TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Dinas Kebudayaan Kota Makassar mempersembahkan film dokumenter berjudul Syekh Yusuf dan Daeng Manggalle.
Film dokumenter ini mengangkat jejak sejarah, perjuangan, dan nilai-nilai keteladanan dua tokoh penting dalam perjalanan peradaban Makassar.
Film ini menelusuri peran Syekh Yusuf sebagai ulama besar, pejuang, dan tokoh spiritual yang berpengaruh hingga mancanegara.
Sementara kisah Daeng Manggalle figur lokal yang memiliki kontribusi penting dalam dinamika sosial dan budaya pada masanya.
Melalui narasi historis, penelusuran arsip, serta wawancara dengan sejarawan dan budayawan, dokumenter ini menghadirkan perspektif mendalam tentang nilai keislaman, keberanian, dan kearifan lokal yang diwariskan kepada generasi penerus.
Film ini perdana ditayangkan di bioskop CGV, Mal Panakkukang Makassar, Jumat (26/12/2025).
Hadir Staf Ahli Pemkot Makassar Akhmad Namsum, Kepala Dinas Kebudayaan Andi Pattiware, Kepala Bappeda Dahyal, Sekretaris Kebudayaan Syahruddin, sutradara, hingga pemain.
Kedua film ini berdurasi satu jam, diputar secara bergantian.
Baca juga: Sekdis Kebudayaan Makassar Hadiri Taklimat Media 400 Tahun Syekh Yusuf Al-Makassari
Kepala Dinas Kebudayaan, Andi Pattiware menyampaikan, peluncuran film dokumenter ini upaya Pemkot Makassar menumbuhkan kesadaran sejarah dan nilai-nilai budaya lokal di Kota Makassar.
Film tersebut mengangkat keteladanan dua tokoh besar, yakni Syekh Yusuf sebagai ulama dan pejuang berpengaruh hingga mancanegara.
Sementara Daeng Manggalle sebagai figur lokal yang merepresentasikan keberanian dan prinsip hidup masyarakat Makassar.
“Dua sosok ini menjadi inspirasi, terutama bagi anak-anak kita. Bagaimana orang Makassar itu berani, punya prinsip Siri’ na Pacce. Ini juga bagian dari pembangunan kebudayaan melalui media film dokumenter,” ujarnya.
Ia menegaskan, film ini bukan hanya diputar sekali, tetapi akan menjadi sarana edukasi yang berkelanjutan
Ke depan, Dinas Kebudayaan akan berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan Kota Makassar agar film tersebut dapat diputar di sekolah-sekolah tingkat SD dan SMP.
“Kami juga punya program museum keliling dari UPT Museum. Melalui kunjungan ke sekolah-sekolah, pemutaran film ini akan menjadi bagian dari edukasi sejarah kepada siswa,” jelasnya.
Peluncuran film dokumenter ini juga bertepatan dengan momentum penting, yakni persiapan haul 400 tahun Syekh Yusuf yang akan diperingati pada 2026.
Bahkan, trailer film dokumenter ini telah diputar dalam agenda kementerian terkait persiapan haul tersebut.
“Pihak kementerian juga berencana mengundang Pemkot Makassar pada pelaksanaan haul 400 tahun Syekh Yusuf,” tambahnya.
Staf Ahli Pemkot Makassar Akhmad Namsum menyampaikan, dua film ini memiliki makna keberanian, perjuangan.
"Dua film ini diangkat oleh Dinas Kebudayaan, sesuatu yang menginspirasi kita sebagai masyarakat Kota Makassar, orang Sulawesi Selatan," ujarnya.
Katanya, nilai dan norma Makassar yang berani, penuh dedikasi, dan selalu menjadi contoh dan teladan harus terus ditumbuhkan bagi kita masyarakat Kota Makassar.
Sutradara sekaligus tim produksi Ahmad Wildan Noumeiru mengungkapkan, proses penggarapan film dokumenter ini memakan waktu cukup panjang, sekitar satu tahun.
Tahapan riset menjadi proses terlama, mencapai lebih dari enam bulan.
“Syutingnya justru tidak lama, sekitar dua sampai tiga bulan. Yang lama itu riset dan perizinan ke luar negeri, terutama untuk pengambilan data di Thailand dan Prancis,” ungkapnya.
Film ini mengambil lokasi di tiga negara, yakni Indonesia, Prancis, dan Thailand.
Untuk adegan dramatis (Dg Mangalle) tim produksi membangun set kampung Makassar di wilayah Maros, Sulawesi Selatan.
Ia menjelaskan, film ini dikemas dalam format dokudrama agar lebih mudah diterima oleh masyarakat luas, tidak hanya kalangan akademisi.
“Kalau dokumenter murni kadang terkesan eksklusif. Makanya kami buat dokudrama, supaya anak-anak, masyarakat umum, yang belum familiar dengan film dokumenter juga tertarik menonton,” jelasnya.
Film Syekh Yusuf, Ziarah Panjang Sang Sufi mengikuti perjalanan seorang pemuda yang merasa bahwa masyarakat masa kini belum sepenuhnya memahami kebesaran Syekh Yusuf Al-Makassari.
Ia melihat nama Syekh Yusuf sering diabadikan, namun jejak perjuangan, kedalaman ilmu, dan warisan spiritualnya nyaris terlupakan.
Tekadnya untuk mengisi kekosongan itu mendorongnya membuat film dokumenter yang menghadirkan Syekh Yusuf secara utuh dan hidup.
Pencariannya dimulai di Makassar, tanah kelahiran sang sufi. Syekh Yusuf Lahir di Gowa pada 1626, Yusuf muda tumbuh dalam lingkungan bangsawan yang menanamkan kecintaan pada ilmu dan spiritualitas.
Pencariannya membawanya meninggalkan Makassar menuju pusat-pusat intelektual Nusantara seperti Banten dan Aceh, lalu melanjutkan rihlah ke Hadramaut, Yaman, Hijaz, hingga Damaskus.
Sekitar tahun 1670, Syekh Yusuf Kembali ke Nusantara, namun Gowa saat itu telah runtuh (1669), Akhirnya dia memutuskan untuk tinggal di banten dan menjadi kadi disana.
Saat di banten, konflik antara Banten dan VOC semakin memanas. Sultan Banten, Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap dan itu mengharuskan Syekh Yusuf menjadi salah satu panglima perang dalam menghadapi VOC.
Syekh Yusuf Bergerilya di Hutan sebelum akhirnya ditangkap, Syekh Yusuf ditahan di Batavia lalu diasingkan di Ceylon (Sri Lanka).
Di Ceylon, Syekh Yusuf banyak menulis dan menciptakan sekitar 20 manuscript, selain itu Jamaah haji yang datang dan pulang dari mekah singgah di Ceylon dan menemui Syekh Yusuf.
Hal itu membuat perlawanan di Nusantara Kembali hidup utamanya Banten dan Makassar.
Dari sini, tergambar bagaimana pengasingan tidak memutus dakwah sang sufi.
Bagian Ceylon ini menjadi potongan sejarah yang memperlihatkan keteguhan dan keluhuran jiwanya, dimana pengasingan justru melahirkan cahaya.
Namun VOC, yang semakin takut akan pengaruhnya, memindahkannya untuk kedua kalinya dan kini lebih jauh dari apa pun yang dapat dijangkau oleh Nusantara dan hal ini adalah suatu hal yang tidak biasa.
Untuk memahami babak akhir itu, sang pemuda melakukan perjalanan ke Cape Town, Afrika Selatan.
Di Zandvliet, lokasi pengasingan terakhir Syekh Yusuf, ia menyaksikan bagaimana ajaran sang sufi justru menjadi fondasi spiritual komunitas Muslim Cape Malay.
Keturunannya, tradisi mereka, dan situs-situs warisan Syekh Yusuf menjadi bukti bahwa pengasingan yang ditujukan memadamkan pengaruhnya justru menyalakan api baru di ujung Afrika.
Melalui perjalanan pemuda itu, film ini menyingkap bahwa Syekh Yusuf bukan hanya ulama besar dari Makassar, bukan hanya pejuang Banten, tetapi figur dunia Islam yang meninggalkan warisan di tiga kawasan besar, Nusantara, Sri Lanka, dan Afrika Selatan. (*)