Kita Makin Terhubung, Tapi Mengapa Merasa Sendiri
December 30, 2025 03:47 PM

Oleh : Sutanti Idris, S.E., CMC. 
Founder Aoife Social 

Di era digital hari ini, kita hidup dalam dunia yang nyaris tanpa jarak. Dengan satu sentuhan layar, kita dapat berbincang dengan orang di belahan dunia lain, berbagi cerita, bahkan membangun jejaring profesional lintas negara.

Media sosial, kecerdasan buatan (AI), dan berbagai teknologi komunikasi diciptakan dengan satu janji besar: mendekatkan manusia satu sama lain. Namun ironisnya, di tengah konektivitas yang semakin masif, perasaan kesepian justru kian menguat.

Pertanyaan pun muncul: mengapa kita makin terhubung, tetapi merasa makin sendiri?

Secara teknis, manusia tidak pernah sedekat ini. Notifikasi hadir setiap menit, pesan masuk tanpa henti, dan linimasa dipenuhi wajah-wajah yang tampak bahagia, sukses, dan produktif.

Namun kedekatan digital ini sering kali bersifat dangkal. Kita saling melihat, tetapi tidak benar-benar mengenal. Kita saling menyapa, tetapi jarang sungguh-sungguh mendengarkan.

Baca juga: TRIBUN WIKI - Dr Aras Bakal Calon Rektor Termuda UNUSIA

Interaksi yang seharusnya menguatkan justru berubah menjadi perbandingan sosial yang melelahkan.

Media sosial, yang awalnya dimaksudkan sebagai ruang berbagi, kini menjelma menjadi panggung kompetisi. Keahlian, pencapaian, gaya hidup, dan bahkan kebahagiaan dipamerkan secara terus-menerus. Tanpa disadari, kita terdorong untuk mengukur nilai diri dari jumlah suka, komentar, dan pengikut.

Di sinilah jarak emosional mulai tercipta. Bukan karena kita tidak dikelilingi orang, melainkan karena kita merasa tertinggal, tidak cukup baik, dan tidak layak untuk didengar.

Kecerdasan buatan memperkuat paradoks ini. Algoritma dirancang untuk memahami preferensi kita, menyajikan konten yang kita sukai, dan membuat kita betah berlama-lama di layar.

Namun pada saat yang sama, algoritma juga menciptakan gelembung sosial. Kita disuguhi dunia yang seolah relevan dengan kita saja, menjauhkan kita dari dialog yang tulus dan perbedaan yang sehat.

Alih-alih memperluas empati, teknologi justru bisa mempersempit ruang batin.

Dampaknya tidak berhenti pada rasa sepi. Dalam kondisi rapuh secara mental, sebagian orang terjebak pada pelarian yang berbahaya. Judi online, misalnya, tumbuh subur di ruang digital.

Dengan iming-iming keuntungan instan, kemudahan akses, dan promosi yang agresif, banyak orang terjerumus tanpa sadar. Korbannya tidak lagi bertambah setiap tahun, melainkan hampir setiap hari.

Fenomena ini bukan semata persoalan moral, melainkan sinyal kuat adanya krisis makna, tekanan hidup, dan kesepian yang tidak tertangani.

Ketika relasi sosial melemah, manusia mencari pengganti—entah dalam bentuk validasi digital, sensasi instan, atau harapan palsu.

 Judi online menjadi contoh paling nyata bagaimana teknologi yang tidak dikendalikan dengan bijak dapat memperparah luka sosial.

Ini seharusnya menjadi tanda tanya besar bagi kita semua: apakah teknologi masih kita gunakan sebagai alat, atau justru kita yang telah menjadi objeknya?

Di titik inilah refleksi menjadi penting. Teknologi sejatinya netral. Ia tidak jahat, tetapi juga tidak otomatis membawa kebaikan.

Manusialah yang memberi arah. Ketika kita menyerahkan kendali sepenuhnya pada algoritma, notifikasi, dan tren digital, kita perlahan kehilangan otonomi atas pikiran dan emosi kita sendiri.

Padahal, teknologi seharusnya memperkuat hubungan antarmanusia, bukan menggantikannya.

Kita perlu kembali pada kesadaran dasar bahwa manusialah yang mengendalikan teknologi, bukan sebaliknya. Media sosial semestinya menjadi jembatan empati, bukan tembok perbandingan.

AI seharusnya membantu meringankan beban hidup, bukan menambah tekanan batin. Jika teknologi digunakan dengan niat dan batas yang jelas, ia bisa menjadi alat untuk saling menguatkan, saling menjaga, dan saling hadir.

Bayangkan jika kecanggihan teknologi benar-benar diiringi dengan kedalaman relasi. Tidak ada lagi orang yang merasa sendirian di tengah keramaian digital.

Tidak ada lagi yang terjerumus karena merasa tak punya tempat bersandar. Kita akan lebih sering mendengar kalimat sederhana namun bermakna: “Baik-baik saja untuk lelah. Percayalah, kau tidak sendiri, sesulit apa pun keadaanmu.”

Desember, sebagai penutup tahun, memberi kita ruang untuk berhenti sejenak dan bertanya: sudahkah teknologi mendekatkan kita sebagai manusia? Atau justru menjauhkan kita dari satu sama lain? Jawabannya ada pada pilihan kita bersama—untuk menggunakan teknologi dengan kesadaran, empati, dan kemanusiaan.

Jika kita berhasil, maka janji indah teknologi bukan sekadar koneksi tanpa batas, melainkan hubungan yang bermakna. Dan pada akhirnya, tidak ada lagi yang benar-benar merasa sendiri.(*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.