Panti Werdha Damai Manado Terbakar dan Air Mata Gertruida
December 30, 2025 09:22 PM

TRIBUNMANADO.CO.ID - Senin (29/12/2025) adalah hari di mana saya paling banyak meneteskan air mata.

Panti Werdha Damai di Kelurahan Ranomuut, Kecamatan Paal Dua, Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), hangus terbakar dan menewaskan 16 penghuninya.

Sebagai wartawan saya ada, bahkan teramat dekat dengan peristiwa tragis itu.

Mohon maaf bila saya terlalu melankolis.

Tapi lebih baik kelebihan rasa daripada kekurangan rasa.

Siapa yang masih bisa senyum-senyum menyaksikan belasan orang tua yang sudah kehilangan keluarga mereka, meninggal dengan cara tragis?.

Jika ya mungkin anda sudah gila.

Peristiwa itu membuat Manado mendadak gelap setelah disinari lampu-lampu Natal.

Pita hitam seakan terpasang di langit Manado yang mulai cerah, meski di musim hujan.

Saat saat evakuasi, saya ingat dengan jelas.

Sewaktu tim memasuki ruangan dan jenazah ada di mana-mana.

Tinggal tunjuk satu di kiri, dua di kanan.

Sejumlah jenazah ditemukan di atas tempat tidur.

Sepertinya ini oma (nenek) dan opa (kakek) yang sudah tak lagi bisa jalan.

Menyedihkan membayangkan mereka seolah menanti api membakar, entah saat itu mereka berteriak memanggil nama ayahnya atau diam pasrah dalam doa.

Sesungguhnya tubuh mereka tak lagi tepat disebut jenazah.

Tapi tulang belulang. Tulang yang menghitam dan mengecil karena hangus terbakar.

Tim berkeliling ruangan dan berkali-kali melewati sesuatu yang dikira sebuah benda.

Kemudian terkuak bilamana itu tengkorak manusia.

Baik polisi, relawan dan lainnya, semua meneteskan air mata.

Saya pun keluar dengan mata nanar, dipenuhi kunang-kunang.

Dan mual karena bau angus daging sangat menyengat.

Dan saya kian sesak karena Gertruida. Ini nama awal dari panti asuhan itu.

Saya mengira sang Gertruida ini orang dan ia berkebangsaan Belanda.

Benar ia orang. Tapi orang Indonesia. Gertruida adalah pendiri panti asuhan itu.

Dan ternyata terinformasi kuat Gertruida adalah oma tuaku.

Alias nenek dari pihak ayah. Saya shock dan merasa orang paling bodoh sekaligus paling bangsat di dunia.

Tak mengenali karya orang tua sendiri. Di sela sela liputan, saya duduk merenung.

Saya mau berdoa, Tuhan, tapi lidah kelu. Pikiran saya pun hampa dan mulai terisi gelap.

Dalam gelap, saya mulai memandang segalanya gelap. Termasuk takdir.

Saya sempat berpikir, mungkin Soe Hok Gie benar.

Hidup yang paling bahagia adalah yang tidak dilahirkan, yang bahagia adalah mati muda dan paling menderita adalah mati di usia tua.

Saya lantas bertemu Ci Hoa dan segalanya terang kembali. Ci Hoa saya temui di RSUD Manado.

Ia adalah salah satu penghuni panti yang selamat.

Berada di sana untuk perawatan, tapi Ci Hoa tak tampak seperti perawat bagi jiwa yang gemar mengeluh dan mempertanyakan takdir.

Ia piatu. Tak punya ayah, ibu, anak, sanak. Ci Hoa bahkan kehilangan teman sekamarnya yang wafat dalam peristiwa itu.

Ci Hoa hanya bisa jalan dengan bantuan tongkat. Tapi wajahnya tenang dan damai.

Auranya seperti pemenang.

Ci Hoa bercerita, dirinya selamat setelah pengawas mengetuk pintu kamarnya saat panti itu mulai diterjang api.

Cia Hoa berjalan dengan susah payah, sambil daraskan doa.

Di saat saat kritis, datang seorang penatua. Ia membopong Ci keluar.

"Tuhan sudah kasih kesempatan saya hidup, maka saya harus terus hidup untuk memuliakan nama-Nya," kata dia kepada saya.

Saya terdiam. Airmata menetes lagi.

Kali ini bukan getir. Tapi terharu oleh kekuatan iman oma.

Saya membayangkan, para Oma dan Opa kini di surga.

Dan kita yang masih di bumi ini dapat merengkuh sepotong surga dengan menjaga dan mencintai orang tua yang masih hidup.

(TribunManado.co.id/Arthur Rompis)

WhatsApp TribunManado.co.id : KLIK

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.