TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Di banyak negara, kesehatan pria kerap luput dari perhatian.
Rendahnya perilaku mencari bantuan (help-seeking) dan minimnya keterlibatan dalam layanan pencegahan membuat banyak masalah kesehatan pria terlambat ditangani.
Fenomena serupa juga terjadi di Indonesia.
Riset menunjukkan laki-laki, terutama usia muda, menjadi kelompok yang paling jarang mengunjungi fasilitas kesehatan primer.
Stigma, normalisasi gejala, hingga tuntutan kerja dan tanggung jawab finansial membuat kesehatan sering ditempatkan di urutan belakang.
Keluhan kesehatan pria di usia produktif tidak selalu ringan.
Data menunjukkan sekitar 35,6 persen pria dewasa di Indonesia mengalami disfungsi ereksi, sementara lebih dari 50 persen pekerja di Jabodetabek menghadapi tekanan mental berat.
Tren penurunan testosteron dan meningkatnya obesitas di perkotaan semakin menegaskan bahwa kesehatan pria berada di titik kritis.
Salah satu miskonsepsi yang paling umum adalah anggapan bahwa penurunan performa fisik maupun seksual merupakan hal wajar seiring bertambahnya usia.
Padahal, banyak keluhan tersebut berkaitan dengan faktor yang bisa dievaluasi lebih lanjut, mulai dari keseimbangan hormonal, kesehatan jantung, kualitas tidur, hingga kondisi mental.
“Ketika persoalan kesehatan dibiarkan berlarut, risikonya menumpuk dan mendorong sebagian orang mengambil alternatif yang tidak aman, mulai dari swamedikasi hingga konsumsi produk tidak terstandarisasi,” ujar Delonix, Marketing Director Sjati, salah satu platform telehealth yang berfokus pada kesehatan pria.
Baca juga: Kepercayaan Dunia, Etika Kesehatan, dan Kerja Senyap BPOM
Kelompok paling rentan justru sering tak terlihat: pria usia 30–55 tahun yang tampak fungsional dan sukses, tetapi diam-diam meminggirkan kesehatan karena tekanan kerja, jam panjang, dan ekspektasi sosial.
Banyak di antaranya enggan mencari bantuan, terutama untuk isu seksual maupun mental.
Di tengah kondisi ini, layanan telehealth mulai hadir sebagai jalan baru.
Dengan pendekatan berbasis bukti medis, platform seperti Sjati membangun ekosistem digital yang menghubungkan pasien dengan tenaga medis profesional, sekaligus menjamin privasi dan keamanan.
Model layanan ini menekankan bahwa teknologi hanya berfungsi sebagai pendukung, bukan pengganti penilaian dokter.
Untuk kebutuhan obat resep, pengguna tetap melalui konsultasi telemedisin dengan dokter berizin.
Maraknya produk kesehatan pria yang tidak terstandarisasi membuat kepatuhan regulasi menjadi krusial.
Sjati, misalnya, menegaskan komitmen pada aturan BPOM dan etika medis, termasuk mekanisme autentikasi produk serta sistem rekam medis elektronik yang terenkripsi.
Pengguna juga dapat melaporkan efek samping kapan saja, dan kasus dengan gejala yang dinilai mengkhawatirkan ditinjau oleh dokter untuk penyesuaian terapi, rekomendasi penghentian bila diperlukan, atau rujukan perawatan lanjutan.
Langkah ini diharapkan dapat mendorong percakapan yang lebih terbuka mengenai kesehatan pria, sekaligus menjadikan telehealth sebagai pilihan rasional bagi mereka yang membutuhkan layanan cepat, privat, dan aman.
“Di Sjati, kami juga turut mendorong percakapan yang lebih terbuka dan terinformasi mengenai kesehatan pria, termasuk kesehatan seksual, sebagai isu yang umum dialami dan layak ditangani secara bertanggung jawab. Kami berharap langkah mencari bantuan, termasuk melalui layanan telehealth dapat dipandang sebagai pilihan yang sehat dan rasional untuk merawat diri,” tutup Delonix.