Tanggapan Pemulung Terkait Rencana Penutupan TPA Suwung Bali, Ada yang Pasrah, Ada yang Keberatan
December 26, 2025 01:03 PM

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - "Kampung" pemulung di dekat TPA Suwung, Denpasar, Bali pada Jumat 26 Desember 2025, tak terlalu ramai aktivitas.

Beberapa pemulung terlihat memilah sampah dari dalam kantong plastik hitam yang telah menumpuk.

Ada juga yang menaikkan sampah yang sudah terpilah ke dalam mobil pick up.

Yang lainnya, ada juga mencuci plastik yang kotor yang telah dipilah.

Baca juga: Heboh Isu Pemkot Denpasar Bakal Buang Sampah ke Bangli Imbas Penutupan TPA Suwung, DPRD Menolak

Di kiri kanan jalan penuh oleh gunungan bungkusan hitam bahkan tumpukannya setinggi gubuk mereka.

Rata-rata gubuk mereka terbuat dari triplek, seng, dan ada juga batako namun tak diplester.

Beberapa dari mereka juga mempergunakan gubuk itu tempat tinggal, dan di depan kamarnya bertumpuk bungkusan kresek hitam hasil memulung di atas. 

Tak banyak dari mereka yang mau berbicara tentang penutupan TPA Suwung yang rencananya dilakukan pada 28 Februari 2028 mendatang.

Kebanyakan dari mereka beralasan tidak tahu, atau baru beberapa bulan berada di sana.

Ada juga yang meminta untuk menanyakan ke bosnya langsung. 

Salah seorang pemulung, Anton asal Jember mengaku pasrah dengan rencana penutupan TPA Suwung ini.

"Saya kurang tahu, tergantung masyarakat sini. Kalau kompak ya ndak apa-apa, kalau ndak kompak ya ndak apa-apa juga. Kan saya bukan asli sini. Kalau masyarakat sini terganggu, saya juga ikut, pasrah saya," paparnya.

Suasana kampung pemulung di dekat TPA Suwung Denpasar. Tanggapan Pemulung Terkait Rencana Penutupan TPA Suwung Bali, Ada yang Pasrah, Ada yang Keberatan
Suasana kampung pemulung di dekat TPA Suwung Denpasar. Tanggapan Pemulung Terkait Rencana Penutupan TPA Suwung Bali, Ada yang Pasrah, Ada yang Keberatan (Tribun Bali/Putu Supartika)

Anton mengaku telah menggantungkan hidup dari TPA Suwung sebagai pemulung sejak 20 tahun lalu.

Ia memungut apa saja yang ditemukannya yang penting laku.

"Ngambil sembarang, yang penting laku, ya ambil," tuturnya sambil mencuci plastik hasil pilahan.

Saat ditanya penghasilan per bulan dari memulung, ia enggan merinci.

"Tidak tentu dapatnya, tapi cukup untuk makan, anak dan istri," katanya.

Berbeda dengan Anton, salah seorang bos pengepul hasil pemulung yang tak mau disebutkan namanya mengaku keberatan dengan penutupan TPA Suwung ini.

Menurutnya, TPA Suwung menjadi satu-satunya mata pencariannya.

"Dibilang keberatan, ya jelas keberatan, soalnya ini mata pencaharian satu-satunya. Harapannya diperpanjang biar tidak cari kerjaan baru," papar pria asal Bojonegoro ini.

Sama seperti Anton, sebagai bos, ia juga tak mau merinci penghasilannya dari menjual hasil memulung ini.

"Ya cukup untuk sehari-hari, anak sekolah, cukup," katanya sambil merokok.

Ia menyebut, selain dirinya, ada ribuan pemulung lain yang menggantungkan hidupnya dari TPA Suwung.

"Di atas ada banyak yang menjadi pemulung. Ada ribuan di sini kayaknya," katanya.

Saat ditanya apakah sebelumnya ada sosialisasi sebelum penutupan TPA Suwung, ia pun mengaku tak tahu.

"Saya tidak tahu itu. Saya kan hanya kerja kerja kerja nggak mikir yang lain. Orang sehari-hari sudah kayak gini," katanya.

Di depan gubuknya yang terbuat dari batako bertumpuk bungkusan plastik hitam dan kampil.

Seorang pria yang merupakan anak buahnya sibuk memilah sampah dari dalam bungkusan plastik hitam.

Sementara itu, salah seorang warga Banjar Pesanggaran yang tinggal di pinggir Jalan Bypass Ngurah Rai dan berjarak beberapa ratus meter dari TPA merasa kebingungan untuk membuang sampah jika TPA Suwung benar-benar ditutup.

Ia yang membuka warung keperluan upacara ini mengaku rumahnya tak terlalu terdampak dengan keberadaan TPA Suwung.

"Kadang-kadang saja ada baunya di sini. Kalau ditutup repot nanti untuk buang sampahnya," paparnya.

Dirinya juga mengaku tak ada kompensasi kepada warga yang berada dekat dengan TPA Suwung.

Tokoh masyarakat Pesanggaran, I Wayan Widiada mengatakan, selama ini tak ada kompensasi dalam bentuk apapun terhadap warga yang terdampak TPA Suwung.

"Selama ini kompensasi dalam bentuk apapun belum pernah ada. Pasti masyarakat akan bilang tidak ada. Coba sekarang balik, tanya ke pengelola yaitu UPT, apakah ada, bagaimana jawaban mereka?" katanya.

Ia pun menyebut jika pengelola TPA Suwung selama ini telah melakukan pelanggaran tentang pengelolaan sampah, juga pelanggaran terhadap UU kesehatan masyarakat.

Tak hanya itu, ia juga menyoroti keberadaan akses jalan ke TPA Suwung yang becek saat musim hujan dan berdebu saat musim kemarau.

Hal itu menyebabkan jalan Bypass Ngurah Rai yang berada di dekat pintu masuk akses ke TPA Suwung becek karena lumpur dan mengganggu pengendara.

"Akses masuk jalan aspal yang becek mengakibatkan truk keluar masuk membawa lumpur ke jalan bypass. Mengakibatkan jalan kotor dan berdebu. Mengganggu pengguna jalan," paparnya. (*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.