Petani FOMO Panen Penyesalan
Ari Reski Sashari October 08, 2024 06:26 PM
FOMO (Fear of Missing Out) kini merambah ke ladang-ladang petani, menjadi perangkap yang membuat mereka terjebak dalam keputusan tergesa-gesa dan menyesal kemudian. Ketika harga biji kakao merosot drastis pada awal 2021, hingga tak lagi bernilai di mata pasar, petani di Sulawesi Selatan panik dan buru-buru menebang pohon kakao mereka. Tergiur oleh kilauan harga karet yang melonjak, tak menyadari bahwa langkah ini adalah permainan berisiko tinggi.
Bermodal keyakinan rapuh bahwa harga karet akan cenderung stabil, para petani memutuskan untuk meninggalkan kakao yang telah lama menjadi penopang ekonomi mereka. Namun, kenyataan pahit menunggu. Pada Februari 2024, harga kakao melambung lebih dari dua kali lipat, dipicu oleh cuaca ekstrem, kebakaran hutan, dan serangan virus yang menekan pasokan global. Hingga September 2024, harga kakao bahkan mencapai Rp150.000 per kilogram suatu harga yang mungkin tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Ironisnya, petani yang sudah beralih menanam karet sepenuhnya, kini hanya bisa gigit jari, menatap nanar peluang emas yang telah terlewat. Pohon karet yang mereka tanam baru akan memberikan hasil setelah 4 hingga 5 tahun, sementara mereka harus bertahan hidup tanpa pendapatan signifikan. Keputusan gegabah yang diambil karena ketakutan akan ketinggalan ternyata membawa mereka ke dalam jurang kerugian.
Fluktuasi harga menjadi momok menakutkan, menciptakan dilema tak berujung bagi para petani, mempertahankan tanaman dengan harga rendah atau mengejar peluang baru yang penuh ketidakpastian. Di tengah harapan yang belum pasti, mereka justru kehilangan kesempatan untuk meraih keuntungan dari harga kakao yang meroket.
Petani-petani ini, yang awalnya hanya ingin meraih sedikit kestabilan ekonomi, kini terjebak dalam siklus penyesalan. Keputusan yang mereka ambil dengan tergesa-gesa, didorong oleh rasa takut tertinggal, berakhir dengan menyisakan derita panjang yang sulit untuk dipulihkan. FOMO telah berubah menjadi penyesalan yang menyakitkan, membuktikan bahwa tidak semua yang tampak menguntungkan di awal akan memberikan hasil yang diinginkan di akhir.
Siklus Pasang Surut
Fenomena ini bukanlah yang pertama kali melanda dunia pertanian di Sulawesi Selatan. Pada awal tahun 2000 an, petani vanili di mengalami gejolak harga yang mengguncang perekonomian mereka. Harga vanili yang semula hanya sekitar 75.000 per kilogram tiba-tiba melonjak drastis hingga mencapai 225.000 per kilogram. Lonjakan ini memberi harapan besar kepada para petani, mendorong mereka untuk menanam lebih banyak vanili dengan harapan keuntungan yang melimpah.
Namun, harapan itu segera sirna ketika harga vanili anjlok drastis, bahkan tak lagi bernilai. Dalam keputusasaan, banyak petani terpaksa menebang pohon vanili mereka dan beralih ke tanaman lain, seperti merica.
Stok vanili lama yang tidak terjual pun dibiarkan membusuk di gudang. Namun, pada tahun 2016, harga vanili kembali merangkak naik dan mencapai puncaknya di angka 8 juta rupiah per kilogram.
Mengapa nasib petani selalu diombang-ambingkan oleh fluktuasi harga yang tak terkendali? Apakah ini murni mekanisme pasar, atau ada pihak-pihak tertentu yang sengaja memainkan harga demi keuntungan sesaat?
Dalam konteks ini, apakah pemerintah sudah cukup memberi perlindungan kepada petani, atau justru membiarkan mereka terperangkap dalam siklus yang terus berulang? Bagaimana dengan peran pemerintah dan kebijakan pertanian yang ada apakah mereka benar-benar berpihak pada petani, ataukah hanya menjadi penonton pasif dalam drama ini?
Dua Sisi Koin
Kita sedang menyaksikan pola yang terus berulang, seperti dua sisi koin, komoditas vanili dan kakao mengajarkan kita bahwa pasar pertanian dapat berubah dengan sangat cepat, dari satu ekstrem ke ekstrem lainnya.
Kasus korupsi mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, yang terlibat dalam pemerasan, penyalahgunaan kekuasaan, dan penyuapan, menunjukkan betapa rentannya sistem pertanian di Indonesia. Semakin memperumit kondisi yang sudah genting, terutama bagi para petani. Dalam situasi yang seharusnya mendukung peningkatan kesejahteraan, korupsi malah menambah beban dan menciptakan tekanan lebih besar.
Di tengah tantangan volatilitas pasar yang semakin tidak menentu, petani kerap kali tidak memiliki akses yang memadai terhadap informasi, teknologi, atau kebijakan yang bisa membantu mereka bertahan. Ini menimbulkan pertanyaan penting tentang resiliensi sistem pertanian kita.
Di sisi lain, adanya fluktuasi harga yang sulit diprediksi juga menjebak petani dalam siklus ketidakpastian tanpa adanya perlindungan yang layak. Kondisi ini menggiring kita untuk merenungkan kembali apakah kita ingin terus bergantung pada sistem ekonomi yang tidak stabil, di mana nasib petani bergantung pada pergerakan pasar yang cepat berubah sewaktu-waktu.
Pentingnya langkah-langkah konkret untuk memastikan bahwa sistem pertanian di Indonesia tidak hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu, minimal memberantas permasalahan paling dasar yaitu mafia pupuk, karena tanaman memerlukan nutrisi secara kontinyu, sama halnya dengan manusia, kecuali bagi para koruptor.
© Copyright @2024 LIDEA. All Rights Reserved.