TRIBUNPALU.COM, PALU - Saat sebagian warga Kota Palu terlelap, aktivitas di kawasan Kijang 25 tambang emas ilegal Poboya, Kota Palu, tak pernah benar-benar tidur.
Di sanalah, pria asal Desa Tompe, Kabupaten Donggala, berinisial UK, bertaruh nyawa dari balik kemudi truknya.
Jalur penurunan curam Poboya yang dikenal ekstrem mengakhiri perjalanan hidup UK.
Truk yang dikemudikan UK meluncur bebas dan terjun ke jurang.
Penambang dan warga sekitar segera mengevakuasi korban dengan alat seadanya dan berhasil.
Baca juga: YPR Gelar Diskusi Baca Ulang Tata Kelola Tambang Poboya, Dorong Legalisasi Tambang Rakyat
Sayang, takdir berkata lain. Nyawa UK tak bisa diselematkan.
Kematian UK menambah daftar panjang penambang kehilangan nyawa di kawasan tambang emas ilegal Kelurahan Poboya, Kecamatan Mantikulore.
Tragedi itu bukanlah yang pertama dan dipastikan bukan yang terakhir.
Sepanjang tahun 2025, kawasan tambang ilegal Poboya berulang kali menjadi saksi bisu kecelakaan kerja maupun lalulintas.
Aktivitas di kawasan itu tak semuanya disebut Penambangan Tanpa Izin (Peti).
Terdapat perusahaan berizin di kawasan tersebut.
Perbukitan Poboya dekade 1987-1990 masuk kawasan hutan rimbun yang menjadi bagian dari Taman Hutan Raya (Tahura) Poboya-Paneki.
Masyarakat setempat saat itu hidup sebagai petani dan pekebun (jagung, padi, dan hasil hutan).
Bahkan, pemerintah menetapkan wilayah tersebut sebagai cagar alam untuk penelitian dan pelestarian flora-fauna.
Pemerintah pusat memberikan izin kepada perusahaan melalui skema Kontrak Karya (KK) pada tahun 1997.
Tahun 2008 menjadi titik balik ketika demam emas melanda Poboya.
Puluhan ribu penambang dari berbagai daerah masuk ke Poboya untuk menambang secara tradisional.
Baca juga: Komnas HAM Sulteng Desak Pemerintah Legalkan Tambang Emas Rakyat di Poboya Palu
Kala itu, ribuan mesin tromol atau penggiling batu bermunculan.
Mereka menggunakan merkuri dan berkembang menjadi sistem perendaman sianida.
Hal ini secara drastis mengubah tipologi sosial dan ekonomi masyarakat setempat.
Dekade 2010-2020, terjadi peningkatan ketegangan warga dengan perusahaan yang beroperasi di kawasan tersebut.
Ribuan warga yang menggantungkan hidup dari penambangan ilegal terusik dan mencaplok lahan.
Perusahaan memegang izin legal dari negara harus berhadapan dengan penambang ilegal yang memanfaatkan warga lokal.
Berikut deretan peristiwa kecelakaan kerja maupun lalulintas di tambang ilegal Poboya selama tahun 2025:
Tak Kenal Standar Keselamatan
Risiko di Poboya adalah kombinasi mematikan antara alam yang ekstrem dan ketiadaan standar keselamatan.
Di lokasi seperti Kijang 25 atau jalur menanjak Vavolapo, truk-truk tua dipaksa mengangkut beban material melebihi kapasitas.
Truk-truk tua itu harus melalui jalur yang lebarnya hanya selisih beberapa sentimeter dari jurang.
Tanpa perlengkapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang memadai, para penambang masuk ke kedalaman bumi hanya bermodalkan senter kepala dan doa.
Mereka adalah "tentara garis depan" dalam industri ilegal yang perputarannya mencapai miliaran rupiah, namun mereka sendiri bekerja tanpa asuransi maupun jaminan perlindungan.
Tetap Beraktivitas
Pertambangan tanpa izin di Poboya telah lama menjadi buah simalakama.
Di satu sisi, ia menghidupkan ekonomi akar rumput, di sisi lain, daerah itu adalah ladang maut yang tidak mengenal standar perlindungan pekerja.
Insiden itu sejatinya menjadi pengingat pahit bahwa emas yang digali dari perut bumi Poboya, terkadang harus ditebus dengan harga yang tak ternilai nyawa manusia.
Hanya saja, hal itu tidak berlaku di pertambangan emas poboya.
Baca juga: Gubernur Sulteng Tinjau Lokasi Tambang PT Citra Palu Mineral di Poboya
Kematian UK tak menjadi alarm bagi penambang setempat.
Aktivitas di sudut-sudut perbukitan Poboya tetap menderu, denting linggis tetap bersahutan.
Bagi para pencari emas di Poboya, garis antara keberuntungan dan maut sangatlah tipis.
Mereka berjalan di atasnya setiap hari, menantang takdir demi segenggam impian yang terkubur di balik kerasnya batuan gunung.
Di sini, nyawa mungkin terasa murah.
Namun bagi mereka yang bertahan, berhenti adalah sebuah kemewahan yang tak mampu mereka beli.(*)