Refleksi Akhir Tahun 2025
Oleh: Efraim Lengkong (Pemerhati Hukum dan Sosial Masyarakat Sulawesi Utara)
KATA "mulia" berarti agung, terhormat, berjiwa besar, dan berbudi luhur. Sebutan ini disematkan pada hakim di Inggris, "My Lord" dan "Your Honour." Di China, dikenal dengan sebutan hakim biru, Bao Zheng, yang juga dikenal sebagai Hakim Bao atau Justice Bao, yang terkenal karena integritas, keadilan, dan kejujurannya.
Ia sering digambarkan sebagai simbol kebenaran yang memberantas korupsi dan menuntut keadilan bagi rakyat.
Di Indonesia, dalam penerapan hukum, hakim memiliki kemerdekaan (independensi) dan imparsialitas, termasuk obyektivitas hakim dalam memutus perkara.
Asas hukum Res judicata pro veritate habetur, putusan hakim harus dianggap benar (benar tidaknya putusan harus diterima). Ironisnya, jika dalam persidangan dihadirkan dokumen palsu dan saksi palsu, maka putusan hakim didasarkan pada dokumen palsu dan saksi palsu.
Fenomena deret kali penangkapan hakim oleh KPK dan Kejaksaan semakin bertambah. Di antaranya, kasus suap tiga hakim pada 24 Juli 2024, tiga hakim PN Surabaya, Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo, memvonis bebas Gregorius Ronald Tannur dalam kasus penganiayaan yang menewaskan Dini Sera Afrianti, kekasih Ronald Tannur.
Ketiga hakim tersebut terbukti melakukan tindak pidana korupsi, menerima suap dan gratifikasi mencapai Rp 1,12 miliar dan 308.000 dolar Singapura, atau Rp 3,67 miliar.
Kasus putusan "Ontslag van alle rechtsvervolging" (vonis lepas) pada kasus korupsi ekspor minyak sawit mentah (CPO) yang dilakukan oleh tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, yaitu Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom.
Pada tanggal 3 Desember 2025, PN Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman 11 tahun penjara kepada tiga terdakwa, mantan hakim Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom.
Mereka terbukti menerima suap sebesar Rp 39,1 miliar terkait dengan korporasi minyak goreng, yang melibatkan Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group.
Mahfud MD sering menyebut praktik di mana hukum dijadikan "industri" untuk mencari keuntungan, bukan keadilan. Kasus suap hakim dalam kasus korupsi minyak goreng (CPO) adalah contoh bahaya korupsi yang sudah merambah ke dalam lembaga peradilan itu sendiri.
Pertanyaannya, apakah masih relevan sebutan "yang mulia" disematkan pada hakim di Indonesia? Menurut tafsir, sebutan tersebut sudah tidak cocok dan memalukan.
Kisah Nyata Si Hitam & Si Putih
Ada dua orang sahabat seangkatan di Fakultas Hukum. Yang satu berkulit hitam, menjadi hakim, dan yang berkulit putih menjadi dosen di Fakultas Hukum.
Mereka bertemu dan berbagi pengalaman sambil berdiskusi tentang materi dan penerapan hukum. Di akhir diskusi, si putih bertanya kepada temannya, "Kenapa saya dengan kamu berbeda pandang dalam menafsirkan konstruksi hukum dan penerapannya. Padahal kita berdua menimba ilmu di sumur yang sama" ?.
Si Hitam menjawab sambil tersenyum, "Itulah kelebihan hakim."
Sambil menggelengkan kepala, si putih berkata, "Tiga puluh enam (36) tahun lebih saya mengajar dan mendidik mahasiswa agar mereka mengerti dan menguasai ilmu hukum yang baik."
"Tapi sekarang saya lelah dan menyesal mengajarkan dan mengingatkan mereka agar nanti di kemudian hari, jika jadi hakim, jaksa, penyidik polri mereka menjadi orang baik, 'bijak', dan 'memiliki rasa keadilan dan kepatutan', tapi kenyataannya berbeda."
"Capek saya mengajar bertahun-tahun tentang integritas, keadilan", begitu mereka menjadi penegak hukum, apa yang pernah saya ajarkan terlupakan.
Sejenak mereka berdua membisu, tiba-tiba si putih berkata, "Hai temanku, apa kepanjangan dari SH?" Langsung dijawab, "Sarjana Hukum". Salah, kata si putih, yang benar "Sudah Hitam"
Kemudian si hitam balik bertanya, "Apa kepanjangan dari MH?" Dengan tenang, si putih menjawab, "Makin Hitam".
Mereka berdua akhirnya tertawa sambil menangis dan mencoba menengok ke belakang, betapa mahalnya harga sebuah integritas dan jati diri.
Saat akan berpisah, si hitam berbisik, "Menner (panggilan bagi dosen), kalau mau jujur, saya cemburu pada pekerjaanmu." "Kenapa?" tanya si dosen, "kan enak kamu dipanggil yang mulia?"
Nah, panggilan itu yang jadi beban. "Saya sering melakukan yang tidak mulia, tapi dipanggil yang mulia," kata si hitam malu. ("True Story" by Dr. Michael Barama, SH, MH (late) Senior Lecturer in Criminal Law at Sam Ratulangi University.)
Nukilan Soekarno:
“Beri aku seribu orang tua, niscaya akan ku cabut Semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.”
Soekarno yakin segelintir pemuda yang berani, berkualitas, dan bersatu dapat menciptakan perubahan besar.
HARI INI, nukilan Soekarno bergema kembali dalam konteks keadilan hukum:
"Berikan seribu polisi jujur, sepuluh jaksa yang baik, dan tiga hakim bijaksana. Maka akan terjadi "metanoia" (pertobatan) dari sistem paling buruk di negeri ini, menjadi baik dan akan tercipta iklim keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia."
Selamat hari Natal 25 Desember 2025 & Tahun Baru 01 Januari 2026
"Jayalah negeriku, bangkitlah bangsaku."