Konflik Timur Tengah Bisa Picu Subsidi Minyak-Harga Pangan Naik
kumparanBISNIS October 05, 2024 01:20 PM
Konflik antara Iran dengan Israel memicu melonjaknya harga minyak mentah dunia. Situasi ini dikhawatirkan dapat mempengaruhi subsidi minyak yang ada dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pada Jumat (4/10), harga minyak mentah di indeks West Texas Intermediate ditutup di angkar USD 74 dolar per barel. Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, menyebut jika harga minyak terus melonjak maka subsidi yang harus diberikan jua akan lebih besar.
“Nah itu yang akan jauh lebih besar gitu ya besarannya tentu saja ketika dia melampaui dari harga APBN misalnya APBN ditetapkan katakanlah 80 (dollar per barel) atau 82 (dollar per barel) ya, tapi realnya nanti kalau misalnya selama beberapa bulan terus harganya diatas 80 (dollar per barel) nah selisih itu yang kemudian akan ditanggung oleh pemerintah,” kata Tauhid pada kumparan, Sabtu (5/10).
Potensi peningkatan eskalasi di Timur Tengah dengan kekhawatiran akan terlibatnya China dan Rusia di konflik tersebut, bakal berdampak pada seberapa kuat APBN dalam menghadapi lonjakan selisih harga minyak.
“Seberapa kuat APBN ya seberapa besar selisih harganya dan berapa lama kalau misalnya harga makin jauh diatas 80 (dollar per barel) misalnya eskalasinya lama saya kira itu akan jauh lebih besar. Nah yang ditakutkan dari situasi Timur Tengah adalah Itu eskalasinya meluas jadi negara-negara Timur Tengah bersatu atau negara barat terutama ini akan bersatu atau misalnya ada konflik internasional China dan Rusia ikutan dan sebagainya,” lanjutnya.
Kekhawatiran akan melonjaknya harga minyak mencapai USD 100 dolar per barel juga muncul. Jika nantinya hal ini terjadi, maka bisa berpengaruh terhadap harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi dan non-subsidi di Indonesia.
“Kita sangat khawatir konsekuensinya bukan hanya subsidi meningkat pasti harga di market juga meningkat dan harga BBM baik yang subsidi maupun non-subsidi pasti harus dinaikkan. Itu yang kita khawatir kalau misalnya dengan situasi ini harga BBM tembus di atas USD 100 dollar per barel,” jelasnya.
Tauhid bilang, situasi ini pernah terjadi ketika perang Rusia-Ukraina pecah pada tahun 2022. Di masa itu, harga BBM akhirnya dinaikan.
“Kalau diatas 100 (dollar per barel) kita mengulang kejadian di tahun 2022 Pada waktu krisis Rusia-Ukraina. Pertama kali harga tembus di situ dan konsekuensinya pemerintah menaikan harga BBM dan itu menyebabkan inflasi yang cukup besar,” terangnya.
Selain harga minyak, konflik Timur Tengah juga dapat mempengaruhi harga pangan utamanya untuk komoditas yang berasal dari importasi. Hal ini bisa terjadi jika Iran menutup akses jalur perdagangan di Timur Tengah.
Tauhid mengatakan, kenaikan komoditas juga pernah terjadi pada gandum saat perang Rusia-Ukraina pecah.
“Kita harus siap-siap bukan hanya dampaknya ke harga energi saja tetapi harga pangan yang lain di dunia itu juga ikuti kita naik Ini seperti halnya terjadi di kasus waktu Rusia-Ukraina pecah. Itu kan harga pangan melonjak, nah misalnya kita kan impornya mulai katakanlah impor pangan itu misalnya gandum ya bisa saja eskalasi naik selain BBM ya gandum, kemudian jagung, kemudian katakanlah Kedelai, kemudian juga katakanlah apa namanya bawang putih yang importasi besar-besaran naik itu risiko ke harga pangan dunia dan komunitas lain juga.,” kata Tauhid.
Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Kacaribu menegaskan dampak konflik Timur Tengah terhadap APBN 2024 relatif aman, mengingat beberapa indikator perekonomian menunjukkan perbaikan. Salah satunya adalah penguatan nilai tukar rupiah, penurunan suku bunga, dan harga komoditas yang mulai stabil dibandingkan pertengahan 2023.
Walau begitu, Febrio menuturkan masih ada tantangan yang harus diantisipasi dengan baik, terutama untuk 2025.
© Copyright @2024 LIDEA. All Rights Reserved.