkan kesenjangan upah antara pekerja laki-laki dan perempuan. Kondisi ini menunjukkan bahwa banyak pekerja mengandalkan penghasilan yang jauh di bawah standar kebutuhan hidup layak yang telah ditetapkan pemerintah.

Ekonomi NTB sendiri mengalami dinamika yang memengaruhi kondisi pekerja. Pertumbuhan ekonomi NTB pada triwulan III-2025 tercatat 2,82 % secara tahunan, namun perekonomian juga sempat mencatat kontraksi pada awal tahun karena lemahnya ekspor di beberapa sektor. Perubahan dalam struktur ekonomi seperti kontraksi di pertambangan dan pergeseran tenaga kerja dari pertanian ke sektor lain turut berdampak pada ketenagakerjaan dan peluang kerja.

Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh LRC pada tahun 2025 tentang sektor pertanian di NTB menunjukkan bahwa faktor seperti inflasi dan upah minimum berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja, meskipun pengaruhnya bervariasi, sehingga kebijakan upah dan ekonomi makro tetap menjadi kunci dalam menentukan kesejahteraan pekerja di sektor penting ini. Secara keseluruhan, meski ada perbaikan indikator ketenagakerjaan dan penurunan sebagian angka kemiskinan, pendapatan pekerja di NTB masih banyak yang berada di bawah kebutuhan hidup layak, sehingga tantangan dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi pekerja tetap signifikan. 

Jika kenaikan upah minimum di NTB hanya sekitar Rp70 ribu, maka kondisi ini semakin menegaskan bahwa pekerja masih jauh dari kata makmur dan berdaya saing global, sebagaimana cita-cita besar dalam visi pembangunan NTB yang  “makmur dan mendunia”. Kenaikan yang sangat terbatas tersebut secara riil nyaris tidak berdampak pada peningkatan kesejahteraan pekerja, terutama di tengah kenaikan harga kebutuhan pokok seperti beras, pangan protein, sewa rumah, transportasi, pendidikan, dan layanan kesehatan. 

Baca juga: Perbandingan UMP NTB 2026 dengan KHL Perhitungan Kemnaker

Dengan UMP NTB yang masih berada di kisaran Rp2,6 jutaan per bulan, sementara estimasi kebutuhan hidup layak telah menembus lebih dari Rp3 juta, pekerja menghadapi defisit kesejahteraan yang bersifat struktural. Kondisi ini memaksa banyak pekerja bertahan dalam strategi bertahan hidup, seperti bekerja lembur berlebihan, mengambil pekerjaan tambahan di sektor informal, atau mengorbankan kualitas gizi dan pendidikan keluarga. 

Dalam konteks “mendunia”, daya saing tenaga kerja tidak hanya ditentukan oleh keterampilan, tetapi juga oleh kesejahteraan dasar yang memungkinkan pekerja hidup sehat, produktif, dan inovatif. Upah yang stagnan akan membatasi investasi pekerja pada peningkatan kapasitas diri, memperlebar kesenjangan sosial, dan mendorong migrasi tenaga kerja terampil ke daerah atau negara lain yang menawarkan standar hidup lebih baik. 

Selain itu, kenaikan upah yang minimal juga berpotensi menekan konsumsi rumah tangga yang menjadi komponen utama pendorong ekonomi daerah, sehingga pertumbuhan ekonomi NTB sulit bertransformasi dari sekadar bertahan menjadi inklusif dan berkelanjutan. Oleh karena itu, jika visi “makmur dan mendunia” ingin diwujudkan secara substantif, kebijakan pengupahan perlu melampaui pendekatan minimalis berbasis formula semata, dan diarahkan pada pengejaran kebutuhan hidup layak, penguatan produktivitas, serta perlindungan sosial pekerja, sehingga kesejahteraan tidak menjadi jargon, melainkan realitas yang dirasakan oleh mayoritas pekerja NTB.

Sehingga jika penulis meminjam kata yang pakai oleh Lalu Wira Sakti yang merupakan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (SPD) Serikat Pekerja Nasional (SPN) NTB mengatakan bahwa, kenaikan ini hanya akan menunda lapar, tidak menyelesaikan permasalahan pokoknya yaitu kelaparan. Sehingga ketua DPD SPN NTB ini mempertanyakan keseriusan Gubernur NTB dalam menuntaskan Kemiskinan Ektrem menjadi nol persen. Lebih menyedihkan lagi, program pengentasan kemiskinan dan kemiskinan ekstrem hingga nol persen terdengar seperti dongeng pengantar tidur. Bagaimana mungkin kemiskinan bisa dihapus jika upah layak tidak pernah diperjuangkan dengan sungguh-sungguh.

Semoga ini menjadi sebuah catatan penting dan bukan hanya dongeng pengantar tidur, agar Gubernur NTB lebih serius lagi memperhatikan masyarakatnya terutama kaum Pekerja yang menjadi tulang punggung ekonomi NTB. Agar Visi “Makmur Mendunia” benar-benar dirasakan oleh Kaum Pekerja. Semoga....

Penulis adalah Peneliti Lombok Research Center (LRC)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.