TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Masih banyak orang tua tanpa sadar melabeli anaknya dengan sebutan “nakal” ketika anak sulit diatur, aktif bergerak, atau tidak sesuai harapan.
Padahal, menurut psikolog, label semacam itu bukan hanya keliru, tetapi juga berpotensi berdampak pada kesehatan mental anak dalam jangka panjang.
Psikolog asal Kota Solo, Jawa Tengah, Wiwik Widiyanti, M.Psi menegaskan bahwa menyebut anak “nakal” seharusnya tidak lagi dilakukan.
Karena perilaku yang sering dianggap nakal justru merupakan bagian dari proses tumbuh kembang anak yang normal.
“Karena kita bilang anak nakal saja, sebenarnya kan tidak boleh. Proses perkembangan, tumbuh kembang anak itu kan semakin hari semakin meningkat. Yang tadinya tidak bisa jalan, tidak bisa ngomong, lalu dia bisa bergerak ke sana ke sini dan merasa ‘aku bisa’,” jelas Wiwik pada Talkshow MOMSPIRATION di kanal YouTube Tribun Health, Kamis (25/12/2025).
Baca juga: Psikolog Soroti Kondisi Psikis Inara Rusli usai Terlibat Skandal Perselingkuhan dengan Insanul Fahmi
Wiwik menjelaskan, pada usia tertentu, terutama sekitar 3–4 tahun, anak berada pada fase egosentris.
Di masa ini, anak sedang berada dalam periode golden age, ketika perkembangan otak, kognitif, motorik, dan bahasa berlangsung sangat pesat.
Namun, karena keterbatasan pemahaman, banyak orang tua justru menilai fase ini sebagai perilaku bermasalah.
“Banyak orang tua bilang anaknya susah diatur. Padahal ini masa egosentris. Jangan dilabeli nakal, karena neuron-neuronnya tumbuh sangat cepat,” ujar Wiwik.
Ia menekankan bahwa label negatif dapat tertanam dalam diri anak dan membentuk konsep diri yang tidak sehat, terutama jika terus diulang oleh orang tua.
Dalam perspektif psikologis dan nilai keluarga, Wiwik mengingatkan bahwa ucapan orang tua memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan emosi anak.
Kata-kata yang diulang, baik atau buruk, dapat menjadi identitas yang dipercaya anak tentang dirinya sendiri.
Alih-alih melabeli anak dengan kata negatif, orang tua dianjurkan mengganti sudut pandang dengan bahasa yang lebih positif dan empatik.
“Kita bisa menyebutnya bukan nakal, tapi aktif, atau sedang berkembang. Karena ucapan orang tua itu bisa menjadi doa,” katanya.
Pendekatan ini bukan berarti membiarkan perilaku anak tanpa arahan, melainkan mengoreksi dengan bahasa yang membangun dan tidak merendahkan.
Baca juga: Parenting Aman Menurut Psikolog: Bukan Soal Anak Nurut, tapi Merasa Dilindungi
Dalam keseharian, perilaku anak yang aktif sering terlihat dari rumah yang berantakan, mainan berserakan, atau coretan di dinding.
Namun Wiwik mengajak orang tua untuk melihat situasi ini sebagai bagian dari kreativitas dan imajinasi anak, bukan semata-mata kenakalan.
Ia mengingatkan bahwa masa-masa ini tidak akan terulang, dan sering kali justru dirindukan ketika anak sudah beranjak besar.
Menurutnya, orang tua juga perlu mengenali kondisi emosinya sendiri.
Saat lelah atau emosi, tidak ada salahnya menunda respons dan memberi waktu diri sendiri untuk tenang, daripada meluapkan emosi kepada anak.
Soal disiplin, Wiwik menilai pendekatan memberi pilihan jauh lebih sehat dibanding ancaman.
Daripada menakut-nakuti anak, orang tua dapat menjelaskan sebab dan akibat dari suatu tindakan.
“Lebih baik kasih pilihan. Kalau mainan masih mau dipakai, berarti disimpan dan dirawat. Kalau digeletakkan, berarti boleh disedekahkan. Jadi anak belajar bertanggung jawab,” jelasnya.
Pendekatan ini membantu anak memahami konsekuensi tanpa merasa tertekan atau takut.
Wiwik menegaskan bahwa pola asuh yang ideal bukan yang otoriter atau permisif, melainkan otoritatif, tegas tetapi hangat, konsisten namun tetap fleksibel.
Pola ini memberi ruang bagi anak untuk berkembang sesuai minat dan bakatnya, tanpa tekanan berlebihan.
Ia juga mengingatkan pentingnya kesatuan suara antara ayah dan ibu dalam mengambil keputusan pengasuhan, agar anak tidak bingung atau mencari pembela.
Baca juga: Psikolog Ungkap Pola Pikir Pelaku Bullying di Era Digital, Diam Bisa Jadi Bentuk Perlindungan Diri
Menurutnya, kesehatan mental anak tidak hanya dibentuk oleh aturan, tetapi oleh suasana emosional di rumah dan cara orang tua memaknai perilaku anak.
Melabeli anak sebagai “nakal” mungkin terdengar sepele, tetapi bagi anak, itu bisa menjadi beban yang ia bawa hingga dewasa.
Karena itu, Wiwik menekankan bahwa memahami fase perkembangan anak dan memilih kata yang tepat adalah bagian penting dari menjaga kesehatan mental anak sejak dini. (*)