Laporan Reporter TribunBengkulu.com, M. Bima Kurniawan
TRIBUNBENGKULU.COM, BENGKULU - Koalisi Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB) menggelar konferensi pers bertajuk “Satu Tahun Melawan Energi Kotor di Sumatera” pada Rabu (31/12/2025).
Konferensi pers tersebut dilaksanakan di Kantor Kanopi Hijau Indonesia, Jalan Kapuas IV D Nomor 40, Lingkar Barat, Kota Bengkulu sekitar pukul 10.00 WIB.
Kegiatan ini digelar sebagai bentuk penyampaian Catatan Akhir Tahun kepada publik, sekaligus pertanggungjawaban gerakan, kontrol sosial, serta penguatan narasi transisi energi bersih dan berkeadilan di Pulau Sumatera.
Dalam konferensi pers tersebut, Koalisi STuEB memaparkan temuan lapangan dan laporan akhir tahun terkait dampak Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara terhadap lingkungan hidup, kesehatan masyarakat, hingga penghidupan komunitas pesisir di berbagai wilayah Sumatera.
Akademisi Universitas Bengkulu, Dr. Liza Widia Wati, menjelaskan secara ilmiah mengapa PLTU batubara kerap disebut sebagai energi kotor.
Ia menegaskan, masifnya pembangunan dan aktivitas puluhan PLTU di Sumatera telah berkontribusi pada perubahan iklim yang semakin nyata.
“Dampak perubahan iklim tersebut terlihat dari berbagai bencana yang terjadi di akhir tahun ini di beberapa provinsi di Sumatera, yang digadang-gadang sebagai bencana hidrometeorologi,” kata Liza.
Baca juga: Peringatan Dini BMKG Cuaca Bengkulu Libur Nataru 2026, BPBD Ingatkan Jangan Mandi di Pantai
Menurutnya, kemunculan siklon dan cuaca ekstrem tidak terlepas dari meningkatnya suhu udara akibat emisi sisa pembakaran batu bara yang dilepaskan melalui cerobong PLTU.
“Udara menjadi lebih hangat karena pembuangan sisa pembakaran, ini berpengaruh besar terhadap sistem iklim,” tambah Liza.
Tak hanya di udara, dampak PLTU juga dirasakan di laut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan sejak 2020 hingga 2025, tim menemukan adanya kenaikan signifikan suhu air laut di sekitar PLTU Teluk Sepang, Bengkulu.
“Ketika PLTU tidak beroperasi, suhu air laut normal di kisaran 28–29 derajat Celsius. Namun saat PLTU beroperasi, suhu air laut bisa mencapai 34–36 derajat Celsius,” ungkap Liza.
Kondisi tersebut berdampak langsung pada ekosistem laut dan penghidupan nelayan.
“Penghasilan tangkapan ikan nelayan berkurang, dan dampak kesehatan juga sangat serius. Dalam setahun bisa terjadi lebih dari seribu kasus ISPA, ini kejadian yang luar biasa,” tegas Liza.
Sementara Inisiator Sumatera Terang untuk Energi Bersih Ali Akbar, menyoroti dampak krisis iklim di wilayah pesisir Sumatera yang kian mengkhawatirkan.
“Laju abrasi di pantai barat Sumatera itu antara setengah sampai tiga setengah meter per tahun. Bisa dibayangkan ada berapa ribu desa yang bakal terdampak,” ucap Ali.
Ali juga menyampaikan bahwa Koalisi STuEB aktif melakukan pendampingan dan edukasi kepada masyarakat, termasuk di sektor pendidikan.
“Di Sumatera, kami mendampingi sekitar 25 sekolah dan mengajari mereka sesuai dengan dampak kondisi yang kita alami saat ini,” kata Ali.
Menurut Ali, percepatan perlawanan terhadap krisis iklim dapat dilakukan melalui kesadaran dan keberanian rakyat yang terdampak langsung.