Teknologi digital juga memungkinkan negara untuk meningkatkan keamanan dan keselamatan warga, serta menghadapi tantangan global, seperti perubahan iklim dan pandemi
Jakarta (ANTARA) - Bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Barat (Sumbar), serta Sumatera Utara (Sumut) sejak akhir November 2025 merupakan ujian sistemik terhadap sistem ketahanan infrastruktur komunikasi nasional.
Ribuan base transceiver station (BTS) rusak, listrik padam total, dan jutaan warga terisolasi. Kondisi ini langsung menghambat proses evakuasi, distribusi bantuan, dan koordinasi kemanusiaan. Problem konektivitas bukan sekadar persoalan teknis, tetapi juga memperburuk kerentanan masyarakat di tengah krisis.
Dengan respons cepat Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi), proses perbaikan infrastruktur komunikasi berangsur membaik dan hingga akhir Desember 2025 mencapai 90 persen lebih.
Di Aceh, wilayah terparah dengan 3.414 BTS terdampak, progres dari hanya 52 persen awal Desember melonjak berkat deployment ratusan genset dan perbaikan intensif, kini menjadi lebih 90 persen di daerah prioritas seperti Aceh Tamiang, Gayo Lues, Bener Meriah, dan Aceh Utara.
Sumatera Utara mencapai 97-99 persen, memungkinkan warga di Mandailing Natal serta Tapanuli Selatan melaporkan kondisi langsung ke BNPB. Sementara Sumbar, dengan pemulihan hampir 100 persen sejak awal Desember, menjadi benchmark internal terbaik.
Kolaborasi sistemik
Keberhasilan ini tidak terlepas dari kolaborasi sistematis Kemkomdigi dengan seluruh pemangku kepentingan, terutama dalam mengatasi bottleneck utama, yakni pasokan listrik. Pemantauan harian dan deployment genset masif menunjukkan pendekatan proaktif secara konstan.
Hal yang paling menonjol, inovasi satelit sebagai "tali pengaman" darurat. Kemkomdigi mengerahkan 10-18 titik internet berbasis SATRIA-1 sejak akhir November, ditambah puluhan hingga 88 unit Starlink gratis sebagai pendukung.
SATRIA-1, satelit multifungsi very high throughput satellite (VHTS) milik pemerintah dengan kapasitas 150 Gbps, ditempatkan strategis di posko pengungsian, pusat kesehatan, dan desa terisolasi.
Setiap titik menyediakan kecepatan ratusan Mbps, melayani ratusan pengguna simultan untuk evakuasi, pelaporan korban, telemedicine, hingga pendidikan daring bagi pengungsi. Di Sumbar, misalnya, pemulihan sempurna memungkinkan sekolah virtual beroperasi kembali, meminimalkan trauma pendidikan anak-anak.
Ini mencerminkan evolusi komunikasi darurat, dari ketergantungan terestrial yang rentan menuju teknologi hibrida satelit-terestrial yang resilien. Apalagi dengan kondisi tanpa pasokan listrik akibat kerusakan gardu induk PLN. Untuk pasokan listrik digunakan genset dan photovoltaic backup, mendorong progres dari bawah 50 persen menjadi di atas 90 persen.
Peran Satria-1
Di tengah kerusakan hebat sistem telekomunikasi, satelit SATRIA-1 menjadi solusi krusial. Efektivitasnya bergantung pada kesiapan perangkat portabel tersebut, dukungan koordinasi antarlembaga, dan strategi mitigasi matang. Dalam situasi demikian, maka komunikasi krisis harus lebih empatik, akurat, dan terkoordinasi untuk menghindari kebingungan masyarakat.
Sementara itu, komunikasi risiko pra-bencana perlu berbasis dampak, dengan melibatkan sistem peringatan dini yang jelas tentang siapa, di mana, dan bagaimana dampaknya, agar masyarakat lebih resilien.
Inilah pentingnya kesiapan infrastruktur teknologi digital untuk dapat dimanfaatkan pada penanganan keadaan kedaruratan seperti ini. Satelit Satria-1 mampu menjangkau wilayah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T). Kawasan yang sulit diakses oleh jaringan kabel serat optik. Dengan kapasitas internet hingga 150 Gbps, menjadikannya sebagai satelit terbesar di Asia. Penggunaan teknologi VHTS juga memungkinkan akses internet lebih cepat dan stabil.
Bencana dunia
Dalam beberapa kasus bencana internasional juga melakukan hal serupa. Bencana Hurricane Maria di Puerto Rico (2017), ketika 95 persen jaringan seluler lumpuh berbulan-bulan, menambah korban ribuan akibat isolasi medis. Respons AS melalui satelit portabel mirip deployment genset di Aceh, tapi pemulihan lama karena kurang aset nasional.
Typhoon Haiyan di Filipina (2013) menghancurkan infrastruktur, menewaskan l6.000 lebih jiwa, ITU dan Vodafone mengerahkan satelit portabel serupa SatriaA-1 dan Starlink. Bedanya, Indonesia punya Satria-1 sebagai aset sovereign, bukan bergantung bantuan internasional.
Di Jepang, gempa Tōhoku 2011 memutus jutaan koneksi; satelit penyelamat, didukung sistem peringatan dini terintegrasi. Hurricane Katrina (2005) di AS mengungkap kegagalan interoperabilitas, mendorong FEMA memperkuat dukungan satelit. Penggunaan Starlink global masif: Maui wildfire (2023), Tonga (2022), hingga Ukraina, menyediakan konektivitas instan di area tidak ada infrastruktur. Indonesia bijak mengadopsi sebagai backup, menunjukkan kematangan strategis.
Teknologi digital
Pencapaian ini membuktikan bahwa teknologi digital merupakan elemen inti penanganan pemulihan bencana. Akses internet pasca-krisis fasilitasi e-government, telemedicine, dan pemulihan ekonomi, mengubah isolasi menjadi resiliensi.
Hanya saja, di era iklim ekstrem, ini baru permulaan. Kemkomdigi merencanakan integrasi satelit lebih luas plus 5G di wilayah rawan, didukung APBN 2026, dan langkah visioner esensial.
Kolaborasi multipihak patut menjadi model nasional, bahkan regional ASEAN, untuk skala bencana lebih besar. Investasi berkelanjutan di infrastruktur hibrida, simulasi rutin, ketahanan listrik mandiri, serta komunikasi empatik berbasis risiko adalah imperatif.
Karena, pada akhirnya, konektivitas bukan sekadar sinyal, melainkan harapan hidup di tengah kehancuran. Dengan infrastruktur digital yang kuat, pemerintah dapat menyediakan layanan publik yang lebih efisien dan merata.
Teknologi digital juga memungkinkan negara untuk meningkatkan keamanan dan keselamatan warga, serta menghadapi tantangan global, seperti perubahan iklim dan pandemi. Ke depan, negara perlu memprioritaskan pengembangan teknologi digital, selain untuk penanganan kedaruratan juga untuk meningkatkan daya saing ekonomi, meningkatkan kualitas hidup masyarakat, dan memperkuat kedaulatan nasional.
*) Dr Eko Wahyuanto adalah dosen Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta dan Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta







