Oleh: Setiawan Aswad
Pemerhati Pembangunan Daerah
Pengantar
Sambil menunggu rilis resmi BPS tentang beberapa aspek kondisi makro pertumbuhan ekonomi triwulan IV tahun 2025, menjelang pergantian tahun, mungkin kita sudah dapat pengarahkan pandangan ke situasi perekonomi Sulawesi Selatan tahun 2026.
Menjelang awal tahun 2026, perekonomian Provinsi Sulawesi Selatan berada pada sebuah persimpangan penting.
Setelah melewati fase recovery pasca pandemic covid 19 dan konsolidasi serta menghadapi dinamika global yang tidak selalu ramah—mulai dari fluktuasi harga komoditas hingga pengetatan ekonomi global.
Sulawesi Selatan dituntut untuk menemukan ritme pertumbuhan yang tidak hanya tinggi, tetapi juga stabil dan berkualitas sebagaimana ditargetkan pada dokumen perencanaan pembangunannya.
Pertanyaannya kemudian, apakah tahun 2026 akan menjadi momentum menuju pertumbuhan yang moderat namun berkelanjutan?
Melihat tahun 2025
Secara struktural, Sulawesi Selatan memiliki fondasi ekonomi yang relatif kuat dibanding banyak daerah lain di Kawasan Timur Indonesia.
Pertanian, kehutanan, dan perikanan masih menjadi penopang utama, disusul oleh perdagangan besar dan eceran, industri pengolahan, serta sektor transportasi dan pergudangan.
Posisi Makassar sebagai simpul logistik dan perdagangan kawasan memberi keunggulan strategis yang tidak dimiliki banyak provinsi lain.
Namun, kekuatan ini sekaligus menyimpan tantangan klasik: ketergantungan pada sektor primer dan keterbatasan nilai tambah.
Pada tahun 2025, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan diperkirakan berada pada kisaran 5,01 – 5,05 persen hingga akhir tahun.
Angka ini mencerminkan pemulihan yang cukup solid, tetapi belum sepenuhnya mencerminkan akselerasi transformasi ekonomi.
Memandang 2026 secara moderat
Memasuki 2026, proyeksi pertumbuhan yang paling realistis mengarah pada skenario moderat, yakni sekitar 5,3 % –5,6 %.
Skenario ini bukan berarti pesimistis, melainkan mencerminkan keseimbangan antara potensi yang ada dan risiko yang masih membayangi.
Penggerak utama pertumbuhan pada 2026 diperkirakan tetap bertumpu pada konsumsi rumah tangga, investasi, dan belanja pemerintah daerah.
Konsumsi masyarakat Sulawesi Selatan relatif terjaga, terutama jika inflasi pangan dapat dikendalikan.
Di sinilah peran stabilisasi pasokan dan distribusi pangan menjadi krusial. Gangguan kecil pada harga beras atau komoditas pangan strategis dapat berdampak besar pada daya beli dan persepsi ekonomi masyarakat.
Di sisi investasi, peluang Sulawesi Selatan cukup menjanjikan. Kawasan industri berbasis agro dan maritim, pengembangan logistik, serta industri pengolahan pangan memiliki potensi dan daya tarik kuat bagi investor.
Namun, realisasi investasi tidak hanya ditentukan oleh potensi, melainkan oleh kepastian kebijakan, kemudahan perizinan, dan kesiapan infrastruktur.
Tanpa percepatan nyata di aspek-aspek tersebut, investasi cenderung tumbuh moderat dan belum mampu mendorong lonjakan pertumbuhan.
Belanja pemerintah daerah juga menjadi faktor penentu. APBD Provinsi dan kabupaten/kota di Sulawesi Selatan memiliki daya ungkit yang besar jika diarahkan pada belanja produktif.
Infrastruktur ekonomi, dukungan UMKM, dan program padat karya dapat menciptakan efek berganda yang signifikan.
Sebaliknya, jika belanja masih didominasi pengeluaran rutin dengan dampak ekonomi terbatas, maka kontribusinya terhadap pertumbuhan akan relatif kecil.
Tahun 2026 menjadi ujian penting apakah belanja daerah benar-benar bertransformasi menjadi instrumen stimulus ekonomi.
Sektor industri pengolahan patut mendapat perhatian khusus dalam outlook 2026. Selama ini, Sulawesi Selatan dikenal sebagai lumbung pangan dan penghasil komoditas primer.
Tantangannya adalah bagaimana mendorong hilirisasi agar komoditas tersebut diolah di dalam daerah, menciptakan nilai tambah, lapangan kerja, dan basis pajak baru.
Jika upaya hilirisasi berjalan konsisten—meski belum masif—maka kontribusi industri pengolahan terhadap PDRB berpotensi meningkat dan menopang pertumbuhan moderat.
Di sisi lain, risiko eksternal dan internal tidak bisa diabaikan. Ketidakpastian ekonomi global, perubahan iklim yang memengaruhi produksi pertanian, serta ketimpangan pertumbuhan antarwilayah di dalam provinsi dapat menjadi faktor penghambat.
Selain itu, ketergantungan berlebihan pada Makassar sebagai pusat pertumbuhan berisiko memperlebar disparitas dengan wilayah lain jika tidak diimbangi kebijakan pemerataan berbasis kawasan.
Penutup
Dengan mempertimbangkan seluruh faktor tersebut, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan pada 2026 sangat mungkin bergerak dalam jalur moderat.
Pertumbuhan ini mungkin tidak spektakuler, tetapi relatif stabil dan realistis. Justru di sinilah nilai strategisnya.
Pertumbuhan moderat memberi ruang bagi konsolidasi kebijakan, penguatan fondasi ekonomi, dan perbaikan kualitas pertumbuhan—mulai dari penciptaan lapangan kerja hingga peningkatan kesejahteraan.
Pada akhirnya, pertanyaan “menuju pertumbuhan yang moderat?” seharusnya tidak dimaknai sebagai keraguan, melainkan sebagai refleksi kebijakan.
Pertumbuhan moderat yang berkualitas sering kali lebih bernilai dibanding pertumbuhan tinggi yang rapuh.
Jika Sulawesi Selatan mampu memanfaatkan 2026 sebagai tahun penguatan struktur ekonomi, maka jalan menuju pertumbuhan yang lebih tinggi dan berkelanjutan di tahun-tahun berikutnya akan terbuka lebar.