Benarkah Milenial dan Gen Z Lebih Rentan Burnout? Ini Jawaban Psikolog
GH News December 29, 2025 02:08 PM
Jakarta -

Isu kelelahan mental kerap ditemukan menjelang penutupan tahun. Fenomena ini seringkali ditemukan pada mahasiswa hingga pekerja.

Tekanan tinggi ini kerap memicu apa yang disebut dengan burnout. Menurut pakar Psikologi Industri dan Organisasi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), DrSumaryono, M Si, tidak semua kelelahan psikologis dapat disebut burnout.

Menurutnya, penting untuk memahami perbedaan antara stres, burnout, dan depresi agar dapat merespons dengan tepat dan proporsional.

Perbedaan Burnout, Stres, dan Depresi

Maryono, panggilan akrabnya, menjelaskan jika burnout, stres, dan depresi merupakan tiga kondisi yang berbeda. Burnout merupakan kondisi yang lebih berat karena mencakup kelelahan fisik, emosional, dan mental secara bersamaan.

"Yang sering terjadi itu sebenarnya stres, bukan burnout. Karena burnout itu cenderung lebih parah," katanya dalam laman UGM dikutip Minggu (28/12/2025).

Menjelang akhir tahun, umumnya pekerja menghadapi banyak tuntutan seperti tenggat waktu dan target kinerja. Sementara mahasiswa, menurutnya, masih berada pada beban akademik yang relatif normal sehingga lebih tepat disebut mengalami stres.

Adapun depresi sudah masuk ke ranah klinis dan membutuhkan penanganan profesional yang lebih serius.

Penggunaan Istilah Burnout yang Kurang Tepat

Lebih lanjut, ia menyoroti adanya kebiasaan penggunaan istilah burnout yang kurang tepat. Sumaryono menyebut jika sedikit tekanan yang dialami dianggap sebagai burnout.

Secara psikologis, burnout ditandai oleh rasa tidak berdaya yang dalam.

"Kalau sakit kepala atau pusing, itu tergolong stres. Burnout itu betul-betul merasa tidak mampu dan kelelahan berat untuk melakukan suatu aktivitas dan aktivitas-aktivitas lainnya," ujarnya.

Apakah Milenial dan Gen Z Rentan Burnout?

Terkait Generasi Milenial dan Generasi Z, Sumaryono tidak sepenuhnya sepakat jika generasi ini lebih rentan mengalami burnout dibanding generasi sebelumnya. Ia menilai bahwa perbedaan terletak pada resiliensi terhadap tekanan.

Menurut Sumaryono, kedua generasi belum memiliki pengalaman yang banyak terhadap terkanan besar. Alhasil, mereka masih memerlukan adaptasi.

"Perbedaan generasi itu soal pengalaman menghadapi tekanan dan bagaimana mereka belajar untuk coping (mengatasi stres)," jelasnya.

Nikita Rosa
Jurnalis detikcom
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.