TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta mendorong pembentukan Majelis Tahkim khusus sebagai jalan penyelesaian konflik internal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Langkah ini dinilai paling bermartabat, konstitusional, dan sesuai tradisi organisasi untuk mengakhiri polemik yang kian terbuka ke ruang publik.
Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua PWNU DKI Jakarta Sirra Prayuna, menyusul memanasnya dinamika kepemimpinan di tubuh PBNU sepanjang 2025.
Menurut Sirra, Majelis Tahkim merupakan forum tabayyun—ruang klarifikasi dan musyawarah—agar persoalan diselesaikan secara jernih dan tidak saling menegasikan.
“Majelis Tahkim bisa menjadi forum tabayyun. Ini penting agar semua persoalan dibuka secara terang dan diselesaikan dengan kepala dingin,” ujar Sirra dalam pesan tertulis, Rabu (24/12/2025).
Sirra menekankan, proses tahkim sebaiknya tidak dilakukan secara tertutup. Ia mendorong agar persidangan dapat disaksikan oleh unsur PWNU dan PCNU demi menjaga transparansi dan akuntabilitas organisasi.
“Kalau perlu dibuat terbuka untuk PWNU dan PCNU, supaya warga NU tahu konflik ini diselesaikan secara islah,” katanya.
Selain keterbukaan, PWNU DKI juga menyoroti pentingnya independensi majelis hakim tahkim ad hoc. Hakim yang ditunjuk, kata Sirra, harus terbebas dari afiliasi dan kepentingan pihak yang sedang bersengketa agar putusan dapat diterima semua pihak.
Menurut Sirra, pembentukan Majelis Tahkim bersifat mendesak karena konflik berkepanjangan berpotensi menggerus soliditas jam’iyah dan kepercayaan jamaah di akar rumput.
“Ini harus segera dilakukan. Jangan sampai konflik elite merembet dan melukai persaudaraan warga NU,” ujarnya.
Ia menilai tahkim merupakan titik temu islah, mengingat kedua kubu sama-sama menyatakan keinginan penyelesaian melalui mekanisme internal NU.
Pandangan senada disampaikan Mahfud MD, tokoh intelektual Nahdlatul Ulama sekaligus mantan politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Mahfud menilai konflik kepemimpinan PBNU yang melahirkan dua klaim legitimasi tidak bisa dibiarkan berlarut dan hanya dapat diselesaikan melalui forum muktamar.
“Situasi seperti ini penyelesaiannya memang sudah harus muktamar. Harus muktamar. Enggak bisa tidak muktamar,” ujar Mahfud dalam program Terus Terang di kanal YouTube resmi Mahfud MD Official, Selasa (23/12/2025).
Mantan Menko Polhukam itu menegaskan, PBNU tidak mungkin berjalan dengan dua kepemimpinan yang sama-sama mengklaim legitimasi. Keputusan strategis, menurut Mahfud, seharusnya ditandatangani bersama oleh Syuriyah dan Tanfidziyah sebagai dua pilar utama NU.
“Karena apa? Kubu Kiai Miftah sudah menganggap Yahya dipecat. Sementara kubu Yahya menghendakkan pemecatan dasar sehingga dua-duanya jalan. Padahal dua-duanya ini pilar sejajar,” kata Mahfud.
Baca juga: Pemerintah Siapkan BLT Rp200 Ribu per Bulan, Tambahan Rp900 Ribu dan Bantuan Bencana Rp8 Juta
Konflik internal PBNU mencuat sejak Rapat Harian Syuriyah pada 20 November 2025 yang menyatakan KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) tidak lagi menjabat Ketua Umum. Rapat pleno PBNU pada 9 Desember 2025 kemudian menetapkan KH Zulfa Mustofa sebagai Penjabat Ketua Umum.
Namun kubu Gus Yahya menilai keputusan tersebut tidak sah karena pergantian Ketua Umum hanya dapat dilakukan melalui muktamar. Hingga kini, kedua pihak belum mencapai kesepakatan final.
Sejumlah pengamat mengingatkan, konflik yang tak segera diselesaikan berisiko merembet ke struktur bawah NU dan mengganggu stabilitas internal organisasi.
PWNU DKI menegaskan, dorongan pembentukan Majelis Tahkim bukan untuk memihak salah satu kubu, melainkan menjaga marwah NU sebagai organisasi keagamaan dan sosial terbesar di Indonesia.
“Yang paling penting, NU kembali teduh. Persoalan diselesaikan dengan musyawarah, bukan saling menegasikan,” pungkas Sirra.