Salah satu prestasi Kopassus yang paling diingat adalah ketika Operasi Woyla membebaskan sandera pembajakan pesawat oleh Komando Jihad di Thailand.
Intisari-Online.com -Masih ingat dengan operasi pembebasan Pesawat Woyla oleh Komando Pasukan Khusus (Kopassus) pada 1981? Begini ceritanya.
Pada 28 Maret 1981, pesawat DC 9 milik Garuda Indonesia yang dikenal dengan sebutan "Woyla" dibajak mereka yang menyebut diri sebagai Komando Jihad. Rute pesawat awal mulanya adalah Jakarta-Medan.
Peristiwa pembajakan ini tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai peristiwa terorisme pertama. Sampai saat ini, pembajakan Woyla menjadi satu-satunya aksi terorisme dalam sejarah maskapai penerbangan Indonesia.
Menurut Harian Kompas tanggal 29 Maret 1981, pesawat itu dibajak di udara antara Palembang -Medan sekitar pukul 10.10 WIB. Pesawat yang sempat transit di bandara Talangbetutu, Palembang baru berangkat menuju Bandara Polonia, Medan.
Namun, pesawat dibelokkan ke arah bandara internasional Penang, Malaysia. Saat itu, belum terungkap siapa yang membajak pesawat dengan nomor penerbangan 206 itu.
Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) hanya mengungkap, pembajak itu bisa berbahasa Indonesia. "Pesawat dibajak oleh enam orang yang dapat berbahasa Indonesia. Mereka bersenjatakan pistol dan beberapa buah granat," tulis Harian Kompas, berdasarkan keterangan Menteri Pertahanan dan Keamanan Muhammad Jusuf.
Dephankam kemudian menginstruksikan Wakil Panglima ABRI Laksamana Sudomo untuk menangani pembajakan pesawat itu.
Seiring perkembangan waktu, pembajak diketahui berjumlah lima orang. Mereka menuntut agar 80 orang tahanan yang terlibat dalam penyerangan Kosekta 8606 Pasirkaliki di Bandung pada 11 Maret 1981 dibebaskan.
Tak hanya itu, mereka meminta tebusan uang sebesar 1,5 juta dollar AS. Ada 48 penumpang dan 5 awak di dalam pesawat. Sebanyak 33 orang terbang dari Jakarta, dan sisanya berasal dari Palembang.
Pada pukul 11.20 WIB, pesawat itu tiba di Penang. Saat itu ada permintaan pengisian bahan bakar, tanpa memberi tahu tujuan berikutnya.
Pembajak hanya menurunkan seorang penumpang berusia 76 tahun bernama Hulda Panjaitan. Pesawat yang tidak dilengkapi peta rute penerbangan internasional ini kemudian diterbangkan ke Bangkok, Thailand, setelah permintaan pembajak terpenuhi.
Puncaknya, Selasa 31 Maret 1981 dini hari, pembajakan pesawat ini menjadi semakin menegangkan. Pesawat itu telah dibajak sekitar empat hari oleh Komando Jihad.
Operasi pembebasan pun dilaksanakan di Bandara Don Mueang, Bangkok, Thailand. Operasi itu hanya berlangsung dalam waktu tiga menit saja.
Berdasarkan arsip Harian Kompas pada 1 April 1981, operasi itu sudah disiapkan dengan matang di Jakarta sejak peristiwa pembajakan itu terjadi. Operasi berjalan saat Pemerintah Thailand mengizinkan pasukan komando Indonesia bergerak.
Melalui pengamatan wartawan Kompas di lokasi pada saat itu, tanda operasi pembebasan belum terlihat pada Senin, 30 Maret 1981, malam. Suasana di sekitar pesawat masih cenderung sepi.
Senin malam, pukul 21.00 waktu setempat, sebuah mobil katering mendekat setelah mendapat kode lampu dari pesawat. Kode itu merupakan sinyal dari pembajak agar permintaan mereka menyangkut makanan, minuman, bahan bakar dan kebutuhan lainnya bisa dipenuhi. Saat mobil katering mengantar makanan, suasana di sekitar pesawat menjadi sunyi lagi.
Pada Selasa, sekitar pukul 02.30 waktu setempat, ada gerakan di semak-semak sekitar 400 meter dari pesawat. Ternyata, mereka adalah Para Komando dari Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha, sekarang bernama Komando Pasukan Khusus), pimpinan Letkol Infanteri Sintong Panjaitan.
Pasukan itu bergerak mengendap dan teratur dalam formasi dua baris mendekati pesawat. Mereka tampak membawa tiga tangga.
Dua tangga dilekatkan di masing-masing sayap, satu tangga di bagian belakang pesawat. Dengan sekejap, mereka bergerak masuk ke pesawat dari pintu darurat dekat sayap dan bagian belakang di bawah badan pesawat.
"Tiba-tiba terdengarlah tembakan-tembakan, mungkin dalam waktu dua detik," kata Henk Siesen, warga negara Belanda di dalam pesawat, dikutip dari Harian Kompas. "Komando itu berteriak: 'Semua penumpang tiarap'. Dan berjatuhanlah sosok-sosok tubuh campur baru berusaha untuk tiarap ke lantai," tutur Henk.
Penumpang yang tiarap berusaha dikeluarkan satu per satu lewat pintu depan. Akan tetapi, upaya penyelamatan itu tak mudah. Ada seorang pembajak yang ikut tiarap bersama para penumpang.
Dia membawa granat dan kemudian ia lempar setelah pinnya ditarik. Beruntung, granat itu tidak meledak dan diamankan pasukan komando.
Pembajak yang melempar granat itu pun ditembak mati saat berusaha melarikan diri lewat pintu depan. Ada pula seorang pembajak yang disebut bernama Fahrizal, yang melepas tembakan ke arah pasukan komando. Namun, dia berhasil didesak oleh pasukan komando.
Pada akhirnya, pembajak tersebut bunuh diri dengan menembak keningnya. Dua pembajak lainnya juga berupaya kabur, namun mereka ditembak mati.
Keterangan resmi pemerintah mengungkap semua nama pembajak yang tewas. Namun, diketahui bahwa pimpinan pembajak adalah Imran bin Muhammad Zein.
Dia berhasil ditangkap dan kemudian dihukum mati pada 28 Maret 1983. Pemerintah juga menyebutkan pilot dan seorang pasukan komando mengalami luka-luka.
Selang beberapa hari, pilot bernama Kapten Herman Rante dan anggota Kopassandha bernama Achmad Kirang menjadi korban tewas dalam operasi tersebut. Keduanya menderita luka tembak, dan gagal diselamatkan meski sudah dibawa ke rumah sakit.
Operasi pembebasan itu membuat pesawat Woyla dilubangi sejumlah peluru. Pesawat itu diperbaiki di Thailand dan kemudian dibawa ke Indonesia.
Lewat operasi itu, 36 orang yang berada 4 hari di pesawat, setelah beberapa penumpang lain dilepaskan pembajak, berhasil diselamatkan. Keberhasilan operasi ini tak hanya melambungkan perjalanan karier Sintong Panjaitan selaku pimpinan lapangan, melainkan juga Letjen LB Moerdani yang saat itu merupakan Kepala Pusat Intelijen Strategis.
Reputasi Kopassandha diakui. Kini pasukan yang dikenal dengan nama Kopassus itu tercatat sebagai salah satu satuan elite terbaik di dunia