Regulasi Blockchain Dinilai Lemah, Celah Kejahatan Digital Harus Ditutup
December 25, 2025 02:38 AM

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Perkembangan teknologi blockchain yang masif membawa peluang sekaligus celah kejahatan digital yang menantang penegakan hukum.

Hal ini menjadi sorotan utama dalam riset akademik Juwita Patty Pasaribu, Kepala Bagian Tata Usaha Kejaksaan Tinggi Lampung. Ia mengkaji bagaimana blockchain—sebagai fondasi aset kripto—berpotensi disalahgunakan sebagai sarana tindak pidana, khususnya pencucian uang.

Blockchain adalah sistem pencatatan digital terdesentralisasi yang menyimpan transaksi dalam blok saling terhubung dan sulit diubah. Karakteristiknya yang anonim, lintas yurisdiksi, serta minim perantara dinilai menghadirkan tantangan baru bagi sistem hukum konvensional.

“Blockchain bukan sekadar teknologi, melainkan ruang hukum baru yang menuntut kehadiran negara,” ujar Juwita, dalam keterangannya, Rabu (24/12/2025). 

Menurutnya, hukum tidak boleh tertinggal dari laju inovasi digital. Tanpa regulasi adaptif dan komprehensif, blockchain berisiko menjadi medium kejahatan digital yang sulit dijangkau aparat.

Juwita menyoroti bahwa kerangka hukum nasional Indonesia belum sepenuhnya mampu mengantisipasi modus kejahatan berbasis blockchain.

Pengaturan aset kripto yang masih sektoral dan belum menyentuh mekanisme teknologi secara menyeluruh berpotensi menimbulkan kekosongan hukum, baik dalam aspek pengawasan maupun pertanggungjawaban pidana.

Ia menekankan pentingnya revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang agar selaras dengan perkembangan teknologi keuangan digital.

Pendekatan hukum pidana tradisional yang bertumpu pada pembuktian perbuatan fisik dan niat jahat dinilai menghadapi tantangan serius ketika berhadapan dengan transaksi digital otomatis melalui smart contract dan sistem terdesentralisasi.

Baca juga: Darimana Asalnya Uang Rp 6 Triliun yang Dipamerkan di Depan Prabowo? Nantinya Disimpan di Mana?

Melalui analisis perbandingan terhadap regulasi internasional, termasuk rekomendasi Financial Action Task Force (FATF), riset ini menawarkan arah kebijakan progresif.

Menurut Juwita, regulasi blockchain perlu dirancang berbasis risiko, menjamin kepastian hukum, sekaligus tetap mendorong inovasi teknologi.

“Negara perlu hadir secara cerdas. Regulasi tidak boleh mematikan inovasi, tetapi harus menutup celah penyalahgunaan yang merugikan masyarakat dan mengancam integritas sistem keuangan,” ujarnya.

Integrasi pandangan ini juga tercermin dalam disertasinya berjudul “Teknologi Blockchain di Indonesia: Regulasi, Mekanisme, dan Pertanggungjawaban Pidana”. Dalam karya akademik yang mengantarkan Juwita meraih gelar Doktor Ilmu Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) di Depok pada Selasa, 24 Desember 2025, ia menekankan urgensi regulasi adaptif agar hukum tidak tertinggal dari inovasi digital.

Transisi Pengawasan

Tugas pengaturan dan pengawasan aset keuangan digital, termasuk kripto dan derivatif, resmi beralih dari Bappebti ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, menegaskan peralihan ini bertujuan menjaga kepercayaan masyarakat melalui prinsip perlindungan konsumen, sekaligus memberi dampak positif pada pengembangan industri sektor keuangan.

OJK telah menerbitkan kerangka aturan perdagangan aset kripto melalui POJK Nomor 27 Tahun 2024 dan SE OJK Nomor 20 Tahun 2024, serta menyiapkan POJK Nomor 1 Tahun 2025 tentang derivatif keuangan.

Dari sisi infrastruktur, OJK meluncurkan sistem perizinan digital terintegrasi (SPRINT) untuk aset keuangan digital, kripto, dan derivatif.

Pemerintah sendiri mengakui blockchain sebagai bagian sah ekosistem ekonomi digital nasional melalui PP 28/2025, sejajar dengan teknologi strategis lain seperti kecerdasan buatan (AI), identitas digital, dan sertifikat elektronik.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.