Diagnosis Keliru Polemik Pilkada via DPRD
December 30, 2025 09:20 PM

M. Yunasri Ridhoh

Dosen Universitas Negeri Makassar

TRIBUN-TIMUR.COM- Isu pengembalian pemilihan kepala daerah melalui DPRD kembali mengemuka dan menggelinding cepat. Wacana ini memperoleh momentumnya setelah disampaikan oleh Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, dalam Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar.

Pernyataan tersebut kemudian mendapat respons positif dari Presiden Prabowo Subianto dalam forum yang sama pada 22 Desember lalu. Sejak saat itu, polemik ini kian memuncak.

Argumen yang disampaikan pun relatif seragam dan berulang bahwa pilkada langsung dinilai berbiaya mahal, rawan politik uang, dan berpotensi memicu konflik horizontal. Bila menyimaknya sepintas, memang alasan-alasan itu terdengar masuk akal. Namun bila mencermatinya lebih dalam, argumen itu mengandung beberapa problem.

Problem itu tidak boleh diabaikan. Sebab itu akan menentukan apa langkah yang dipilih untuk mengatasinya. Ketika diagnosisnya keliru, solusi yang ditawarkan bukan hanya tidak menyelesaikan persoalan, tetapi justru berisiko memperburuk problem tersebut.

Baca juga: Soal Wacana Pilkada DPRD, Edy Manaf: Mekanisme Partai Penentu

Diagnosis yang Keliru

Pertama, soal biaya. Tidak dapat disangkal bahwa pilkada langsung membutuhkan anggaran besar. Negara menanggung biaya penyelenggaraan, sementara kandidat mengeluarkan ongkos politik yang tidak kecil. Namun memindahkan pemilihan ke DPRD tidak serta-merta membuat biaya itu hilang. Biaya hanya berpindah bentuk dan ruang, dari arena publik yang relatif terbuka ke arena elite yang tertutup.

Dalam pilkada via DPRD, biaya politik justru terkonsentrasi pada segelintir aktor. Jika dalam pilkada langsung kandidat harus meyakinkan ratusan ribu pemilih, dalam pemilihan oleh DPRD cukup meyakinkan puluhan anggota dewan dan "ownernya" masing-masing.

Secara ekonomi politik, tetap saja ini bisa meningkatkan nilai transaksi per suara. Ongkos tidak turun, tetapi akuntabilitas publik bisa dipastikan makin menjauh.

Kedua, soal politik uang. Ini argumen yang paling sering digunakan sekaligus paling problematik. Politik uang memang nyata dalam pilkada langsung. Namun menganggap DPRD steril dari praktik itu adalah asumsi yang tidak ditopang fakta. Sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa transaksi politik justru lebih mudah terjadi ketika jumlah pemilih sedikit dan relasinya elitis.

Dalam ruang DPRD, politik uang tidak menghilang, melainkan berubah bentuk. Ia bisa disebut lobi politik, konsolidasi fraksi, atau komitmen dukungan. Substansinya tetap sama, tetapi mekanisme pengawasan publik juga bisa dipastikan melemah drastis.

Pilkada langsung setidaknya membuka ruang pebgawasan melalui media, masyarakat sipil, dan pemantau pemilu. Dalam pemilihan tertutup, praktik transaksional justru lebih sulit dilacak.

Ketiga, soal konflik horizontal. Betul bahwa pilkada langsung memang kadangkala memicu ketegangan dan gesekan, terutama di daerah dengan polarisasi identitas dan kompetisi elite yang tajam. Namun konflik bukan semata akibat mekanisme pemilihan langsung.

Akar persoalannya justru berbau struktural, yakni rendahnya literasi politik, lalu ketimpangan sosial, serta lemahnya kapasitas negara dalam mengelola dinamika demokrasi.

Menghapus pilkada langsung demi menghindari konflik ibarat menutup jalan raya karena sering terjadi kecelakaan atau kemacetan. Yang dibutuhkan adalah perbaikan rambu, penegakan aturan, dan pendidikan pengguna jalan, bukan menghilangkan jalannya.

Bahkan, pilkada via DPRD tidak menjamin absennya konflik. Ia hanya memindahkan konflik dari ruang publik ke ruang elite dan berpotensi melahirkan ketegangan laten antara rakyat dan penguasa daerah.

Selain tiga alasan utama tersebut, ada argumen lain yang juga sering diajukan, yaitu bahwa DPRD dianggap lebih rasional dan mampu memilih kepala daerah yang berkualitas. Argumen ini bertumpu pada asumsi bahwa elite politik selalu lebih memahami kapasitas calon dibandingkan rakyat.

Masalahnya, kualitas DPRD sendiri sangat bervariasi dan lahir dari proses elektoral yang juga tidak bebas dari problem integritas dan kapasitas. Jika kualitas pemilih dijadikan alasan, maka DPRD bukanlah pengecualian dari problem tersebut. Kualitas kepemimpinan daerah lebih ditentukan oleh sistem rekrutmen partai, mekanisme seleksi calon, dan pengawasan pasca-terpilih, bukan oleh siapa yang memberikan suara.

Alasan lain berikutnya adalah stabilitas pemerintahan daerah. Pilkada langsung dianggap melahirkan kepala daerah yang terlalu kuat dan sering berkonflik dengan DPRD. Pemilihan oleh DPRD disebut mampu menciptakan harmoni eksekutif-legislatif. Tapi, yang tidak diakui yang jujur adalah bahwa harmoni yang dibangun melalui kompromi elite sering kali dibayar dengan politik transaksional, bagi-bagi jabatan, dan melemahnya fungsi pengawasan DPRD itu sendiri.

Lalu, ada juga argumen bahwa partisipasi rakyat sudah cukup diwakili oleh DPRD. Bagi saya ini argumen yang reduktif, bahkan upaya pembonsaian demokrasi. Representasi tidak lah sama dengan delegasi tanpa batas. Hak memilih kepala daerah adalah mandat spesifik yang tidak serta-merta dapat dialihkan.

Masalah utama pilkada sesungguhnya tidak pernah terletak pada mekanisme langsungnya. Persoalannya adalah lemahnya institusionalisasi partai politik, mahalnya biaya politik akibat sistem pembiayaan yang tidak sehat, penegakan hukum pemilu yang inkonsisten, serta minimnya pendidikan politik warga.

Mengganti mekanisme pilkada tanpa menyentuh persoalan-persoalan ini justru berpotensi memperkuat oligarki lokal. Akses terhadap kekuasaan semakin tertutup, sirkulasi elite semakin sempit, dan kepala daerah semakin bergantung pada elite politik, bukan pada warga.

Lebih jauh, pilkada via DPRD berisiko melemahkan legitimasi sosial kepala daerah. Ia sah memang secara hukum, tetapi keropos secara politik. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat memicu apatisme politik dan memperlebar jarak antara negara dan masyarakat. Demokrasi lokal kehilangan fungsi pedagogisnya sebagai ruang belajar kewargaan.

Tawaran Jalan Lain

Jika pilkada langsung bermasalah, jawabannya bukan mundur ke masa lalu, melainkan memperbaiki sistem yang ada. Pertama, menurunkan biaya pilkada melalui pembatasan belanja kampanye yang ketat, audit dana kampanye yang transparan, serta perluasan fasilitas kampanye yang disediakan negara secara adil.

Kedua, menyerang politik uang dari hulunya dengan mereformasi pembiayaan partai politik. Selama partai hidup dari mahar politik, pilkada akan selalu mahal dan transaksional. Subsidi negara yang akuntabel, audit keuangan partai, dan sanksi tegas bagi pelanggaran adalah prasyarat mutlak.

Ketiga, manajemen konflik demokrasi harus diperkuat. Negara tidak cukup hadir sebagai aparat keamanan, tetapi sebagai pengelola demokrasi melalui desain kampanye yang menurunkan tensi, larangan eksploitasi identitas, dan mediasi politik sejak dini.

Keempat, seleksi calon harus dibuka dan didisiplinkan. Konvensi internal partai, uji publik rekam jejak, dan pengetatan standar etik jauh lebih efektif meningkatkan kualitas pemimpin daripada menyerahkan pemilihan kepada elite.

Kelima, DPRD seharusnya diperkuat sebagai pengawas, bukan pemilih. Fungsi pengawasan anggaran dan evaluasi kinerja kepala daerah justru akan melemah jika DPRD berubah menjadi arena pemilihan yang sarat konflik kepentingan.

Pilkada langsung memang mahal, kadang berisik, dan sering melelahkan. Namun itulah harga daulat rakyat. Dan kita memilih itu sebagai cara bernegara, berdemokrasi dan berepublik.(*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.