TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Masyarakat Kampung Cokrodiningratan, Kemantren Jetis, Kota Yogyakarta punya cara jitu untuk memerangi persoalan sampah organik sekaligus mendulang pundi-pundi rupiah.
Melalui program Kampung Maggot Lestari (Permak Jas Kamal), warga setempat membuktikan bahwa limbah rumah tangga bisa menjadi sumber ekonomi baru.
Langkah inovatif itupun mendapat apresiasi langsung dari Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, saat meluncurkan program, di Pendopo Kelurahan Cokrodiningratan, Sabtu (27/12/2025).
Dalam kesempatan tersebut, ia memuji inisiatif warga yang mampu mengelola sampah organik secara mandiri di tengah keterbatasan lahan di Kota Gudeg.
"Harapan saya ini digethoktularkan ke wilayah lain supaya dicontoh. Jangan hanya di kampung Cokro, tapi mungkin di kampung-kampung yang lain," katanya.
Hasto menegaskan, sinergi yang apik antara pemerintah dan eleemn masyarakat dalam upaya pengelolaan sampah menjadi hal yang sangat krusial.
Terlebih, Kota Yogyakarta menghadapi tantangan serius berupa keterbatasan lahan untuk pengolahan sampah dibandingkan kabupaten lain di DIY.
"Kami berterima kasih di Kampung Cokrodiningratan ini sudah digerakkan, bahkan sudah digerakkan ronda sampah. Ini bagus banget supaya menciptakan suasana yang bersih di lingkungan sini," paparnya.
Urgensi pengelolaan sampah semakin mendesak mengingat mulai Januari 2026 mendatang, Kota Yogyakarta sudah tidak lagi mendapatkan kuota untuk membuang sampah ke TPA Piyungan.
Oleh sebab itu, Hasto mengajak warga masyarakat untuk mulai memilah sampah sisa makanan supaya buangannya tidak menumpuk di depo.
"Dengan Permak Jas Kamal mudah-mudahan bersih terus dan menjadi lingkungan yang sehat," ujar Hasto.
Baca juga: Viral Keluhan Wisatawan Soal Kepulan Asap Sate di Malioboro, Ini Kata Satpol PP Kota Yogyakarta
Ketua Kampung Cokrodiningratan, Anwar Setyowantono menceritakan, budidaya maggot berawal dari kegiatan Mitra Maggot Dayoku yang dimulai sejak April lalu.
Kala itu, mereka membagikan kotak maggot kepada sekitar 10 ibu-ibu yang tergabung dalam wadah PKK, untuk dikelola di rumah masing-masing.
Kini, antusiasme warga meroket hingga mencapai 47 anggota aktif, dengan frekuensi panen yang sudah mencapai 18 kali, menghasilkan rata-rata 3 - 5 kilogram per warga.
"Jadi dua minggu sekali tebar kemudian panen. Tidak ada jeda sehingga masyarakat rutin mengolah sampah organik secara mandiri. Kelebihan dari pembesaran maggot di sini adalah semua sampah organik yang matang, semua sampah organik yang dari sisa-sisa sayur, itu bisa terurai dengan habis," urainya.
"Biasanya kita kalau membuang sampah harus mengeluarkan uang, tapi ini menghasilkan uang. Ini jadi pemantik bagi masyarakat Kampung Cokrodiningratan," imbuh Anwar.
Manfaat nyata dari budidaya maggot pun dirasakan langsung oleh Nur Fitrilati, yang mampu menghasilkan 1,5 hingga 3 kilogram maggot sekali panen, yang dibanderol sekitar Rp5.000 per kilogramnya.
Hebatnya, dari budidaya itu, ia bisa menghabiskan 1 - 2 kilogram sampah organik setiap harinya, termasuk limbah sisa makanan dari tetangga sekitar.
"Manfaatnya sangat banyak. Kita sudah sama sekali tidak membuang sampah (organik). Pelihara maggot itu kita mengurangi sampah organik dan mendapat bonus rupiah," ucapnya. (*)