TRIBUNBANYUMAS.COM, SEMARANG - Pemerintah Provinsi Jawa Tengah resmi menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Tahun 2026 pada Selasa, 24 Desember 2025, tepat pukul 12.00 WIB.
Penetapan dilakukan langsung oleh Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi, menyusul terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2025 tentang Pengupahan.
Penetapan ini sekaligus menutup rangkaian proses panjang dan dinamis yang sempat molor akibat keterlambatan regulasi dari pemerintah pusat.
PP 49 Tahun 2025 baru diterbitkan pada 17 Desember 2025, menyusul Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang memisahkan klaster ketenagakerjaan dari Undang-Undang Cipta Kerja dan mengamanatkan pembentukan undang-undang ketenagakerjaan baru dalam waktu dua tahun.
Berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 100.3.3.1/504 Tahun 2025, UMP Jawa Tengah 2026 ditetapkan sebesar Rp2.327.386,07. Angka ini naik 7,28 persen atau Rp158.037,07 dibandingkan UMP 2025 sebesar Rp2.169.349,00.
Persentase kenaikan tersebut menjadi yang tertinggi di Pulau Jawa, melampaui DKI Jakarta (6,17 persen), Banten (6,74 persen), Jawa Barat (5,77 persen), Jawa Timur (6,11 persen), dan DI Yogyakarta (6,77 persen).
Gubernur Ahmad Luthfi menyatakan, penetapan UMP dilakukan berdasarkan formula PP 49 Tahun 2025 dengan mempertimbangkan inflasi Jawa Tengah sebesar 2,65 persen, pertumbuhan ekonomi 5,15 persen, serta nilai alfa maksimal 0,90.
“Nilai alfa 0,90 ini tidak ditentukan secara sembarangan, tetapi melalui perhitungan dan parameter yang jelas,” ujar Ahmad Luthfi dalam keterangannya beberapa waktu lalu.
Keputusan tersebut mendapat apresiasi dari Aliansi Buruh Jawa Tengah (ABJAT).
Koordinator ABJAT, Aulia Hakim, menilai Gubernur Jawa Tengah telah menunjukkan keberpihakan nyata kepada buruh dengan memaksimalkan nilai alfa sebagaimana diatur dalam PP 49 Tahun 2025.
“Kami menilai keputusan ini bijak dan realistis dengan kondisi buruh Jawa Tengah saat ini. Kenaikan UMP menggunakan alfa 0,9 menunjukkan keberanian dan keberpihakan pemerintah daerah kepada rakyat kecil,” ujarnya, Sabtu (27/12/2025).
Menurut ABJAT, meskipun secara nominal UMP Jawa Tengah masih tertinggal dibanding beberapa provinsi lain, kenaikan tertinggi secara persentase dinilai dapat menjadi landasan untuk mengejar ketertinggalan upah di masa mendatang.
Selain itu, kebijakan ini dianggap mampu memperkecil kesenjangan antara UMK tertinggi dan terendah di Jawa Tengah.
UMK tertinggi 2026 ditetapkan di Kota Semarang sebesar Rp3.701.709, naik 7,15 persen atau Rp246.882. Sementara UMK terendah berada di Kabupaten Banjarnegara sebesar Rp2.327.813, naik 7,25 persen atau Rp157.337.
Namun, suara berbeda datang dari Federasi Serikat Pekerja Indonesia Perjuangan (FSPIP) Jawa Tengah. Ketua Umum FSPIP Jateng, Karmanto, menyatakan kekecewaannya terhadap penetapan UMK, khususnya di Kota Semarang.
Menurutnya, UMK Semarang 2026 sebesar Rp3.701.709 belum mencerminkan pemenuhan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) secara utuh sebagaimana diamanatkan dalam Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023.
“Pada prinsipnya kami sedikit kecewa. Dalam amar putusan MK sudah jelas bahwa penetapan UMK harus mengutamakan pemenuhan 100 persen KHL. Di Kota Semarang, capaiannya masih belum mencukupi,” ujar Karmanto.
Ia menyebut, penetapan UMK Kota Semarang menggunakan nilai alfa 0,8. Jika benar-benar mengacu pada 100 persen KHL, upah seharusnya berada di kisaran Rp3,8 juta.
Baca juga: Bupati dan DPRD Banjarnegara Sepakati Perubahan Perda Pajak dan Retribusi Daerah
Terkait kemungkinan aksi lanjutan, Karmanto mengatakan pihaknya masih akan berkoordinasi dengan serikat buruh lain yang tergabung dalam Aliansi Buruh Jawa Tengah di Kota Semarang.
Sebelumnya, Wali Kota Semarang Agustina Wilujeng telah menyatakan komitmennya agar UMK 2026 tidak berada di bawah Rp3,7 juta.
Selain itu, Pemerintah Kota Semarang juga memastikan Upah Minimum Sektoral (UMS) tetap diberlakukan.
Selain UMP dan UMK, Pemprov Jawa Tengah juga menetapkan UMSP pada 11 sektor industri serta UMSK pada 33 sektor di lima kabupaten/kota, menyesuaikan karakteristik dan kemampuan masing-masing sektor.
Penetapan upah 2026 ini pun menjadi titik temu sekaligus perdebatan baru antara pemerintah, pengusaha, dan buruh, yang mencerminkan dinamika kebijakan pengupahan di tengah tuntutan kesejahteraan dan stabilitas ekonomi daerah.