Oleh: Goldy Ogur
Mahasiswa Pascasarjana Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero, NTT.
POS-KUPANG.COM - Setiap tahun, pada tanggal 25 November, kita merayakan Hari Guru dengan riuh-rendah ucapan terima kasih, unggahan foto masa sekolah, dan kalimat manis yang bertebaran di beranda media sosial.
Namun, selebrasi itu sering hanya berlangsung sehari. Pada hari-hari selebihnya, guru kembali tenggelam dalam rutinitas panjang, ruang kelas yang penuh, administrasi yang menumpuk, dan sistem pendidikan yang kadang tidak memihak pada kesejahteraan mereka.
Hari Guru adalah peringatan yang indah, tetapi perjuangan guru berlangsung jauh lebih senyap daripada yang terlihat di permukaan.
Baca juga: Opini: Dari Syukur ke Tanggung Jawab - Membaca Masa Depan NTT
Banyak orang melihat guru sebagai sosok yang berdiri di depan kelas, mengajar dengan suara lantang atau menulis di papan tulis.
Namun sedikit yang menyadari bahwa pekerjaan terbesar guru justru terjadi di ruang-ruang yang tak pernah disorot.
Ada waktu berjam-jam untuk memeriksa tugas di malam hari, ada siswa yang datang diam-diam untuk curhat sebelum pulang, ada kecemasan tentang murid yang semakin tertinggal, dan ada pertanyaan batin:
“Apakah saya sudah melakukan cukup?” Inilah kenyataan yang jarang dirayakan.
Paulo Freire pernah mengatakan bahwa pendidikan adalah tindakan cinta yang radikal, suatu upaya membebaskan manusia untuk menjadi dirinya sendiri. Dan cinta seperti itu tidak pernah sederhana.
Ia menuntut kesabaran, keberpihakan, dan keberanian untuk tetap hadir meski dunia bergerak terlalu cepat.
Guru berjuang bukan hanya untuk mengajar, tetapi untuk melindungi manusia agar tidak hilang dalam sistem yang makin menuntut angka dan hasil.
Di tengah tekanan administrasi dan minimnya penghargaan struktural, guru tetap menjadi fondasi moral masyarakat.
Mereka bekerja dalam apa yang disebut Arendt sebagai “ruang tindakan”, tempat manusia membentuk masa depan melalui kehadirannya terhadap sesama.
Guru bukan hanya pengajar, melainkan penjaga peradaban: memastikan generasi baru tumbuh dengan nilai, nalar, dan harapan.
Banyak orang mengira pekerjaan guru hanya berlangsung dari pagi sampai siang.
Padahal, hidup seorang guru sering bergerak dalam dua dunia: dunia kelas yang terlihat, dan dunia batin yang tak pernah selesai pada jam tiga sore.
Beban sunyi ini tidak tercatat dalam laporan dinas, tetapi justru menjadi inti perjuangan mereka.
Guru bukan hanya mengajar mata pelajaran; mereka juga mengelola emosi anak-anak yang datang dari berbagai kondisi rumah.
Ada murid yang datang lapar, ada yang patah hati, ada yang tidak pernah mendapatkan perhatian.
Guru menjadi tempat pulang sementara bagi mereka yang hidup dalam kekosongan kasih.
Pekerjaan emosional ini tidak pernah masuk ke indikator penilaian, tapi menjadi detak jantung profesi guru.
Yasraf Amir Piliang menyebut era ini sebagai “era hiperaktifitas sosial”, ketika manusia dipaksa bergerak terus-menerus, dan pekerjaan yang bersifat emosional terkubur di bawah tuntutan administratif.
Guru mengalami tekanan itu setiap hari: formulir, laporan, akreditasi, asesmen, pelatihan, verifikasi, dan tugas menggunakan aplikasi yang tak pernah berhenti diupgrade.
Mereka mengajar manusia, tetapi sering dinilai oleh sistem yang hanya menghitung data.
Dalam konteks inilah kita melihat paradoks: guru adalah pusat pendidikan, tetapi kebijakan sering membuat mereka terpinggirkan.
Banyak guru bekerja dalam ketidakpastian: gaji kecil, status honorer yang rapuh, dan tuntutan profesionalisme yang terus naik tanpa dukungan memadai.
Mereka tetap bertahan, karena seperti kata Freire, pengajar sejati tidak mengajarkan pelajaran, tetapi harapan.
Di ruang kelas, guru membawa beban yang tidak pernah diceritakan. Kegelisahan menghampiri ketika menemukan satu murid yang tidak bisa membaca.
Kesedihan muncul ketika siswa berhenti sekolah karena kemiskinan.
Guru menyaksikan kehidupan dalam bentuk paling mentahnya, sebuah pengalaman yang sering membuat mereka lebih cepat matang dibanding profesi lain.
Namun, meski semua itu tidak terlihat publik, guru tetap menjadi pelita kecil yang menjaga jalan pendidikan tetap terang.
Ia tidak menuntut pengakuan, tetapi selalu berharap masa depan muridnya lebih baik. Dan di sanalah kemuliaan profesi ini tersembunyi.
Guru adalah profesi yang bekerja untuk masa depan yang belum mereka lihat.
Setiap hari mereka bertemu manusia yang sedang tumbuh, yang belum tahu akan menjadi apa, yang tidak menyadari bahwa hidupnya sedang dibentuk oleh seseorang yang berdiri di depan kelas hari ini.
Byung-Chul Han menyebut era kita sebagai “masyarakat performatif”, masyarakat di mana nilai seseorang diukur dari hasil instan yang bisa dilihat.
Tapi pendidikan bukan dunia instan. Guru bekerja dalam logika yang bertentangan: hasil dari perjuangan mereka baru tampak bertahun-tahun kemudian.
Mungkin ketika seorang murid berhasil lulus kuliah, mungkin ketika ia menjadi orang tua yang lebih bijaksana, atau ketika ia tidak mengulangi luka yang diturunkan keluarganya, semua itu adalah buah dari benih yang ditanam guru di masa lalu.
Franz Magnis-Suseno pernah menulis bahwa tugas moral masyarakat adalah menjaga martabat profesi yang menopang kehidupan bersama.
Guru adalah salah satu profesi itu. Ia mengajarkan nilai sebelum mengajarkan ilmu: disiplin, kejujuran, tanggung jawab, dan cara menjadi manusia yang baik.
Dan semua itu dilakukan bukan hanya melalui kata-kata, tetapi melalui teladan sehari-hari.
Di kelas, guru adalah filsuf kecil. Ia mengajak murid bertanya, berpikir, dan mempertanyakan dunia. Ia membantu murid menemukan suara mereka sendiri, bukan hanya suara buku.
Ia memberi ruang untuk gagal, mencoba lagi, dan tumbuh. Tanpa guru, pendidikan hanya menjadi sistem dingin tanpa sentuhan manusia.
Pada saat yang sama, guru harus bertahan dari berbagai tantangan: kurikulum yang sering berubah, tekanan dari orang tua, kurangnya fasilitas, dan murid yang datang dari realitas sosial yang keras.
Namun mereka tetap hadir, karena kehadiran adalah bentuk kekuatan utama seorang guru.
Guru adalah penjaga masa depan, bukan dengan kekuatan besar, tetapi dengan tindakan kecil yang dilakukan setiap hari: menyapa murid, memeriksa latihan, menahan amarah, memberikan semangat, dan percaya pada anak-anak yang tidak percaya pada dirinya sendiri. Inilah pekerjaan besar yang tidak pernah terlihat.
Guru bukan hanya profesi, tetapi panggilan untuk menjadi manusia bagi manusia lain.
Pada akhirnya, perayaan Hari Guru hanya berarti jika kita menatap lebih jauh daripada bunga, ucapan, dan foto nostalgia.
Guru tidak butuh selebrasi besar; mereka membutuhkan pengakuan bahwa perjuangan mereka nyata dan tidak ringan. Mereka bekerja dalam senyap, tetapi dampaknya menggema sepanjang generasi.
Kita harus jujur mengakui: tanpa guru, tidak ada profesi lain yang mungkin lahir.
Setiap dokter, insinyur, pendeta, penulis, dan pemimpin pernah duduk di kursi kecil sambil mendengarkan seorang guru yang mungkin tidak pernah dikenal dunia, tetapi membentuk masa depan mereka.
Karena itu, Hari Guru harus menjadi pengingat bagi kita semua, mulai dari pemerintah, masyarakat, orang tua, dan murid bahwa pendidikan tidak akan pernah melampaui kualitas guru yang menemani prosesnya.
Maka, dukungan struktural, kesejahteraan yang layak, kebijakan yang manusiawi, serta penghargaan sosial yang tulus harus menjadi komitmen sepanjang tahun, bukan hanya satu hari.
Guru adalah pahlawan yang tidak meminta panggung. Mereka tidak selalu terlihat, tetapi pekerjaan mereka menjadi fondasi masa depan bangsa. Dan kita berutang banyak pada mereka.
Satu hari untuk guru adalah simbol. Tapi setahun penuh dan sepanjang hidup adalah penghormatan sejati pada perjuangan yang tak terlihat. (*)