Sisi Lain Kemeriahan Malam Tahun Baru, Nenek Penjual Peyek Hidup Sebatang Kara di Usia Senja
January 01, 2026 02:15 AM

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Malam tahun baru kerap menjadi momen bahagia bagi sebagian orang di dunia.

Kemeriahan malam pergantian tahun kerap menjadi ajang berkumpul bersama keluarga, sahabat, dan orang terkasih lainnya.

Tapi hal itu tidak berlaku bagi Dewi (72), seorang nenek lanjut usia yang masih harus berjualan camilan peyek dan kacang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Saat ditemui Tribunnews.com di Car Free Night dalam rangka menyambut pergantian tahun, di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Rabu (31/12/2025) sekira pukul 21.00 WIB, Dewi tampak membawa tas jinjing ukuran sedang berisi peyek dan kacang yang sudah dikemas menggunakan beberapa plastik ukuran kecil.

Meski nada bicara Dewi masih terdengar bersemangat seperti orang muda, tapi hal itu tak bisa menutupi kondisi tubuh Dewi yang goyah ketika mengangkat tas berisi dagangan.

Warga Kebon Jeruk, Jakarta Barat itu, mengaku sudah berdagang sejak siang hari. Hal itu dilakukan Dewi semata-mata untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya yang kini tinggal sebatang kara.

"Jualan peyek dan kacang untuk sehari-hari. Enggak ada yang kasih duit. Enggak ada yang kasih kerjaan. Jadi untuk bertahan hidup. Sebatang kara nenek sekarang," ucap Dewi sambil tersenyum, saat ditemui, Rabu malam.

Baca juga: Sambil Bagi-bagi Sembako, Kapolri Tinjau Perayaan Malam Tahun Baru 2026 di Bundaran HI

Ia mengungkapkan, sang suami yang berasal dari Aceh telah meninggal dunia pada 2006.

Dewi mengaku memiliki seorang anak perempuan yang tinggal di Semarang, Jawa Tengah. Namun, menurutnya, sang anak enggan mengakui dia sebagai orang tuanya.

"Anakku satu, di Semarang. Perempuan. Sudah 30 tahun enggak menemui saya. Nikah sama orang Filipina, tapi sekarang sudah cerai. Anaknya dua, cucu saya sudah dua," jelasnya.

"Dia (anak Dewi) enggak mau mengakui saya sebagai ibunya, karena dulu saya bangkrut," sambung Dewi.

Kondisi tersebut mengharuskan Dewi hidup seorang diri dengan tidak meminta pertolongan dari saudara dan orang lain.

"Saya enggak mau minta-minta ke saudara, teman. Saya masih bisa cari duit sendiri. Kalau saya nyerah, malah lebih dosa," katanya.

Sudah Biasa Diusir

Dewi kemudian mengatakan, dia sudah beberapa kali berpindah tempat tinggal karena tak sanggup membayar biaya sewa kontrakan.

Katanya, diusir pemilik kontrakan sudah menjadi hal biasa dia alami.

Dewi menjelaskan, kini dia tinggal di sebuah kontrakan berbentuk satu petak kamar, dengan biaya sewa Rp500 ribu per bulan.

Beban hidup itu tak sebanding dengan pendapatannya dari berdagang peyek dan kacang, yang dijual Rp3.000 – Rp5.000 per kemasan.

Pasalnya, menurut Dewi, alih-alih untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, pendapatannya itu pun kadang tak cukup untuk kembali dijadikan modal membuat peyek dan kacang.

Baca juga: Menanti Tahun Baru di Sarinah: Konser, Kacang Goreng, dan Doa untuk Indonesia

"Modalnya ya enggak cukup, makanya kacangnya sedikit. Kalau aku berhenti jualan, makanku juga berhenti dong, mati aku," ujar Dewi berkelakar.

Sambil tertawa, Dewi berharap perekonomian Indonesia semakin maju di 2026.

"Harapannya Indonesia semakin maju, jangan banyak utang. Kalau banyak utang, aku jadi kena pajak, apa-apa jadi mahal, aku susah. Kasihan orang susah," ujarnya. (*)

© Copyright @2026 LIDEA. All Rights Reserved.