Pemerintah Didorong Bentuk Satgas Rehabilitasi dan Rekonstruksi Guna Percepatan Pemulihan Sumatera
Wahyu Aji/Tribunnews.com
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Skala kerusakan dan korban jiwa akibat banjir bandang serta tanah longsor di tiga provinsi di Pulau Sumatera mendorong desakan agar pemerintah segera membentuk Satuan Tugas Percepatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Sumatera.
Tanpa komando khusus, penanganan pascabencana dinilai berisiko berjalan lambat dan tidak terkoordinasi di tengah tingginya kebutuhan korban.
Baca juga: Pemulihan Daerah Terdampak Banjir Sumatera, 500 Hunian Sementara Ditargetkan Rampung Akhir Tahun Ini
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat total korban meninggal dunia akibat bencana tersebut mencapai 1.137 jiwa.
Rinciannya, 504 orang meninggal di Aceh, 371 jiwa di Sumatera Utara, dan 262 jiwa di Sumatera Barat. BNPB juga melaporkan adanya penambahan korban setelah Tim Gabungan menemukan masing-masing satu jenazah di Aceh dan Sumatera Barat pada Jumat (26/12/2025).
Sementara itu, jumlah korban hilang di tiga provinsi tersebut tercatat menurun menjadi 163 orang, dengan rincian 31 orang di Aceh, 60 orang di Sumatera Utara, dan 72 orang di Sumatera Barat.
Meski demikian, proses pencarian dan evakuasi masih menghadapi kendala akibat kerusakan infrastruktur dan kondisi geografis wilayah terdampak.
Menanggapi situasi bencana berskala besar tersebut, Direktur Eksekutif Rumah Mediasi Indonesia (RMI), Ifdhal Kasim, menilai perdebatan administratif mengenai penetapan status “Bencana Nasional” tidak seharusnya menjadi fokus utama pemerintah.
Menurutnya, yang lebih penting adalah memastikan hadirnya kepemimpinan dan koordinasi yang kuat dalam fase pascabencana.
“Fokus utama saat ini adalah kerja nyata dan gotong royong untuk pemulihan korban. Status bencana tidak boleh menghambat langkah-langkah konkret pemerintah dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat terdampak,” ujar Ifdhal dalam pernyataannya, Sabtu (27/12/2025).
Ifdhal mengapresiasi langkah pemerintah yang telah menunjukkan keseriusan, termasuk kehadiran langsung Presiden ke sejumlah wilayah terdampak.
Namun, ia menilai masih terdapat persoalan mendasar dalam fase tanggap darurat, khususnya lemahnya koordinasi antarkementerian dan lembaga yang berdampak pada lambannya penanganan di lapangan.
“Dalam situasi darurat yang sangat krusial, masih terlihat adanya miskoordiasi. Penanganan menjadi sporadis dan terkesan lambat, terutama dalam pemenuhan kebutuhan dasar korban,” katanya.
Ia menilai BNPB perlu memperkuat perannya sebagai komando nasional agar evakuasi korban, distribusi bantuan logistik, serta pemulihan layanan dasar dapat berjalan lebih responsif dan terintegrasi.
Ketidaksiapan menghadapi luapan banjir besar disebut turut memperlambat perbaikan fasilitas vital seperti listrik, jalan, jembatan, dan akses air bersih.
Menurut Ifdhal, hingga kini kondisi di sejumlah wilayah terdampak masih menunjukkan korban bencana hidup dalam ketidakpastian, baik terkait hunian sementara maupun keberlanjutan pemulihan sosial dan ekonomi.
Karena itu, ia mendorong pemerintah untuk bersikap terbuka terhadap bantuan dari berbagai pihak, baik dari dalam maupun luar negeri, selama bertujuan kemanusiaan.
“Bencana dengan skala seperti ini adalah persoalan kemanusiaan. Tidak semestinya pemerintah meributkan asal bantuan atau bahkan menghalanginya. Menolak solidaritas sama saja dengan menolak nilai kemanusiaan itu sendiri,” tegasnya.
Lebih lanjut, Ifdhal mengingatkan agar pemerintah tidak terpancing oleh berbagai ekspresi kekecewaan warga terdampak, khususnya di Aceh. Ia menilai respons yang keliru justru berpotensi menimbulkan persoalan baru yang kontraproduktif dengan proses pemulihan.
“Pemerintah seharusnya fokus pada mitigasi dan pemulihan, bukan pada polemik. Yang paling mendesak adalah pemenuhan hak-hak ekonomi dan sosial korban, seperti makanan, air bersih, sanitasi, pakaian, serta hunian sementara yang layak,” ujarnya.
Selain pemenuhan kebutuhan dasar, percepatan perbaikan infrastruktur publik—mulai dari pasar, sekolah, rumah sakit, hingga jaringan listrik—dinilai menjadi kunci untuk memulihkan aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat terdampak.
Untuk memastikan rehabilitasi dan rekonstruksi berjalan terarah dan terukur, RMI secara tegas mendorong pemerintah segera membentuk Satuan Tugas Percepatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Sumatera. Satgas tersebut dinilai penting untuk menghadirkan komando yang jelas, perencanaan prioritas lintas sektor, serta dukungan anggaran yang memadai.
“Perbaikan infrastruktur dan pemulihan kehidupan warga tidak bisa dilakukan secara sporadis. Harus terorganisir, sistematis, dan berbasis komando. Dengan pembentukan satgas ini, proses rehabilitasi dapat dipercepat sekaligus memulihkan kepercayaan publik terhadap pemerintah,” pungkas Ifdhal Kasim.