Lika-liku Perajin Wayang Kulit di Banjarnegara, Bagong Sulit Cari Kulit Kerbau
December 31, 2025 12:07 PM

TRIBUNBANYUMAS.COM, BANJARNEGARA – Di tengah gempuran era digital, suara denting tatah yang membentur kulit kerbau masih terdengar konsisten dari jemari Bagong Sugiyanto. 

Pria yang akrab disapa Pak Bagong ini bukan sekadar pengrajin; ia adalah satu dari sedikit penjaga nyala api seni tatah sungging di Kabupaten Banjarnegara yang masih bertahan hingga kini.

Bagi Bagong, membuat wayang bukan sekadar perkara ekonomi, melainkan sebuah misi pelestarian. Ia mengungkapkan keprihatinannya terhadap fakta bahwa saat ini pengrajin wayang produktif di Banjarnegara bisa dihitung dengan jari.

"Faktanya di Banjarnegara tidak lebih dari 10 pengrajin yang produktif. Terbawa dari keprihatinan itu, saya senantiasa eksis. Ini bukan lagi sekadar pekerjaan, tapi hobi dan visi pelestarian," ujar Bagong saat ditemui di sela-sela pasar rakyat yang di gelar Pemkab Banjarnegara, pada Selasa (30/12/2025). 

Nama seni pembuatan wayang secara teknis disebut tatah sungging. Prosesnya panjang dan menuntut ketelatenan tinggi, mulai dari mencoret (menggambar), menatah (memahat), hingga menyungging (mewarnai).

Ketelitian ini membuat waktu pengerjaan satu tokoh wayang tidak bisa instan.

Bergantung pada ukuran dan kerumitan motifnya, satu wayang bisa memakan waktu satu minggu hingga satu bulan penuh. Tak heran, Bagong seringkali harus meminta kesabaran dari para pemesannya.

"Rata-rata pemesanan minimal satu per bulan. Ada karakter tertentu yang digarap sampai tiga minggu bahkan sebulan.

 Konsumen saya rata-rata adalah kolektor atau pecinta wayang untuk kelangenan (kesenangan pribadi) yang dipajang di rumah," jelas pria yang juga berprofesi sebagai Pranatacara (MC Bahasa Jawa) ini.

Baca juga: Resmi! Pakaian Khas ASN Blora dengan Corak Batik Lokal

Soal kualitas, Bagong tidak main-main. Bahan dasar paling ideal yang ia gunakan adalah kulit kerbau karena sifatnya yang elastis dan tahan terhadap perubahan cuaca. Namun, karena kerbau jarang disembelih di daerahnya, ia kerap mengambil bahan dari sentra kulit di Yogyakarta atau Solo.

Sebagai alternatif, ia menggunakan kulit sapi atau kulit kambing yang didobel. Bahkan, untuk menyasar segmen ekonomis atau pemula, Bagong berinovasi menggunakan bahan talang karpet.

Meski berbasis di daerah, karya tangan Bagong telah melanglang buana. Berawal dari jaringan pertemanan, karyanya pernah dikirim hingga ke Negeri Sakura, Jepang. 
"Lewat era digital seperti sekarang, tidak ada batas lagi. Dulu saja lewat pertemanan karya saya sudah sampai ke Jepang, apalagi sekarang," lanjutnya. 


Keahlian Bagong tidak turun dari langit. Ia mulai memegang pahat sejak tahun 1988, mewarisi bakat dari sang ayah. Uniknya, ia menyebut metode belajarnya "terbalik".

"Menurut versi saya, belajar tatah sungging itu terbalik. Belajar mewarnai dulu, setelah tahu detailnya baru mencoba memahat, dan yang terakhir baru menggambar. Kalau sudah bisa menggambar, artinya sudah bisa menyelesaikan semuanya," tuturnya.

Kini, Bagong membuka pintu rumahnya lebar-lebar bagi siapa saja, terutama anak muda, yang ingin belajar. Baginya, melihat anak muda tertarik pada gamelan atau tokoh wayang adalah secercah harapan bahwa seni ini tidak akan raib.

Mengenai harga, Bagong mematok nilai yang sangat dinamis. Untuk wayang berbahan sederhana, harga dipatok mulai dari Rp.350.000. Namun untuk pesanan khusus para kolektor atau dalang dengan detail kerumitan tinggi, harganya bisa mencapai jutaan rupiah.

"Pernah ada empat tokoh yang harganya masing-masing Rp5,5 juta. Itu tergantung permintaan gaya dan ketentuan khusus dari pemesan. Saya memberikan garansi kualitas bagi mereka," tambahnya. 

Bagong berharap, langkah mandirinya ini mendapat dukungan lebih dari pemerintah daerah maupun dewan kesenian. 

Sebab baginya, menjaga wayang bukan hanya soal mencetak dalang, tapi juga memastikan ketersediaan sarana seperti seni kriya wayang itu sendiri agar tetap lestari.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.