Belajar dari Pamali Leluhur, Budi Dalton Bicara Mitigasi Bencana Berbasis Budaya
December 25, 2025 09:35 PM

 

Laporan Wartawan TribunPriangan.com, Ai Sani Nuraini

TRIBUNPRIANGAN.COM, CIAMIS – Tingginya potensi bencana di wilayah Jawa Barat, termasuk Ciamis, tidak bisa dilepaskan dari kesalahan pengelolaan alam dan regulasi yang mengabaikan konteks budaya setempat. 

Hal itu disampaikan budayawan Budi Dalton dalam diskusi dengan tema "Menggali Kembali Kearifan Lokal Sunda Sebagai Solusi Krisis Lingkungan Global" yang digelar dalam rangkaian Pameran Foto Sakakala di Situs Budaya Karangkamulyan, Kabupaten Ciamis.

Menurut Budi, masyarakat perlu terus diingatkan bahwa wilayah yang mereka tempati merupakan kawasan dengan kerentanan bencana yang tinggi, baik secara geografis maupun ekologis.

“Kita ini tinggal di wilayah yang memang kadar bencananya tinggi. Pertama karena kita berada di kawasan gunung berapi, kedua karena wilayah kita sangat ‘seksi’ bagi kepentingan kapital. Bukan hanya kayu, tapi juga mineral dan kekayaan alam lain yang ada di bawah tanah,” ujarnya, Kamis (25/12/2025).

Baca juga: Ketika Alam Bicara Lewat Bencana, Budayawan Ciamis Ajak Kembali ke Kearifan Leluhur

Ia menilai, banyak masyarakat yang belum sepenuhnya menyadari bahwa tanah yang mereka pijak merupakan kekayaan besar yang seharusnya dijaga, bukan dieksploitasi secara serampangan.

“Karena kita tinggal di atas tanah ini, kadang tidak merasa bahwa ini kekayaan. Padahal di bawah kita ada banyak hal yang tidak dimiliki bangsa lain. Kesadaran inilah yang harus dibangun, supaya menjaga alam itu tidak perlu terus disuruh,” tegasnya.

Budi menjelaskan, sejak dahulu masyarakat Nusantara, termasuk Sunda, tidak memandang letusan gunung berapi atau gejala alam sebagai bencana semata, melainkan sebagai bagian dari siklus alam yang harus dipahami dan dimitigasi.

“Dulu itu bukan dianggap bencana, tapi siklus. Maka leluhur kita punya cara mitigasi sendiri, yang sekarang kita kenal lewat uga (ramalan, firasat), pamali, dan berbagai ajaran adat lainnya,” ucapnya.

Ia menegaskan, mitos yang berkembang di masyarakat sejatinya bukan cerita kosong, melainkan pesan ekologis yang dikodekan oleh leluhur. 

Namun, pesan tersebut hanya bisa dipahami jika dibuka dengan metode yang tepat.

“Kalau kita tidak tahu cara membacanya, mitos akan selamanya dianggap mitos. Padahal di dalamnya ada informasi tentang alam, mineral, hingga struktur wilayah,” tuturnya.

Baca juga: BREAKING NEWS! Tebing di Jalur Cadas Pangeran Sumedang Longsor, Kamsi Sore, Ada Videonya

Sebagai contoh, ia menyebut teks-teks lama yang menyimpan simbol-simbol alam, seperti teks yang menuliskan 'Putri Koneng nu Ngajajar ti Sanghyang Sirah Nepi Sanghyang Ratu' yang sesungguhnya merujuk pada guratan emas dari Pelabuhan Ratu sampai pegunungan berapi.

Menurut Budi, masyarakat Indonesia kerap keliru ketika menerapkan konsep pengelolaan alam dengan pendekatan Barat yang belum tentu sesuai dengan karakter alam Nusantara.

“Metodologi Barat itu hebat, tapi belum tentu aplikatif di sini. Kita punya naskah sendiri, seperti warugan lemah, yang mengatur tata kelola alam. Itu ditulis di atas tanah kita sendiri, pasti sesuai dengan kondisi kita,” ujarnya.

Ia juga menekankan pentingnya membangun kembali ikatan kultural dalam pendidikan lingkungan, khususnya melalui narasi yang dekat dengan keseharian masyarakat.

“Dari kecil kita disuruh buang sampah pada tempatnya, tapi sampai sekarang masih banyak yang melanggar. Karena tidak ada ikatan kulturalnya. Tapi kalau dibilang pamali, orang bisa patuh walaupun tidak tahu alasannya,” papar Budi.

Menurutnya, larangan-larangan adat seperti pamali memiliki kekuatan psikologis dan budaya yang mampu membentuk kepatuhan tanpa paksaan.

“Anak-anak harus diajarkan sejak kecil. Biar ada ikatan kultural. Walaupun tidak paham, tapi tidak berani melanggar. Itu justru kekuatan budaya kita,” pungkasnya.

Diskusi tersebut menjadi bagian dari rangkaian Pameran Foto Sakakala yang digelar LKBN Antara, yang mengangkat tema sejarah, budaya, dan relasi manusia dengan alam melalui seni fotografi dan dialog lintas disiplin.(*)

 

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.