Sisi Positif dan Negatif Boneka Monster Labubu, Awas Terjebak Siklus Konsumerisme
GH News September 25, 2024 07:09 PM
JAKARTA – Labubu merupakan boneka ciptaan seniman Kasing Lung. Awalnya hadir sebagai karya seni patung edisi terbatas pada 2015.

Namun, potensi komersial boneka ini dilihat PopMart yang mulai memproduksinya secara massal sebagai mainan koleksi sejak 2019.



Popularitas Labubu semakin meroket setelah Lisa BLACKPINK memamerkannya di media sosial. Sejak saat itu, karakter dengan tampilan unik ini menjadi salah satu ikon Pop Mart dan diminati kolektor di seluruh dunia.

Namun, di balik popularitasnya, terdapat sisi lain yang perlu diperhatikan. Apakah boneka tersebut hanyalah sebagai koleksi saja atau ada sisi negatif yang terselubung didalamnya?

Seperti diketahui, boneka Labubu viral karena adanya tren di TikTok dan dijadikan sebagai gantungan kunci tas milik Lisa BLACKPINK. Melihat hal tersebut, para fans Lisa yang tidak ingin ketinggalan tren, langsung berburu untuk membeli boneka tersebut.

Boneka Labubu tidak hanya sekadar mainan, juga menjadi sebuah fenomena budaya yang menarik. Bagi para kolektor, Labubu adalah sebuah karya seni yang memiliki sisi positif yakni dapat dinikmati keindahannya. Mengoleksi boneka Labubu tidak hanya sekadar mengumpulkan benda mati. Di balik penampilannya yang menggemaskan, proses mengoleksi dan merawat Labubu dapat menjadi bentuk terapi yang efektif untuk mengurangi stres dan meningkatkan mood.

Komunitas yang terbentuk dari para penggemar juga semakin memperkaya pengalaman mengoleksi. Selain itu, fenomena Labubu juga telah melahirkan komunitas yang solid. Para penggemar dapat saling berbagi pengalaman, informasi dan bahkan berkolaborasi dalam menciptakan karya seni yang terinspirasi dari karakter ini.

Di sisi lain, viralnya boneka Labubu ini menjadi faktor konsumerisme yang sangat tinggi. Popularitas boneka Labubu di platform media sosial telah memicu tren konsumsi yang tidak terkendali. Fitur blind box yang membuat setiap pembelian menjadi kejutan, semakin mendorong orang untuk membeli lebih banyak.

Dorongan untuk memiliki semua seri Labubu dan memamerkannya di media sosial menciptakan semacam kompetisi sosial. Akibatnya, banyak yang terjebak dalam siklus konsumerisme yang tidak sehat, mengabaikan kebutuhan yang lebih penting dan seringkali merasa tidak puas.

Banyak orang yang rela untuk mengantre panjang, bahkan ribut sekalipun karena kehabisan stok barang Labubu di Pop Mart hanya karena ingin memiliki boneka mungil tersebut.

Logikanya, banyak orang membeli barang-barang seperti Labubu bukan karena kebutuhan, tetapi karena ingin menunjukkan status sosial mereka.

Fenomena Labubu tidak hanya soal mengikuti tren, tetapi juga mencerminkan bagaimana konsumerisme telah menjadi bagian dari identitas sosial kita. Harga yang tinggi membuat Labubu menjadi simbol eksklusivitas, yang bertujuan memenuhi keinginan sebagian orang untuk diakui dan dihargai oleh lingkungan sosialnya.



Boneka Labubu, dengan segala pesonanya, telah menjadi bagian dari budaya populer. Namun, di balik keindahannya, kita perlu waspada terhadap sisi negatif dari konsumerisme yang berlebihan. Mari kita jadikan hobi mengoleksi sebagai sarana untuk berekspresi dan bersosialisasi, tanpa melupakan nilai-nilai penting dalam hidup.

Sekian ulasan mengenai Sisi Positif dan Negatif Boneka Labubu: Antara Koleksi dan Konsumerisme. Semoga bermanfaat!

MG/Inda Farahainnisa
© Copyright @2024 LIDEA. All Rights Reserved.