KRISIS MONETER 2030 Jadi Ancaman, Bencana Alam Salah Satu Pemicu, Bank Kian Selektif Salurkan Kredit
December 29, 2025 06:03 AM

TRIBUN-BALI.COM - Krisis 2030 adalah prediksi tentang kemungkinan terjadinya krisis ekonomi global, pada tahun 2030.

Beberapa faktor yang dapat memicu krisis ini adalah perubahan iklim, disrupsi teknologi, utang global yang meningkat, dan ketegangan geopolitik.

Faktor-faktor yang memicu krisis 2030, adalah perubahan iklim yang dapat menyebabkan bencana alam, mengganggu sektor pertanian, dan meningkatkan biaya infrastruktur.

Penggantian pekerjaan manusia dengan AI dan otomatisasi dapat menyebabkan pengangguran massal. Utang global yang meningkat dapat memicu ketidakstabilan keuangan global.

Ketegangan geopolitik dan konflik antara negara besar, dapat mengganggu perdagangan internasional dan merusak pertumbuhan ekonomi.

Cara menghadapinya, investasikan di sektor energi terbarukan, teknologi, dan industri kreatif. Pendidikan dan pelatihan tenaga kerja dan Siapkan tenaga kerja untuk menghadapi perubahan teknologi.

Reformasi di sektor perbankan dan kebijakan moneter yang lebih berhati-hati. Hadapi tantangan global seperti perubahan iklim dan perang dagang dengan kerjasama antar negara.

Namun, perlu diingat bahwa prediksi krisis 2030 bukanlah kepastian, dan langkah-langkah pencegahan dapat dilakukan untuk mengurangi dampaknya.

Baca juga: BTN Kuasai Penyaluran KPR Subsidi, Perbankan Genjot Target 2026, BNI Siap Salurkan 17.356 KPR FLPP

Baca juga: Dianggarkan R700 Miliar, Proyek Shortcut Singaraja - Mengwitani Titik 9-10 Mulai Tahap Persiapan

Bank Kian Selektif 

Tahun 2025 menjadi masa yang berat bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Kondisi ekonomi yang belum pulih sepenuhnya membuat kemampuan bayar debitur melemah, sehingga bank mengambil langkah lebih hati-hati dalam menyalurkan kredit.

Bank Indonesia (BI) mencatat kredit UMKM pada November 2025 turun 0,64 persen secara tahunan (year-on-year/YoY). Penurunan ini melanjutkan kontraksi 0,11 % YoY pada bulan sebelumnya. 

Menurut BI, bank memperketat persyaratan kredit karena risiko gagal bayar semakin tinggi. Ini tergambar dari rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) UMKM yang masih tinggi, mencapai 4,50 % . 

Data Statistik Sistem Keuangan Indonesia (SSKI) BI menunjukkan lonjakan NPL UMKM sudah terjadi sejak awal tahun. Pada Januari 2025, NPL berada di level 4,03 % , kemudian naik menjadi 4,45 % pada September 2025.

Tekanan paling besar dialami segmen usaha menengah dengan NPL yang sudah mencapai 5,43 % pada September. Usaha kecil mencatat kenaikan tipis ke 4,29 % , sementara usaha mikro meningkat dari 3,29 % menjadi 4,08?lam tiga kuartal.

Corporate Secretary Bank Tabungan Negara (BTN) Ramon Armando mengakui penyaluran kredit UMKM mengalami tantangan sejalan melambatnya ekonomi nasional. “Terutama dari sisi permintaan debitur,” kata Ramon, Senin (22/12).

BTN, lanjut dia, terus memperkuat pengelolaan risiko agar kualitas kredit tetap terjaga. Per September 2025, NPL gross BTN tercatat 3,4 % , naik dari 3,24 % pada periode sama tahun lalu.

Penyaluran kredit usaha rakyat (KUR) sebagai salah satu penopang pembiayaan UMKM juga menghadapi masalah di lapangan. Keluhan masih muncul terkait permintaan agunan tambahan oleh bank penyalur, meski plafon KUR hingga Rp 100 juta seharusnya tidak memerlukan jaminan.

Menteri UMKM Maman Abdurrahman menegaskan pihaknya menerima banyak laporan serupa. Ia juga sudah melakukan inspeksi mendadak ke sejumlah bank dan memperingatkan akan menghentikan subsidi KUR bagi bank yang terbukti melanggar aturan.

Bank penyalur pun mengklaim telah memperketat pengawasan internal. Corporate Secretary Bank Syariah Indonesia (BSI) Wisnu Sunandar mengatakan setiap proses pembiayaan dijalankan secara transparan kepada nasabah.

Hingga November 2025, BSI telah menyalurkan KUR senilai Rp 11,17 triliun kepada lebih dari 83.000 pelaku UMKM, atau baru 65,70?ri target Rp 17 triliun tahun ini. Penyerapan tertinggi terjadi di wilayah dengan basis UMKM kuat seperti Aceh, Jawa Barat, dan Jawa Timur.

Bank daerah juga menerapkan langkah serupa. Direktur Pemasaran dan Usaha Syariah BPD DIY Raden Agus Trimurjanto memastikan operasional KUR mengacu ketat pada aturan pemerintah. Sampai November 2025, KUR BPD DIY tumbuh positif dengan realisasi Rp 2,17 triliun, naik 8,67 % YoY.

Agus mencatat KUR masih sangat diminati berkat suku bunga ringan. Namun seleksi nasabah akan semakin ketat karena bank harus menjaga kualitas debitur untuk mencapai target tahun 2026. Ia menegaskan BPD DIY memiliki jaringan khusus dari pusat hingga cabang pembantu untuk mengoptimalkan penyaluran KUR secara tepat sasaran. (kontan)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.