Menjaga Keberlanjutan di Bumi
December 26, 2025 01:03 PM

Oleh : Ir. Azanuddin Kurnia, SP, MP, IPU ASEAN Eng

Indonesia kembali bergetar. Bencana banjir bandang dan tanah longsor menghantam Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada tanggal 26 November 2025 lalu masih menyisakan pil pahit khususnya bagi masyarakat terdampak.

Korban jiwa, harta benda, infrasuktur, lahan pertanian, perkenunan, tambak dan lainnya masih bertengger tegak dengan hanya minimalis yang berubah dari bencana. 

Masih banyak yang belum mampu bisa segera pulih kepada kondisi yang memadai. Perjuangan para korban terdampak masih sangat luar biasa beratnya. Bahkan kita bisa melihat pada beberapa daerah sudah mengibarkan bendera putih.

Bendera putih dengan banyak makna tergantung cara pandang dari masing-masing orang, termasuk cara pandang yang berbeda antara Aceh dan Jakarta.

Sebagai manusia, tentunya kita percaya bahwa ini adalah semua kehendak dari Yang Maha Kuasa. Walau kita juga tahu banyak kerusakan di muka bumi ini karena tangan-tangan jahil dari manusia juga. Itu jelas dan juga sudah diterangkan di Al Quran dan Hadist bagi umat Muslim khususnya.

 Menelisik ke belakang dengan cara pandang dan upaya manusia untuk meminimalkan bencana sudah banyak dicoba oleh manusia.

Baca juga: Serius Berantas Korupsi, Prabowo: Kekayaan Negara Dirampok, Saya Siap Mati Demi Rakyat

Peristiwa yang terdekat kita ambil contoh adalah perhatian dunia terhadap lingkungan hidup pertama kali muncul pada tahun 1950an ketika terjadi pencemaran lingkungan terutama di negara-negara maju yang disebabkan oleh limbah industri, pertambangan, dan pestisida.

Peristiwa ini kemudian mendorong lahirnya Konfrensi Stockholm pada tahun 1972, sehingga pada waktu itu masalah lingkungan menjadi masalah internasional.

Pasca Konferensi Stockholm tidak memberi pengaruh yang signifikan terhadap penanggulangan masalah lingkungan dan bahkan permasalahan lingkungan semakin parah pada waktu itu. 

Hal ini mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commission on Environment and Development / WCED) pada Desember 1983. Komisi ini bertugas untuk menyusun rekomendasi tentang strategi jangka panjang konsep pembangunan berkelanjutan dan menyelesaikan tugasnya pada tahun 1987 dengan laporan yang berjudul Hari Depan Kita Bersama (Our Common Future).

Laporan ini dikenal dengan laporan Brundtland karena diketuai oleh Ny. Gro Brundtland Perdana Menteri Norwegia. Usulan konsep pembangunan berkelanjutan dalam laporan Brundtland 1987 merupakan koreksi terhadap kelemahan dari pembangunan yang berwawasan lingkungan era Deklarasi Stockholm 1972 (Harjasumantri dan Sumarwoto dalam Sukardi dkk, 2005).

Proses yang terjadi di belahan dunia tersebut juga berdampak terhadap perubahan kebijakan di Indonesia. Hal ini terbukti dengan dibentuknya Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup pada Kabinet Pembangunan III tahun 1978. Dan pada Kabinet Merah Putih ini bernama Kementerian Lingkungan Hidup. 

Upaya Bangsa Indonesia untuk mengelola lingkungan dan meminimalkan kerusakan secara regulasi sudah banyak bahkan mungkin sudah sangat banyak. Kita ambil beberapa contoh yang terkait dengan ini.  

Baca juga: BLT Rp900 Ribu Cair Desember 2025, Warga Aceh Segera Cek Daftar Penerima dan Mekanisme Pencairannya

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 111 Tahun 2022, yang memperbarui dan memperkuat Perpres 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs), Menjadi payung hukum nasional untuk mengintegrasikan agenda global PBB ini ke dalam kebijakan dan program pembangunan nasional, didukung oleh peraturan teknis seperti Permen dan Kepmen PPN/Kepala Bappenas serta peraturan daerah.  

Meskipun SDGs itu sendiri adalah agenda global yang sifatnya soft law (tidak mengikat secara hukum internasional), penetapan Perpres ini menjadikan implementasinya mengikat secara hukum di wilayah Republik Indonesia bagi semua pemangku kepentingan. 

Untuk mengoordinasikan, mempercepat, dan memfasilitasi pencapaian 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) dan 169 targetnya hingga tahun 2030, mencakup dimensi ekonomi, sosial,  lingkungan, dan hukum dan tata kelola. Artinya SDDs ini begitu lengkap dalam mengawal tujuan pembangunan berkelanjutan.

Pada bagian lain, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), diperkuat oleh Permen LHK No. 1 Tahun 2021 tentang Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta peraturan teknis terbaru seperti Permen LHK No. 7 Tahun 2025, yang mengatur penilaian kinerja perusahaan berdasarkan kepatuhan dan inovasi lingkungan, mencakup aspek limbah, emisi, efisiensi energi, dan konservasi, untuk mendorong kinerja lingkungan yang lebih baik dan transparansi publik, terutama untuk sektor kehutanan dan lingkungan hidup 

Penilaian kinerja perusahaan dalam PROPER mencakup dua kategori utama, yaitu: Ketaatan (Compliance): Penilaian kepatuhan terhadap peraturan lingkungan, termasuk pengelolaan dokumen lingkungan, pengendalian pencemaran air dan udara, serta pengelolaan Limbah B3.

Beyond Compliance (Melampaui Kepatuhan): Penilaian inovasi dan kinerja proaktif yang melampaui standar, seperti: Sistem manajemen lingkungan, Efisiensi energi, Penurunan emisi. Program 3R (Reduce, Reuse, Recycle), Konservasi air, Perlindungan keanekaragaman hayati, dan Pengembangan masyarakat. 

Program PROPER ini digunakan untuk mengevaluasi kinerja perusahaan di berbagai sektor, termasuk kehutanan, industri, dan sektor lain yang memiliki dampak lingkungan signifikan, mendorong perusahaan untuk mencapai peringkat seperti Merah, Hijau, Emas, atau Hitam.. “PROPER adalah kontrol eksternal berupa rapor kinerja lingkungan yang diberikan pemerintah kepada dunia usaha sebagai bahan perbaikan bagi para pucuk pimpinan perusahaan. Selain itu, PROPER juga menjadi pemicu inovasi karena beberapa aspek yang dinilai untuk penilaian melebihi ketaatan dapat mendorong perusahaan untuk berinovasi dalam teknologi, misalnya untuk mengurangi intensitas emisi dan menggunakan bahan baku yang lebih ramah lingkungan,” jelas Rasio Ridho Sani Deputi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLH/BPLH (23 Juni 2025). 

Beliau juga menambahkan “Perusahaan tidak taat atau mendapat peringkat buruk, maka akan menghadapi risiko keuangan dan kesulitan memperoleh dukungan pendanaan, serta berpotensi dikenai sanksi hukum. Sebaliknya, jika memperoleh peringkat baik, perusahaan akan mendapat kemudahan, termasuk akses pendanaan yang lebih murah,”. 

Bergeser kepada sektor perkebunan, maka pemerintah juga sudah melakukan upaya agar perkebunan berkelanjutan dapat terwujud melalui tata kelola yang lebih baik. Tata kelola itu diwujudkan dari implementasi Perpres 44/2020 tentang Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (disebut ISPO) dan Permentan 38/2020 tentang Penyelenggaraan Sertifikasi ISPO. Saat ini Perpres 44/2020 sudah diganti dengan Perpres 16/2025 dengan menambah bahwa sertifikasi tidak saja pada level perkebunan kelapa sawit rakyat dan perusahaan, tetapi juga sudah masuk pada ranah industri hilir kelapa sawit dan usaha bioenergy kelapa sawit.

Mengacu pada tujuan ISPO adalah untuk memastikan dan meningkatkan pengelolaan serta pengembangan perkebunan kelapa sawit sesuai prinsip dan kriteria ISPO dan upaya meningkatkan keberterimaan dan daya saing hasil perkebunan kelapa sawit Indonesia di pasar nasional dan internasional serta meningkatkan upaya percepatan penurunan emisi gas rumah kaca.  

Melihat semua upaya yang sudah dilakukan oleh umat manusia di bumi ini, terlihat bahwa ada upaya yang keras yang sudah, sedang dan akan dilakukan untuk mempertahankan keberlanjutan di Bumi ini demi anak cucu.

Proses pada level internasional bahkan sampai level terkcil di pelosok negeri Indonesia bahkan sampai ke kaki Gunung Leuser dan kaki – kaki gunung lainnya. Tetapi pertanyaannya, kenapa kita selalu muncul bencana ? apakah bencana ini kita jemput ? padahal semua aturan sudah ketat dibuat dan diimplemtasikan… Atau jangan-jangan, semua regulasi dan implementasi yang sudah dibuat dilaksanakan hanya di atas kertas  bagian dari “cek list daftar saja”. Semua item persyaratan hanya di cek list dan dianggap sudah oke semua.  

Kalau ini yang terjadi, maka kita perlu bertanya pada diri sendiri dan pada bangsa ini, apa yang terjadi dengan kita saat ini ? karena semua norma dan etika sudah ada tapi sepertinya tidak bisa dilaksanakan sesuai dengan seharusnya,. Ini bagian dari koreksi dan intropeksi bersamaa ditengah bencana sebagai bangsa yang katanya ramah lingkungan. Ini tamparan buat kita semua untuk segera berbenah lebih baik dan menggunakan hati nurani,  Wallahualam.

 

Penulis adalah Ir. AZANUDDIN KURNIA, SP, MP, IPU ASEAN Eng, Ketua Perhimpunan Sarjana Pertanian Indoensia (PISPI) Aceh dan Wakil Ketua HKTI Aceh. Email: azanorlando@gmail.com

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.