Merebut Irian Barat dari Dalam: Saat Papua Jadi Bagian dari Indonesia
Moh. Habib Asyhad September 22, 2024 12:34 PM

Operasi Pembebasan Irian Barat, dikenal dengan sebutan Operasi Trikora (1962), tidak bisa dilepaskan dari KMB pada 1949. Perundingan itu menyisakan wilayah Irian Barat dan harus selesai dalam satu tahun. Persoalan berlarut-larut. Sejak 1954 Belanda menutup rapat-rapat wilayah itu dari perundingan. Tak ada cara lain, harus ada operasi militer untuk mengembalikan wilayah itu ke pangkuan RI. Inilah Cuplikan Buku Intisari dari buku 52 Tahun Infiltrasi PGT di Irian Barat karya Beny Adrian.

Pencukil: Mayong Suryo Laksno, yang di Majalah Intisari pada Juli 2014.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Agustus 1960, Jakarta resmi memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda. Bersamaan dengan itu Indonesia mulai menerima kiriman senjata dalam jumlah besar dari Uni Soviet.

Antara lain kapal penjelajah (cruiser) KRI Irian, kapal selam, tank amfibi, helikopter, pesawat transpor, pesawat tempur MiG-15, -17, -19, dan -21, pengebom Ilyushin Il-28, dan Tupolev Tu-16.

Seketika Indonesia menjadi negara dengan kekuatan yang disegani. Pakta pertahanan Asia Tenggara (SEATO) berafiliasi ke Barat alias ke Amerika Serikat yang masih menghendaki Belanda di Irian Barat. Tapi melihat semangat rakyat Indonesia yang amat tinggi untuk mengembalikan wilayah itu ke pangkuan RI, pandangan mereka mendua. Apalagi di dalam negeri, Partai Komunis menunggangi sentimen anti-Barat untuk melakukan konsolidasi kekuatan.

Presiden Kennedy sebetulnya lebih setuju pada pengembalian Irian Barat ke Indonesia, namun di sisi lain dia juga ingin menjaga agar Belanda tidak kehilangan muka. Maka, kendati pada 19 Desember 1961 Presiden Sukarno mencanangkan "Tri Komando Rakyat" disusul pembentukan Komando Mandala, AS masih mendesakkan perundingan.

Perundingan awal secara rahasia di Middleburg, Virginia, AS, 20-22 Maret 1962, melibatkan negosiator Dubes Belanda Herman van Roijen dan Dubes RI di Moskwa, Adam Malik. Tapi perundingan gagal karena kedua delegasi memiliki dasar pijak yang berbeda.

Presiden Kennedy menelepon Presiden Sukarno agar memulai perundingan lagi. Kennedy menghendaki, kedaulatan Papua Barat (ketika itu masih Irian Barat) harus diserahkan dulu ke Pemerintah Indonesia sebelum rakyatnya menentukan nasib sendiri.

Sementara itu di lapangan, aksi pembebasan sudah mulai. Kontak senjata terjadi. Tanggal 17 Mei Belanda mengklaim menembak jatuh pesawat Indonesia, dan esok harinya Dubes RI di PBB Sukardjo Wirjopranoto menegaskan penerjunan pasukan payung Indonesia menandai dimulainya "aksi pembebasan" Irian Barat.

Maka tanggal 13 Juli perundingan Middleburg dimulai lagi. Delegasi Indonesia hampir walk out karena menolak syarat penyerahan kepada PBB dalam masa transisi selama 1 tahun sementara RI menghendaki agar Belanda menyerahkan Irian Barat sebelum 31 Desember 1962.

Perundingan dipindahkan ke Washington pada 25 Juli. Tapi ini pun sama alotnya, mengharuskan AS melakukan intervensi. Presiden Kennedy berkata kepada Menlu Subandrio, “Memulai perang adalah mudah, akan tetapi sulit sekali untuk mengendalikan arahnya, membatasi lingkupnya, ataupun menghentikannya.”

Tak kalah berupaya, Sekjen PBB U Thant pada 27 Juli menegaskan kepada Subandrio, apabila perundingan gagal dan perang sampai pecah, opini dunia akan menyalahkan Indonesia. Tuntutan pengalihan kekuasaan sebelum akhir 1962 tidak masuk akal. Pengalihan baru bisa dilakukan paling cepat 1 Mei 1963.

Kesepakatan akhirnya terjadi. Persetujuan yang ditandatangani 15 Agustus di Markas Besar PBB di New York itu mengatur transisi peralihan kekuasaan. Pada 1 Oktober bendera Belanda diturunkan dan diganti bendera PBB, esok harinya bendera Belanda dinaikkan lagi sebagai simbol kerja sama.

Sampai tanggal 31 Desember bendera Belanda diturunkan dan diganti bendera Indonesia. Akhirnya, pada 1 Mei 1963 bendera PBB diturunkan, dan tinggallah Sang Merah Putih berkibar sendirian di segenap penjuru Irian Barat.

Provinsi Irian Barat Bentuk Baru

Di balik jalan berliku di kancah diplomasi, militer dilanda kegusaran. Ketidaksabaran menanti hasil diplomasi, yang barangkali hasilnya pun belum tentu memuaskan, diwujudkan dengan mobilisasi kekuatan militer. Sesungguhnya pemerintah telah mengakhiri politik damai pada tahun 1957 dan menggantinya dengan politik konfrontasi.

Presiden, Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia, menganggap alotnya perundingan karena Belanda masih ingin melanjutkan kolonialisme di Irian Barat. Maka Bung Karno memerintahkan Angkatan Perang RI untuk melaksanakan Tri Komando Rakyat:

1. Gagalkan pembentukan Negara Boneka Papua buatan Belanda Kolonial.
2. Kibarkanlah Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia.
3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa.

Sebagai tindak lanjut, pada 1 Januari 1962, melalui Penetapan Presiden RI Nomor 1 tahun 1962, presiden membentuk Provinsi Irian Barat Bentuk Baru. Presiden menunjuk E.J. Bonay sebagai gubernur dan Kolonel Laut R. Pamoedji sebagai wakil gubernur.

Ini kemudian diikuti Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI/Panglima Besar Komando Tertinggi (KOTI) Pembebasan Irian Barat No. 01/Kpts/1962 tanggal 2 Januari 1962, yang membentuk Komando Mandala. Pada 11 Januari 1962 Brigjen Soeharto, Panglima Cadangan Umum Angkatan Darat (Caduad), diangkat menjadi Panglima Komando Mandala dan dinaikkan pangkatnya menjadi Mayor Jenderal.

Untuk merealisasikan Kampanye Trikora, Komando Mandala Pembebasan Irian Barat menyusun tiga tahap pekerjaan. Tahap Infiltrasi, Tahap Penghancuran (Ekspolitasi), dan Tahap Konsolidasi. Rincian penahapan itu dibuat dan ditandatangani oleh Panglima Komando Mandala Mayjen TNI Soeharto pada 16 Februari 1962.

Perebutan Jayawijaya dan Jayapura

Infiltrasi dalam skala terbatas sebenarnya pernah dilakukan di tahun 1950-an dan awal 1960-an. Misalnya ke Pulau Gag pada 1952 yang dipimpin oleh Ali Kahar. Setahun kemudian, infiltrasi ke Fakfak dipimpin Sersan Kalalo M.L. dengan wakil Kopral B.P.X. Sauth. Infiltrasi ke Teluk Etna (Kaimana) pada 1954 dipimpin oleh J.A. Di-mara. Ketika itu tim kecil ini mengedarkan uang kertas Republik Indonesia di Irian Barat. Sayang, tim 42 orang itu belakangan tertangkap.

Lantas ada Operasi Sandi A dan B yang dilaksanakan pada 9 November 1960. Pada tanggal itu, dari Pulau Buru diberangkatkan kelompok infiltran pertama menuju Teluk Etna. Dipimpin oleh Lettu Inf. Antaribawa, kelompok ini bertugas menyusup dan mempengaruhi penduduk setempat agar mau melawan Belanda.

Sedangkan Operasi Sandi C bertugas berdiplomasi di luar negeri untuk memperlemah kedudukan Belanda di Irian Barat. Lalu pada 14 November dikirim kelompok 33 orang di bawah pimpinan Letnan Inf. Djamaluddin Nasution untuk melakukan pendaratan di Teluk Cenderawasih di Kep. Raja Ampat. Sementara itu Presiden Sukarno mendesak Kepala Staf KOTI Mayjen TNI Ahmad Yani supaya Operasi Infiltrasi segera dilaksanakan guna mendukung diplomasi.

Operasi Jayawijaya dimulai pada 12 Agustus 1962, melibatkan para perwira penyusun strategi penyerangan laut antara lain Komodor (P) Soedomo, Kolonel Udara Sri Mulyono Herlambang, dan Mayor Udara Pribadi.

Sementara Komodor Udara Leo Wattimena dibantu Kolonel Inf. Achmad Wiranatakusumah, dan Mayor Udara Muhammad Loed ditugaskan merancang operasi lintas udara. Kolonel (P) Mulyono S, Letkol (P) Haryono Nimpuno, Letkol KKO Soewadji, dan Mayor KKO Bob Adman menyusun rencana operasi amfibi.

Yang menjadi masalah, wilayah Irian Barat yang akan direbut terpisah oleh perairan dari wilayah Indonesia lainnya. Jarak terdekat adalah 60 mil, perairannya sangat dipengaruhi oleh angin barat dan timur.

Sementara sebagian besar daratan ditutupi oleh hutan belukar dengan kerapatan pohon sangat tinggi dan diameternya besar, jalan raya terbatas, curah hujan tinggi, dan banyak rawa-rawa. Sementara data intelijen tentang musuh sangatlah minim. Risiko lain: Belanda juga sudah tahu perihal rencana operasi militer Indonesia. Jadi mereka juga waspada.

Untuk mendukung Operasi Jayawijaya, Angkatan Udara Mandala menyiapkan sebuah operasi yang diberi sandi Operasi Siaga. Semua pesawat terbang dari berbagai jenis disiagakan, dibentuk pula enam kesatuan tempur dan dua batalion PGT (Pasukan Gerak Tjepat).

Operasi penerjunan melibatkan tim gabungan dari PGT dan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat, sekarang Komando Pasukan Khusus TNI-AD). Dibagi menjadi sejumlah operasi kecil menurut tahapannya.

Operasi Banteng Ketaton pada 26 April, dibagi menjadi Banteng Putih untuk menerjunkan satu tim gabungan PGT dan 42 orang dari RPKAD dengan tiga pesawat Dakota dengan sasaran Fak-fak, dan Banteng Merah untuk menerjunkan anggota PGT dan 33 anggota RPKAD di Kaimana.

Operasi Garuda 15-25 Mei, dipecah menjadi Garuda Merah I yang menerjunkan 38 prajurit dari Yon-454 Brawijaya dengan menggunakan tiga Dakota di Fakfak, dan Garuda Putih I yangs menerjunkan 27 anggota PGT dan 27 personel dari Yon-454 di Kaimana.

Juga Garuda Merah II menerjun-kan 79 pasukan gabungan Yon-454 dan satu peleton PGT ditambah 30 koli barang di Fakfak, serta Garuda Putih II menerjunkan 80 personel PGT di Sansopor-Sorong.

Operasi Serigala 17 dan 19 Mei dengan dropping zone di Klamono (27 prajurit PGT) dan Teminabuan (81 prajurit PGT), menggunakan pesawat Dakota dan Hercules. Operasi Kancil pada 17 Mei dilaksanakan simultan melalui Kancil I dengan penerjunan di Fakfak, Kancil II di Kaimana, dan Kancil III di Sorong. Di setiap lokasi diterjunkan satu kompi pasukan dengan pesawat Dakota.

Operasi Naga dilaksanakan pada 23 Juni dengan sasaran Merauke Menerjunkan 55 anggota RPKAD dan 160 orang dari Yon-530 menggunakan pesawat Hercules. Lantas disusul Operasi Lumbung pada 30 Juni, berupa penerjunan logistik di Merauke menggunakan pesawat Hercules untuk keperluan pasukan Operasi Naga. Operasi Rajawali pada 26 Juli menerjunkan 71 anggota Yon-328 di Kaimana dengan Hercules.

Akhirnya dilaksanakanlah operasi pamungkas yaitu Operasi Jatayu. Dilaksanakan tiga kali di bawah sandi Elang dengan daerah sasaran Klamono-Sorong menerjunkan 132 prajurit PGT, Gagak menerjunkan 141 orang dari Yon454 di Kaimana, dan Alap-alap yang diterbangkan langsung dari Bandung untuk menerjunkan 132 anggota PGT di Merauke.

Sebelum semua itu dimulai, KOLA mendatangkan artis-artis penyanyi Ibukota ke Laha, Ambon, untuk menghibur. Suara merdu dan goyangan Rita Zahara, Fetty Fatimah, dan Usman Gumanti mengendorkan saraf ketegangan prajurit sebelum menjalani misi merebut wilayah jajahan asing.

Hampir semua penerjunan dilakukan pada dini hari menjelang pagi. Itu ciri PGT. Maka sebagai simbol, dipilihlah warna baret jingga untuk pasukan itu. Sebelumnya, PGT hanya mengenakan topi atau jungle hat, tidak beda dengan pasukan lain.

Yang berat justru mendapatkan makanan

Perintah operasi penerjunan pertama kali di wilayah Irian Barat tertuang dalam surat No. 01/PO/SR/4/1962 tanggal 11 April 1962 yang ditandatangani Panglima Mandala Mayjen TNI Soeharto. Di depan pasukan gabungan PGT dan RPKAD Panglima berpesan agar pasukan tidak melupakan Sumpah Prajurit dan Sapta Marga.

“Hindari vuur contact (kontak senjata) karena tugas kalian adalah menyusup dan infiltrasi,” pesan Mayjen TNI Soeharto.

Pagi hari, 26 April 1962, terbang-lah sebuah pembom B-25 Mitchel dan dua pemburu P-51 Mustang dari Lanud Amahai di Ambon dan Letfuan di Kep. Kei, Ambon, dengan tujuan Sorong. Maksud penerbangan itu adalah memantau keamanan jalur penerbangan sekaligus penipuan (deception flight).

Pesawat AURI biasanya akan tertangkap radar Belanda di Sorong atau Kaimana, atau di kapal perang mereka. Dapat dipastikan mereka akan memberitahu Skuadron Pemburu di Jeffman dan Kaimana untuk mengejar. Dengan taktik ini diharapkan pesawat Dakota yang menerjunkan pasukan akan terhindar dari sergapan pesawat Belanda.

Belanda tidak menduga bahwa Indonesia mampu melakukan infiltrasi melalui udara. Kalangan militer Belanda mulai guncang dan ragu akan pertahanan udaranya. Perhatian mereka akan tertuju ke pedalaman untuk menangkal serangan gerilya sehingga pasukan RI yang akan menyerbu dari wilayah pantai lebih leuasa masuk.

Pertempuran beberapa kali terjadi, terutama penembakan pesawat AURI oleh kapal-kapal Belanda. Di daratan, pasukan yang diterjunkan di Fakfak di bawah pimpinan Letda Agus Hernoto, satu bulan bertahan di sekitar Kampung Urere.

Dalam kondisi lelah dan kurang makanan, pasukan disergap tentara Belanda hingga kocar-kacir. Lima orang gugur. Agus tertembak di kedua kakinya dan ditawan Belanda. Saat pertukaran tawanan, ia bisa kembali dalam keadaan selamat.

Penerjunan pertama di Kaimana terdiri atas tiga pesawat Dakota yang menerjunkan 23 anggota RPKAD, 9 PGT, dan satu perwira zeni. Tidak boleh menyalakan navigation light dan harus radio silence untuk menghindari pelacakan radar musuh. Penerjunan begitu sulitnya karena hutan sangat lebat dengan pepohonan tinggi.

Banyak penerjun tersangkut di pohon. Kopral Udara I Sahudi misalnya, yang tersangkut di antara dua pohon, mencoba memprakirakan ketinggian dengan mengulur tali perlengkapan. Sampai tali terulur habis sepanjang 30 m, tanah belum tersentuh. “Pohonnya tinggi sekali,” kenang Sahudi.

Beberapa bulan pasukan menjadi gerilyawan di pedalaman. Pasukan yang gugur ditinggalkan dengan diberi tanda sedangkan senjatanya disembunyikan. Mereka yang tidak sanggup lagi meneruskan tugas terpaksa ditinggalkan agar tidak mengganggu gerak pasukan.

Keadaan medan dan perlawanan Belanda sebenarnya tidak berat. Yang berat justru sulitnya mendapatkan makanan atau tumbuhan yang dapat dimakan. Kalau kebetulan pasukan menjumpai tanaman rakyat seperti talas atau pisang, mereka terpaksa memakannya kemudian meninggalkan uang gulden untuk pembayaran. Ya, pasukan memang dibekali gulden Papua.

Letda Heru Sisnodo dan KU II John Saleky bertemu dengan kelompok perlawanan lokal anti-Belanda yang dipimpin Mayor Tituler Lodewyk Mandatjan. Nama panglima dari suku Arfak yang dikenal piawai dalam perang hutan ini sudah populer sejak Perang Pasifik pada 1940-an.

Ketika itu ia bersama suku pedalaman lain berhasil membunuh banyak tentara Jepang di Hollandia (Jayapura), Biak, Sarmi, Numfor, dan Sausapur. Saleki dan Sisnodo diajak bergabung, dan entah karena kedekatan apa, keduanya diangkat anak oleh Mandatjan. Kemudian hari, karena kecewa terhadap Indonesia, Mandatjan memberontak dan TNI perlu mengubah cara bertempur untuk membujuk dia turun gunung.

Yang tertangkap jadi bahan propaganda

Operasi-operasi penerjunan berikutnya tak jauh beda. Juga mewariskan cerita heroik yang sama. Kapten Kartawai, anggota tim Garuda Merah I yang diterjunkan di Fakfak pada dini hari 15 Mei 1962, tertangkap Belanda dan beritanya disiarkan melalui radio. Diberitakan, para infiltran Indonesia telah ditangkap dan yang masih berada di hutan agar segera menyerah. Tentu saja itu propaganda belaka.

Kisah Kapten Udara Djalaludin Tantu yang menerbangkan Dakota T-440 pada 17 Mei, dalam perjalanan pulang ke Ambon setelah menerjunkan pasukan di Kaimana, Luwuk, yang tertangkap setelah ditembak jatuh pesawat Neptune Belanda, adalah contoh heroisme penerbang tempur. Pesawat mendarat darurat di laut di sebelah timur Batu Belah. Awak dan kru menyelamatkan diri dengan perahu karet.

Kapal perang Belanda Friesland mendekat dan menawan Djalaludin Tantu dan kru. Putra Gorontalo pertama yang menjadi penerbang pesawat tempur itu kemudian dimasukkan ke penjara di Fakfak, dan kemudian dipindahkan ke Kaimana untuk dimasukkan ke penjara di kompleks polisi.

Mulut manis penduduk lokal ternyata juga harus diwaspadai. Pukul 10.00 WIT tanggal 21 Mei 1962, sekitar 40-an personel PGT dipimpin LMU Suhadi berkumpul di Wersar. Atas inisiatif SMU Mengko, di tempat inilah untuk pertama kalinya bendera Merah Putih berkibar di daratan Irian Barat. Bendera diikatkan pada batang pohon setinggi 4 m yang baru ditebang.

Penduduk yang sering datang membawa pisang, juga datang. Seseorang meminta pasukan tetap tinggal katanya karena ibunya akan segera datang membawakan pisang goreng. Namun Suhadi dan anak buahnya tahu, orang bermulut manis itu pasti mata-mata Belanda.

Maka mereka pun pergi. Baru beberapa langkah, bom berjatuhan dari pesawat Neptune dan Firefly. Serangan terus berlanjut, bahkan diulang keesokan harinya. Mereka terjepit dan tercerai-berai masuk ke hutan.

Nasihat Komandan PGT Komodor Wiriadinata adalah, ”Kamu diterjunkan, jangan perang. Bila bertemu ‘hitam’ (warga setempat) tanya, dan ‘putih’ (Belanda) tembak. Kenyataannya, mereka tidak dapat melihat wajah pasukan penyerang karena sudah disamarkan menyerupai penduduk asli Irian.

Belanda menggunakan beberapa lapis penyerang. Lapis pertama adalah penduduk setempat, barisan kedua Dewan Papua, berisan ketiga polisi Belanda yang beranggotakan penduduk asli, barulah pada barisan keempat tentara Belanda bule.

Mereka yang tertangkap disiksa, dijemur, dipindah-pindah, dan dimasukkan ke penjara yang gelap dan kotor. Ada juga yang dijadikan mainan, antara lain disuruh memetik kelapa, menebang pohon dengan pisau dapur, dsb. Yang mengherankan, tentara yang menawan adalah KNIL alias “saudara” sendiri yang menjadi tentara Belanda. Ada yang berbahasa Jawa, Sunda, Ambon, atau Manado.

Mereka memaki-maki tahanan dan menghujat Sukarno. “Saya tidak bisa apa-apa lagi, diam saja,” kenang Lettu (Purn.) Kusmari, salah satu peterjun Operasi Serigala tentang penangkapan dirinya di Sungai Kais.

Di saat lain, ketika perang usai dan pasukan ditampung sebelum dipulangkan, Kusmari dikunjungi seorang perwira bule. Perwira itu menyampaikan kekagumannya melihat semangat juang prajurit APRI, dan bagaimana bergerilya di hutan yang ganas dan perawan. Salah satu ucapan bule itu yang terus dikenangnya: ‘Kalian dikorbankan demi kemenangan di meja perundingan.’

“Hati saya sedih, kami dikorbankan,” ujar Kusmari.

Tak tahu ada gencatan senjata

Pelbagai operasi terus dilancarkan menjelang pertengahan 1962. Kebanyakan misi penerbangan sebenarnya diketahui Belanda. Pasukan Indonesia pun tahu hal itu. Maka yang selalu mereka lakukan adalah menggunakan taktik dan mengandalkan keterampilan para penerbang dan navigatornya. Demikian pula para penerjun yang berbulan-bulan menjadi gerilyawan. Jumlah yang cedera tak terhitung, yang jadi korban pun tidak sedikit.

Di kancah diplomasi, pada 15 Agustus 1962, pukul 18.30 di Markas Besar PBB di New York, Belanda menyatakan kesediaannya menyerahkan kekuasaan atas New Guinea Barat kepada Indonesia.

Tapi akibat kesenjangan komunikasi dan jarak, mereka yang di lapangan tidak banyak yang tahu peristiwa itu. Pesawat Belanda masih mengintai, dan pasukan APRI juga masih bergerilya. Barulah secara bertahap perang berakhir dalam pantauan pasukan di bawah bendera UN Security Force in New Guinea.

Tanggal 22 November 1962, gelombang terakhir tentara Belanda meninggalkan New Guinea Barat. Sejak itu, Irian Barat sepenuhnya di bawah kekuasaan Republik Indonesia.

© Copyright @2024 LIDEA. All Rights Reserved.