TRIBUNTRENDS.COM - Di tengah sorotan publik yang terus mengarah ke Keraton Kasunanan Surakarta, Pakubuwono XIV Hangabehi memilih bersikap tenang dan irit bicara.
Saat ditanya awak media mengenai waktu pelaksanaan upacara kenaikan takhta atau jumenengan, Sinuhun Hangabehi belum bersedia membuka tabir rencana tersebut.
Alih-alih membahas jumenengan, Hangabehi justru memusatkan perhatian pada pelaksanaan ritual-ritual adat lain yang menjadi bagian dari tanggung jawabnya sebagai pimpinan adat Keraton Kasunanan Surakarta.
Sikap ini memperlihatkan kehati-hatian di tengah situasi keraton yang masih diliputi dinamika internal.
Baca juga: Dihalangi Masuk Keraton Solo oleh Kubu PB XIV Purboyo! Gusti Moeng Ngotot Jabatannya Belum Selesai
Saat ditemui di Masjid Agung, Jumat (26/12/2025), Sinuhun Hangabehi menegaskan bahwa dirinya belum ingin melangkah ke pembahasan jumenengan.
Baginya, menjalankan ritual adat yang diwariskan secara turun-temurun menjadi prioritas utama saat ini.
“Belum (jumenengan). Belum ingin membahas ke situ. Melakukan ritual adat secara turun-temurun,” ungkapnya.
Pernyataan singkat tersebut menjadi penanda bahwa proses spiritual dan adat masih menjadi pijakan utama sebelum berbicara lebih jauh mengenai prosesi penobatan resmi.
Senada dengan sikap Hangabehi, Ketua Eksekutif Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Surakarta Hadiningrat, KPH Eddy Wirabhumi, menyebut bahwa pihaknya memang belum menetapkan rencana pasti terkait penyelenggaraan jumenengan.
Menurut Eddy, keputusan tersebut diambil dengan mempertimbangkan saran dari pemerintah agar seluruh pihak di internal keluarga keraton dapat duduk bersama dan bermusyawarah.
“Itu (jumenengan) sejujurnya kita juga mengikuti saran dari pemerintah supaya keluarga ini bisa rembugan,” tuturnya.
Di tengah penantian tersebut, dinamika di lingkungan keraton masih berlangsung.
Diketahui, utusan Pakubuwono XIV Purboyo telah menggembok sejumlah pintu untuk menguasai akses menuju area kedhaton.
Meski demikian, kubu Hangabehi memilih untuk tidak terpancing melakukan tindakan balasan.
“Makanya kita tidak terpancing untuk melakukan hal-hal yang rasanya menimbulkan kegaduhan. Walaupun di sana menggembok-gembok, ya sudah kita ikuti saja,” jelasnya.
Sikap menahan diri ini diambil demi menjaga suasana agar tidak semakin memanas dan menimbulkan kegaduhan yang lebih luas.
Baca juga: Hangabehi Selesaikan Syarat Jadi Raja di Tengah Polemik, 7 Kali Jumatan di Masjid Agung Keraton Solo
Sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, Hangabehi menegaskan bahwa dirinya tetap menghormati saran pemerintah.
Ia memilih bersikap sabar dan berhati-hati agar konflik internal keraton tidak keluar dari koridor adat maupun hukum negara.
“Kita masih menahan diri agar secara adat tidak keluar dari koridor. Kita hidup di Negara Republik Indonesia, salah satu pendiri, sehingga kita mendengarkan, menghormati, dan mengikuti saran-saran dari pemerintah,” tuturnya.
Pernyataan ini memperlihatkan upaya menjaga keseimbangan antara adat keraton dan tatanan negara.
Meski belum ingin diumumkan ke publik, Hangabehi mengakui bahwa upacara jumenengan tetap menjadi bagian dari rencana ke depan.
Namun, ia menilai belum saatnya hal tersebut disampaikan secara terbuka.
“Pasti ada (rencana). Cuma memang belum saatnya disampaikan. Menunggu petunjuk dari Yang Maha Kuasa,” jelasnya.
Di tengah keheningan dan kehati-hatian itu, satu hal menjadi jelas: jumenengan bukan sekadar seremoni, melainkan momentum sakral yang menuntut kesiapan lahir dan batin, serta keselarasan antara adat, keluarga, dan negara.
***