TRIBUNPRIANGAN.COM, BANDUNG - Ketua Forum Penyelamat Hutan Jawa, Eka Santosa, mengkritisi kebijakan Kementerian Kehutanan yang membagikan pengelolaan Gunung Wayang Situ Cisanti hulu Citarum kepada masyarakat.
Eka mengatakan melalui SK yang ditandatangani Kementerian Kehutanan sebanyak 871 hektare lahan Gunung Wayang di Kabupaten Bandung dibagi-bagi pengelolaannya kepada warga sebanyak 661 orang, jika diasumsikan seorang penggarap dapat 1,3 hektare lahan melalui perhutanan sosial.
Eka menyebut sangat dimungkinkan warga menebang pohon di kawasan tersebut untuk menanam sayuran yang bisa menyebabkan banjir ke wilayah Bandung. Menurut Eka padahal sudah jelas surat edaran Gubernur Jabar Dedi Mulyadi melarang keras alih fungsi lahan. "Ko ini malah ada pembagian lagi, jelas ini bertabrakan aturannya," ujar Eka melalui sambungan telepon, Minggu (28/12/2025).
Eka menyebut kenapa bertabrakan, karena Gubernur Jabar Dedi Mulyadi sudah jelas menerbitkan surat edaran larangan alih fungsi lahan, lalu tiba-tiba ada pembagian lagi pengelolaan kawasan Gunung Wayang.
"Hal ini yang memantik kami sebagai aktivis dan penyelamat lingkungan, saat ini alam sedang memperlihatkan akibat ulah tangan manusia merusak lingkungan, kekhawatiran kami memuncak setelah mengetahui fakta ini terjadi lagi, apalagi Situ Cisanti Gunung Wayang adalah hulu Citarum, bagaimana nasib Bandung ke depan jika ini dibiarkan, alam tak lagi dilindungi negara," katanya.
Eka mengatakan, jika terjadi pembiaran maka dosa baginya dan bagi rekan-rekan yang konsen terhadap penyelamatan lingkungan.
Eka mengatakan, jauh hari sebelumnya saat ia menjabat sebagai Ketua DPRD Jabar, kawasan hulu Citarum Situ Cisanti dan Gunung Wayang akan dijadikan Taman Hutan Rakyat yang dilindungi undang-undang dan negara.
Menurutnya rencana Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk menjadikan Hutan Gunung Wayang–Cisanti sebagai Taman Hutan Raya (Tahura) kembali menuai sorotan tajam saat ini. Pasalnya, di tengah dorongan kuat dari Gubernur Jawa Barat agar kawasan hulu Sungai Citarum tersebut mendapatkan perlindungan maksimal, Kementerian Kehutanan justru mengeluarkan kebijakan pelimpahan pengelolaan hutan lindung kepada kelompok masyarakat.
"Jadi kebijakan inilah yang memantik polemik luas di kalangan pemerhati lingkungan, aktivis kehutanan, hingga budayawan Sunda," ujar Eka.
Ia mengatakan hulu Sungai Citarum terletak di Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, dengan Situ Cisanti sebagai mata air utama. Di atasnya berdiri Gunung Wayang, kawasan yang tidak hanya bernilai ekologis tinggi, tetapi juga memiliki makna sakral dalam sejarah dan peradaban Sunda.
Sungai Citarum sendiri membentang lebih dari 240 kilometer, mengalir dari Gunung Wayang hingga bermuara di Muara Gembong. Sungai ini melewati sedikitnya 12 kabupaten dan kota di Jawa Barat, menjadi sumber air, energi, dan kehidupan bagi jutaan penduduk.
Karena itu, kondisi hulu Citarum selalu dipandang sebagai kunci keselamatan ekologis kawasan Bandung Raya dan sekitarnya.
Eka Santosa, menyatakan keheranan dan keprihatinan mendalam atas kebijakan Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan yang terbit pada 11 November, yang melimpahkan pengelolaan kawasan hutan lindung Gunung Wayang kepada kelompok masyarakat hutan desa.
Menurut Eka Santosa, kebijakan tersebut terkesan ceroboh, tergesa-gesa, dan tidak sensitif terhadap risiko ekologis jangka panjang.
“Pertanyaannya sederhana, apakah kelompok penerima ini memiliki kompetensi, rekam jejak, dan keahlian dalam mengelola serta melindungi hutan lindung?” kata Eka Santosa.
Isu kerusakan Gunung Wayang bukan hal baru. Eka Santosa mengingatkan bahwa sejak 20 hingga 30 tahun lalu, kawasan Cisanti sudah mendapat perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat.
Saat menjabat Ketua DPRD Jawa Barat, Eka Santosa bersama Gubernur Jawa Barat kala itu, Nuriana, turun langsung ke lapangan untuk mengatasi perambahan hutan dan praktik pertanian di lereng curam Gunung Wayang. Berbagai pendekatan persuasif dan kompensasi dilakukan agar masyarakat beralih dari aktivitas yang merusak lingkungan.
Upaya tersebut berlanjut pada masa kepemimpinan gubernur-gubernur berikutnya, hingga akhirnya Sungai Citarum mendapatkan perhatian nasional melalui program Citarum Harum, bahkan Presiden RI turun langsung ke lokasi.
Eka Santosa mengatakan bahwa komitmen Pemerintah Provinsi Jawa Barat sangat jelas dan terdokumentasi resmi. Pada 17 Juni, Gubernur Jawa Barat secara langsung menemui Menteri Kehutanan di Jakarta untuk mengusulkan perlindungan khusus terhadap tiga gunung strategis di Jawa Barat, yakni: Gunung Sanggabuana, Gunung Cikurai, Gunung Wayang.
Usulan tersebut ditegaskan kembali melalui surat resmi tertanggal 19 Juni, yang mendorong Gunung Wayang dan kawasan hulu Citarum untuk ditetapkan sebagai Tahura, sehingga status lindungnya tetap terjaga.
Bahkan, pada 4 Oktober, Gubernur Jawa Barat menerbitkan surat edaran larangan alih fungsi aset negara, termasuk kawasan kehutanan, taman nasional, dan cagar alam.
Ironisnya, di tengah dorongan kuat pemerintah daerah tersebut, Kementerian Kehutanan justru menerbitkan keputusan yang menyerahkan pengelolaan kawasan Cisanti–Gunung Wayang kepada kelompok masyarakat.
Bagi Eka Santosa, langkah ini menimbulkan tanda tanya besar. Ia menilai kebijakan tersebut seolah mengabaikan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, sekaligus bertentangan dengan semangat perlindungan lingkungan yang sedang dibangun.
Lebih jauh, Eka Santosa mengingatkan bahwa kawasan Cisanti selama ini rawan eksploitasi menjadi lahan sayuran, dan penyerahan pengelolaan kepada pihak yang tidak memiliki kompetensi justru berpotensi melegitimasi kerusakan yang lebih masif.
Eka Santosa menegaskan bahwa kebijakan ini juga bertentangan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa kekayaan alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Pelimpahan lebih dari 900 hektare hutan lindung kepada sekitar 660 kepala keluarga dinilai memberi kesan pembagian aset negara, bukan pengelolaan berbasis perlindungan ekosistem.(*)