Mega Proyek Singapura Manfaatkan Sedimentasi Laut Indonesia
Gufinda Risman September 22, 2024 10:00 AM
Singapura memiliki rencana untuk membangun Pelabuhan Tuas yang akan menjadi Pelabuhan peti kemas terbesar di dunia. Pelabuhan Tuas ini akan menjadi satu lokasi yang yang signifikan untuk mengurangi operasi pengangkutan antar terminal dan emisi gas rumah kaca. Sehingga dalam pembangunannya membutuhkan pasir laut yang diekspor dari negara-negara tetangga.
Luas daratan Singapura yang kecil membutuhkan reklamasi skala besar dalam proses pembangunannya. Mega proyek ini membutuhkan beberapa fase dalam proses pembangunan dan menargetkan perampungan secara keseluruhan pada tahun 2040-an. Jika fase pembangunan telah rampung, Pelabuhan Tuas akan memiliki kapasitas penampungan 65 juta twenty-foot equivalent unit (TEUs). Apabila dibandingkan dengan pelabuhan peti kemas yang ada di Indonesia, seperti Pelabuhan Tanjung Priok, kapasitasnya hanya 12 juta TEUs per tahun.
Pelabuhan Tuas di Singapura membutuhkan kebijakan pemerintah di negara-negara tetangga termasuk Indonesia sebagai negara yang mampu menyokong pembangunan mega proyek tersebut. Hal ini sebagai bentuk kerjasama bilateral antar negara yang bertujuan untuk saling menguntungkan. Sementara itu, di Indonesia sendiri memiliki perkembangan sejarah terkait kebijakan ekspor pasir laut.
Sejarah Kebijakan Ekspor Pasir Laut di Indonesia
Ekspor pasir laut di Indonesia dibuka pertama kali oleh masa pemerintahan Presiden ke 2 RI Soeharto pada tahun 1970an. Lalu pada masa pemerintahan Presiden ke 5 RI Megawati pada tahun 2002 keluarlah Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut, dirinya membatasi ekspor pasir laut karena dinilai merusak lingkungan.
Sumber : istockphoto
Kemudian pada masa pemerintahan Presiden ke 6 RI Susilo Bambang Yudhoyono, Pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang salah satu aturannya adalah larangan penambangan pasir. Hal ini disebabkan karena adanya abrasi dari aktivitas pengerukan pasir di Pulau Nipah dan Sebatik wilayah Batam.
Pelarangan kebijakan eskpor pasir laut di Indonesia sudah ditutup selama 20 tahun lalu dan dibuka kembali pada masa pemerintahan saat ini. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut menunjukkan bahwa keran ekspor pasir laut di Indonesia kembali dibuka setelah 20 tahun ditutup. PP tersebut merupakan turunan dari UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.
Dampak Kebijakan Ekspor Pasir Laut di Indonesia
Berdasarkan hasil riset, dampak kebijakan ekspor terhadap pemerintah dapat dilihat melalui pendapatan negara dan investasi. Dalam hal ini dibukanya kembali keran ekspor pasir laut dapat meningkatkan pendapatan negara melalui ekspor, terutama jika pasir laut diidentifikasi memiliki nilai strategis dalam proyek pembangunan, seperti panel surya dan infrastruktur internasional. Selain itu, pemerintah juga bisa menarik investasi asing, terutama di sektor energi dan pembangunan infrastruktur.
Dampak kebijakan lainnya yaitu adanya tantangan dalam pengelolaan lingkungan. Dalam hal ini, pemerintah harus menghadapi tantangan untuk memastikan eksploitasi pasir laut tidak merusak ekosistem. Jika pengelolaan dilakukan secara tidak bijaksana, bisa memicu kerusakan lingkungan yang akan mengurangi citra pemerintah di mata masyarakat domestik dan internasional.
Kemudian terdapat potensi konflik diplomatik dan internasional terhadap ekspor pasir laut yang bisa menimbulkan masalah geopolitik, terutama jika negara-negara tetangga, seperti Singapura, dianggap sebagai tujuan utama ekspor. Jika tidak diatur dengan baik, hal ini bisa memicu ketegangan diplomatik, terutama terkait masalah lingkungan lintas batas atau pelanggaran aturan perdagangan internasional.
Akhirnya, citra dan kepercayaan publik terhadap pemerintah semakin melemah, karena memandang kebijakan ini lebih menguntungkan pihak asing dibandingkan kebutuhan dalam negeri. Selain itu, kebijakan ini akan dianggap melemahkan potensi sumber daya alam yang dimiliki Indonesia. Dengan demikian, pemerintah akan menghadapi krisis kepercayaan atas kebijakan ekspor pasir laut yang diterbitkan.
Dampak kebijakan ekspor pasir laut terhadap masyarakat dapat dilihat melalui kerusakan lingkungan pesisir. Penambangan pasir bisa menyebabkan erosi pantai, mengurangi kualitas air laut, dan merusak habitat laut, seperti terumbu karang dan tempat tinggal ikan. Hal ini akan mempengaruhi komunitas pesisir yang bergantung pada laut sebagai sumber mata pencaharian, seperti nelayan.
Sumber : istockphoto
Masyarakat lokal mungkin merasakan manfaat ekonomi jangka pendek melalui lapangan kerja dan pendapatan tambahan dari aktivitas ekspor. Namun, dalam jangka panjang, apabila pasir laut habis atau lingkungan rusak, mereka bisa kehilangan sumber daya alam penting yang menopang ekonomi lokal. Sehingga, pengelolaan pasir laut tidak dilakukan secara adil, bisa terjadi konflik sosial di tingkat lokal, terutama di daerah yang terlibat dalam penambangan atau pengelolaan sumber daya alam ini.
Jika dilihat berdasarkan sektor kelautan, kualitas ekosistem laut dapat mengurangi hasil tangkapan ikan dan sumber daya laut lainnya yang berdampak pada ketahanan pangan masyarakat pesisir. Pasokan pangan dari laut akan terganggu, terutama bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada hasil laut. Dengan demikian, tingkat pendapatan masyarakat pesisir terganggu dan potensi sumber daya alam semakin terkikis.
Sikap Pemerintah Terhadap Kebijakan Ekspor Pasir Laut
Pemerintah dan masyarakat perlu memastikan kebijakan ekspor pasir laut diimbangi dengan upaya konservasi dan perlindungan ekosistem. Dampak besar pada generasi mendatang, baik dari segi lingkungan maupun ekonomi terkait kebermanfaat pengelolaan lingkungan dan penurunan pendapatan masyarakat. Pemerintah perlu melibatkan berbagai pihak untuk memastikan bahwa semua kebijakan terkait pasir laut dilakukan secara transparan dan berkelanjutan.
Pemerintah harus memastikan bahwa aktivitas ekspor pasir laut dilakukan dengan pengawasan ketat untuk menghindari kerusakan ekosistem laut. Pengelolaan sedimentasi laut harus berdasarkan kajian ilmiah yang mempertimbangkan dampak lingkungan jangka panjang, terutama bagi ekosistem pesisir, terumbu karang, dan keanekaragaman hayati laut. Dengan skema keterbukaan data dan transparansi, pemerintah perlu memberikan transparansi terkait data sedimentasi dan dampaknya terhadap lingkungan. Keterbukaan informasi ini penting untuk menjaga kepercayaan publik serta memastikan kebijakan ekspor tidak merusak keseimbangan ekologis.
Sumber : Pixabay
Pelibatan para ahli dan akademisi lingkungan dalam pengambilan keputusan sangat penting. Pemerintah bisa bekerja sama dengan universitas, lembaga riset, serta organisasi lingkungan untuk memastikan kebijakan yang tepat guna, sekaligus menjaga daya dukung lingkungan. Kemudian, pemerintah perlu mengkaji pemenuhan kebutuhan pasir laut yang dapat di ekspor, seperti yang diatur dalam PP Nomor 26 Tahun 2023 yang dapat memberikan manfaat untuk dalam negeri.
Pemerintah perlu memastikan bahwa manfaat dari kebijakan tersebut dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk komunitas pesisir yang berisiko terdampak oleh pengelolaan sedimentasi laut. Kebijakan ini juga harus menciptakan keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan. Selain itu, pemerintah harus terus melakukan dialog dengan pemangku kepentingan terkait, termasuk masyarakat lokal, kelompok nelayan, LSM lingkungan, dan industri terkait, untuk membangun konsensus mengenai kebijakan ini.
Proses konsultasi publik juga dapat menghindari potensi konflik atau miskomunikasi. Dengan mengutamakan manfaat sedimentasi pasir laut, pemerintah perlu menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan, sambil memastikan bahwa kebijakan ini diterima secara luas oleh masyarakat. Dengan demikian, kebutuhan dalam negeri dapat terpenuhi dan disesuaikan dengan ketentuan dari peraturan perundang-undangan.
© Copyright @2024 LIDEA. All Rights Reserved.