Kapan Indonesia Mulai Stop Impor Solar, Ini Jawaban Menteri BUMN
December 29, 2025 11:54 AM

 

TRIBUNJOGJACOM, JAKARTA - Upaya pemerintah untuk mandiri energi nampaknya bisa mulai terwujud setelah proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) selesai.

Jika proyek itu selesai dan sudah beroperasi, Indonesia tak akan lagi melakukan impor minyak jenis solar.

Kebutuhan solar di dalam negeri bisa dipenuhi secara mandiri. 

Proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) adalah sebuah program besar yang dirancang untuk mengembangkan dan memperbarui fasilitas kilang minyak di Indonesia. 

Tujuan utama RDMP adalah meningkatkan kapasitas dan efisiensi kilang minyak yang ada, serta memastikan pasokan bahan bakar yang cukup untuk kebutuhan dalam negeri.

Proyek ini mencakup pembangunan, pemeliharaan, dan pengoperasian kilang minyak yang lebih modern dengan teknologi terkini agar bisa menghasilkan produk bahan bakar yang lebih ramah lingkungan dan lebih efisien.

RDMP juga bertujuan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor produk olahan minyak, sekaligus meningkatkan daya saing industri energi nasional.

Secara spesifik, RDMP ini melibatkan beberapa proyek di kilang-kilang minyak yang sudah ada, dengan renovasi fasilitas dan pemasangan peralatan baru.

Proyek ini direncanakan untuk bisa meningkatkan kapasitas pengolahan minyak mentah serta kualitas produk-produk seperti bensin, solar, dan elpiji.

Selain itu, proyek ini juga diharapkan mampu menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan kontribusi sektor energi terhadap perekonomian nasional, dan mendukung pemenuhan kebutuhan energi domestik yang terus berkembang.

Proyek RDMP merupakan bagian penting dari strategi Indonesia untuk mengembangkan infrastruktur energi yang lebih mandiri dan berkelanjutan.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyebut jika proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) selesai, maka  pasokan solar domestik bisa surplus sehingga Indonesia tidak perlu lagi impor solar.

 "Jadi gini, solar nanti 2026 itu kalau RDMP kita sudah jadi, itu surplus kurang lebih sekitar 3-4 juta. Agenda kami 2026 itu nggak ada impor solar lagi," tutur Bahlil usai meninjau Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Plumpang, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Minggu (28/12/2025) dikutip darii Tribunnews.com.

Menurut Bahlil, impor atau tidaknya BBM jenis solar ini tergantung dari kesiapan kilang dan jadwal operasional yang ditetapkan oleh Pertamina.

Jika nantinya proyek RDMP belum siap di awal tahun, Indonesia masih berpotensi untuk melakukan impor solar dengan jumlah terbatas.

Impor itu untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sebelum proyek RDMP beroperasi.

Jika RDMP belum sepenuhnya siap di awal tahun, impor dalam jumlah terbatas masih mungkin terjadi.

Baca juga: Raih Penghargaan di Ajang Impact Makers 2025, BRI Dinilai Berhasil Perkuat Ekonomi Rakyat

"Tetapi tergantung dari Pak Simon ya (Dirut Pertamina). Kalau Pak Simon katakanlah bulan tiga atau Maret baru bisa, berarti Januari, Februari yang mungkin sedikit (impor). Mungkin sedikit yang bisa kita lagi excercise. Tapi itu pun lagi saya excercise ya," jelasnya. 

Meski demikian, Bahlil menyebut apabila kebutuhan dalam negeri sudah bisa dipenuhi tanpa impor, maka tidak ada alasan untuk tetap mendatangkan solar dari luar negeri.

 "Tapi kalau katakanlah Januari, Februari pun nggak perlu impor, ya nggak usah. Ngapain impor? Tapi kalau kebutuhan memang harus, katakanlah kalau kita belum siap, ya kita daripada nggak ada kan gitu. Nah itu kan roadmap impor," ungkap Bahlil. 

Biodiesel B50

Sebelumnya disebutkan bahwa kebijakan penghentian impor solar berlaku secara menyeluruh, termasuk bagi pelaku usaha swasta.

Kebijakan ini sejalan dengan penguatan kapasitas kilang dalam negeri dan penerapan program mandatori biodiesel B50. 

Biodiesel B50 adalah jenis bahan bakar yang terdiri dari campuran 50 persen biodiesel (bahan bakar nabati) dan 50 persen diesel (bahan bakar fosil).

Biodiesel itu sendiri biasanya terbuat dari minyak nabati (seperti minyak kelapa sawit, kedelai, atau jatropha) yang diproses melalui proses transesterifikasi, menghasilkan metil ester yang dapat digunakan sebagai bahan bakar.

Campuran B50 ini digunakan untuk kendaraan dan mesin diesel, dengan tujuan mengurangi emisi gas rumah kaca dan ketergantungan pada bahan bakar fosil, serta meningkatkan penggunaan sumber daya energi terbarukan.

Penggunaan B50 diharapkan dapat memberikan manfaat lingkungan yang lebih baik, karena biodiesel lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan diesel biasa.

Selain itu, produk ini juga mendukung pengembangan industri biodiesel di Indonesia, yang sebagian besar menggunakan minyak kelapa sawit sebagai bahan baku utama.

Meskipun B50 tidak sepenuhnya bebas dari dampak lingkungan, seperti efek deforestasi terkait produksi minyak sawit, penggunaannya dapat membantu mengurangi dampak negatif dibandingkan dengan penggunaan bahan bakar fosil secara langsung.

Program biodiesel 50 persen atau B50 dijadwalkan mulai berjalan pada semester dua 2026. 

Dengan adanya kebijakan tersebut, kebutuhan solar nasional diharapkan dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri. (*)

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.