TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, Lampung Tengah - Pagi masih basah oleh embun ketika Burhan (32) memasuki hamparan sawah yang hendak digarapnya di Kampung Sidomulyo, Kecamatan Punggur, Lampung Tengah. Di antara barisan padi yang mulai menguning, satu topik hampir selalu menjadi bahan obrolan Burhan dengan rekan-rekannya sesama petani, pupuk.
Bukan sekadar soal ada atau tidak, melainkan soal tepat waktu, tepat jenis, tepat sasaran, dan harga yang terjangkau.
Lampung dikenal sebagai satu di antara lumbung pangan nasional. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, produksi padi Lampung pada 2024 mencapai lebih dari 2,7 juta ton gabah kering giling (GKG). Capaian itu bukan semata hasil kesuburan tanah, melainkan buah dari ekosistem pertanian yang ditopang berbagai faktor, salah satunya ketersediaan pupuk.
Bagi Burhan dan petani lainnya, pupuk adalah “nyawa” tanaman. Tanpa pemupukan yang tepat, hasil panen bisa turun drastis. Di Lampung, mayoritas petani masih mengandalkan pupuk bersubsidi seperti urea dan NPK untuk menekan biaya produksi.
Berdasarkan data Dinas Pertanian Provinsi Lampung, kebutuhan pupuk bersubsidi di wilayah ini mencapai lebih dari 600 ribu ton per tahun, dengan komoditas utama padi, jagung, dan singkong.
Namun di lapangan, persoalannya tak sesederhana angka. Keterlambatan distribusi, ketidaksesuaian alokasi, hingga minimnya pemahaman soal pemupukan berimbang masih kerap terjadi.
Hal itu juga dirasakan Burhan. Ia mengaku kerap kesulitan memperoleh pupuk bersubsidi karena stok di kelompok tani tidak selalu tersedia.
“Kalau beli di luar yang nonsubsidi, harganya jauh lebih mahal,” ujar Burhan saat diwawancarai, Minggu (21/12/2025).
Ia menduga, persoalan tersebut berkaitan dengan distribusi pupuk subsidi yang belum sepenuhnya merata. Paijo (46), rekan sesama petani, mengamini kondisi itu. Keduanya berharap, petani di Lampung Tengah dapat lebih mudah mengakses pupuk subsidi dengan harga terjangkau.
Situasi inilah yang menegaskan bahwa peran industri pupuk tidak cukup hanya berhenti pada produksi, tetapi juga memastikan distribusi, pelayanan, dan pengawalan benar-benar sampai ke tingkat petani.
Untuk menjawab berbagai keluhan tersebut, pemerintah menetapkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 113 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 6 Tahun 2025 mengenai Tata Kelola Pupuk Bersubsidi.
Regulasi ini menjadi bagian dari reformasi tata kelola subsidi pupuk guna memperkuat ketahanan pangan nasional sekaligus menjaga keberlanjutan industri pupuk. Kerangka kebijakan baru ini dirancang lebih adaptif, mendorong efisiensi, memperkuat rantai pasok bahan baku, serta membuka ruang modernisasi industri pupuk nasional.
Sekretaris Perusahaan PT Pupuk Indonesia (Persero), Yehezkiel Adiperwira, menyatakan pihaknya menyambut baik implementasi Perpres 113/2025 sebagai landasan strategis percepatan transformasi perusahaan.
“Sejak beberapa tahun terakhir, Pupuk Indonesia telah menyesuaikan strategi dengan mempertimbangkan volatilitas harga bahan baku global serta kebutuhan peningkatan efisiensi operasional. Perpres 113/2025 memperkuat arah transformasi tersebut secara kebijakan,” ujar Yehezkiel dalam keterangan persnya, Kamis (18/12/2025).
Distribusi pupuk di Lampung melibatkan rantai panjang, mulai dari produsen, distributor, hingga kios resmi di desa. Setiap mata rantai menentukan keberhasilan musim tanam.
Dalam beberapa tahun terakhir, digitalisasi melalui sistem e-RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok) mulai memperbaiki tata kelola pupuk bersubsidi. Petani yang terdaftar memiliki kepastian kuota, sementara pemerintah dapat memantau penyaluran secara lebih transparan.
Di sejumlah sentra pertanian Lampung Timur dan Tulang Bawang, pendampingan langsung dari penyuluh terbukti memberi dampak nyata. Petani tidak hanya menerima pupuk, tetapi juga mendapat arahan dosis dan waktu aplikasi yang tepat. Hasilnya, produktivitas padi meningkat dari rata-rata 5,2 ton per hektare menjadi sekitar 5,8 ton per hektare di lahan yang menerapkan pemupukan berimbang.
Namun di sisi lain, tantangan juga datang dari internal industri pupuk itu sendiri.
Yehezkiel menjelaskan, sebagian besar fasilitas produksi Pupuk Indonesia telah beroperasi hampir 50 tahun. Kondisi ini membuat konsumsi bahan baku, terutama gas, jauh lebih tinggi dibandingkan standar global.
Sebagai contoh, pabrik Pupuk Iskandar Muda (PIM) membutuhkan sekitar 54 MMBTU gas untuk memproduksi satu ton urea, sementara standar dunia berada di kisaran 23–25 MMBTU per ton. Tingginya konsumsi ini berdampak langsung pada biaya produksi yang selama ini dihitung melalui skema subsidi cost plus.
“Melalui Perpres 113/2025, skema subsidi cost plus ditinggalkan. Subsidi kini menggunakan mekanisme marked-to-market (MTM), yang secara langsung mendorong efisiensi dan disiplin biaya di tingkat produsen,” jelas Yehezkiel.
Dalam skema baru tersebut, harga pupuk bersubsidi bagi petani tetap dijaga melalui kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET), sementara produsen didorong meningkatkan efisiensi secara berkelanjutan.
Industri pupuk yang kuat bukan hanya soal kapasitas produksi, tetapi juga pengawalan di lapangan. Pengawalan berarti hadir, mendengar keluhan petani, serta memastikan pupuk benar-benar menjadi solusi.
Di Lampung Selatan, pengawalan intensif pada komoditas jagung mampu menekan penggunaan pupuk berlebih. Melalui rekomendasi pemupukan berbasis uji tanah sederhana, biaya pupuk dapat ditekan hingga 10–15 persen tanpa menurunkan hasil panen.
Lebih jauh, pengawalan juga krusial dalam menghadapi perubahan iklim. Curah hujan yang tak menentu menuntut strategi pemupukan adaptif. Tanpa pendampingan, petani berisiko salah aplikasi pupuk yang berujung pada penurunan produktivitas.
Selain reformasi kebijakan, evaluasi terhadap industri pupuk juga dilakukan secara menyeluruh. Pada Desember 2025, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merilis Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I 2025 yang mencatat tantangan efisiensi produksi pupuk bersubsidi pada periode 2022 hingga Semester I 2024.
Temuan ini menjadi dasar bagi perbaikan tata kelola ke depan.
Menanggapi hal tersebut, Yehezkiel menyebutkan Pupuk Indonesia terus melakukan langkah perbaikan internal, mulai dari pengoperasian pabrik pada mode paling optimal, rekonfigurasi proses produksi, pengamanan kontrak bahan baku jangka panjang, hingga program revamping pabrik-pabrik tua.
Perpres 113/2025 juga memberi ruang perbaikan dari sisi pendanaan. Dalam skema baru, pembayaran subsidi bahan baku dilakukan sebelum realisasi pengadaan, setelah melalui proses review lembaga berwenang. Skema ini menurunkan beban bunga pembiayaan modal kerja.
“Dengan kombinasi kebijakan baru dan langkah perbaikan internal, tata kelola pupuk bersubsidi kini memasuki fase yang lebih efisien dan berkelanjutan. Fokus kami memastikan pupuk tersedia tepat waktu, tepat jumlah, dan terjangkau bagi petani, sekaligus menjaga akuntabilitas keuangan negara,” ujar Yehezkiel.
Pangan berdaulat tidak lahir dari kebijakan di atas meja semata, melainkan dari sawah, ladang, dan kebun yang produktif. Di Lampung, penguatan pelayanan dan pengawalan pupuk menjadi jembatan antara kebijakan dan kebutuhan nyata petani.
Ketika pupuk tersedia tepat waktu, digunakan dengan benar, dan diawasi secara berkelanjutan, petani bekerja dengan lebih pasti. Dari kepastian itulah ketahanan pangan tumbuh, dan dari sana, kedaulatan bangsa dibangun, bermula dari tanah Lampung yang terus memberi kehidupan.
( Tribunlampung.co.id / Noval Andriansyah / Fajar Ihwani Sidiq )