Pengamat Beberkan Ujian Prabowo Capai Swasembada Energi dalam 4-5 Tahun
kumparanBISNIS October 23, 2024 02:20 PM
Presiden Prabowo Subianto berambisi mencapai swasembada energi di masa pemerintahannya. Impian ini dinilai dapat menjadi hambatan di tengah kemampuan teknologi yang belum mumpuni di Indonesia.
Dalam pidato perdananya setelah dilantik pada Minggu (20/10), Prabowo menjanjikan bahwa Indonesia akan mencapai swasembada energi dalam waktu 4-5 tahun. Sebelum pelantikan, Prabowo juga sudah menyatakan komitmenya untuk mencapai kedaulatan energi melalui pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT).
Sumber daya energi tersebut bisa menjadi bahan bakar nabati untuk campuran solar dan bensin, seperti kelapa sawit, singkong, tebu, sagu, jagung, dan lain-lain. Indonesia juga juga punya energi panas bumi, batu bara, energi tenaga air, angin, dan matahari.
Pengamat Ekonomi Energi UGM, Fahmy Radhi. Foto: Dok. Istimewa
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, mengatakan pekerjaan rumah terbesar untuk mengolah sumber daya EBT tersebut adalah dari sisi tenologi.
"Masalahnya, Indonesia tidak memiliki teknologi untuk mengolah sumber daya energi tersebut menjadi EBT," tegas Fahmy dalam keterangannya, dikutip Rabu (23/10).
Fahmy menuturkan, Pertamina sudah mengusahakan biodiesel, yang merupakan percampuran solar dengan minyak sawit, dimuilai dari B20 menjadi B35, ditargetkan naik menjadi B40 di awal Januari 2025 nanti.
Bahkan, Pertamina sempat menggandeng perusahaan migas asal Italia, ENI, untuk pengembangan kilang hijau atau green refinery di Plaju, Sumatera Selatan untuk memproduksi biodiesel 100 persen atau B100. Fahmy menyayangkan kerja sama ini akhirnya dibatalkan.
"Pengembangan biodiesel selain tidak dapat dicapai, program EBT berbasis sawit juga berpotensi bertabrakan dengan program pangan untuk menghasilkan minyak goreng," kata Fahmy.

Soroti Proyek Gasifikasi Batu Bara

Ilustrasi tambang batu bara. Foto: Shutterstock
Selain biodiesel, kedaulatan energi juga digadang-dagang dapat dicapai dengan proyek gasifikasi batu bara menjadi dimetil eter, sebagai pengganti LPG yang masih bergantung pada impor.
Fahmy juga menyoroti proyek ini juga tidak kunjung ada titik terang, karena hengkangnya Air Products, perusahaan asal Amerika Serikat pemilik teknologi yang bekerja sama dengan PT Bukit Asam dan Pertamina di proyek DME di Sumatera Selatan.
"Alasannya, gasifikasi dinilai tidak mencapai keekonomian lantaran harga pasar batu bara berfluktuasi," lanjutnya.
Dia menyebutkan, untuk mendapatkan teknologi yang dibutuhkan dalam mencapai swasembada energi, ada dua upaya yang harus dilakukan pemerintah. Pertama, menarik investor asing pemilik teknologi untuk bekerja sama dengan perusahaan energi dan BUMN dalam negeri.
Dua petugas Pertamina memeriksa pipa jalur distribusi BBM yang akan dikirim ke terminal bahan bakar untuk kebutuhan Jakarta, banten dan Jawa barat di Kilang Pertamina Internasional (KPI) Unit Balongan di Indramayu, Jawa Barat. Foto: Dhedez Anggara/ANTARA FOTO
Kemudian strategi kedua adalah mengembangkan riset (R&D) di dalam negeri dengan menggandeng Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan universitas-universitas Indonesia untuk menghasilkan teknologi yang dibutuhkan.
Menurut Fahmy, upaya-upaya itu dibutuhkan komitmen jangka panjang karena R&D membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar. Komitmen Prabowo untuk mencapai swasembada energi harus ditindak-lanjuti oleh menteri-menteri terkait Kabinet Merah Putih secara konsiten dan berkelanjutan.
"Tanpa upaya serius dan terus menerus, komitmen Prabowo yang disampaikan pada pidato perdana sebagai Presiden untuk mencapai swasembada energi tak lebih hanya omon-omon saja," pungkasnya.

Masih Bergantung Impor

Petugas pangkalan di Aceh saat menurunkan gas LPG 3 Kg. Foto: Dok. Istimewa
Sementara itu, Pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknologi Indonesia (MITI), Mulyanto, juga menilai keinginan Prabowo untuk mewujudkan swasembada energi merupakan ide bagus namun sulit diwujudkan.
Mulyanto mengatakan, saat ini Indonesia masih sangat bergantung pada impor BBM dan LPG untuk mencukupi kebutuhan energi masyarakat. Jika ingin mengurangi impor lewat swasembada energi, maka pemerintah harus membangun infrastruktur dan teknologi produksi migas yang memadai.
"Jadi kalau tiba-tiba pemerintah ingin wujudkan swasembada energi maka banyak aspek yang perlu dibenahi. Bukan hanya infrastruktur yang perlu disiapkan tapi tata kelolanya juga harus dirombak total," tegas.
Mulyanto menyebut untuk mewujudkan kemandirian energi, pemerintah harus membenahi dua sektor sekaligus. Pertama dari sisi hilir (demand) perlu digalakkan langkah penghematan, pembatasan dan pengawasan, termasuk juga mengejar target bauran energi baru terbarukan (EBT) di masyarakat.
"Ya terutama pengurangan demand migas untuk transportasi melalui substitusi mobil listrik, yang selama ini masih berjalan lambat. Jadi program kendaraan listrik ini bisa bersinergi dgn program kemandirian migas," ujar mantan Anggota Komisi VII DPR RI itu.
Begitu pula terkait penggunaan gas LPG, kata Mulyanto, perlu langkah yang lebih masif untuk substitusi penggunaan gas LPG ke gas alam yang relatif berlimpah. Penggunaan kompor gas LPG secara bertahap harus diganti dengan kompor gas alam (jargas).
"Dengan kata lain program Jargas rumah tangga mesti menjadi gerakan yg massif. Target 4 juta sambungan rumah tangga harus diwujdkan," sambungnya.
Sedangkan di sisi hulu (supply), Mulyanto menambahkan, peran Pertamina yang menguasai lebih dari 60 persen lifting minyak, harus lebih agresif membuka ladang eksplorasi baru menggunakan teknologi terkini.
"Giant discovery untuk eksplorasi dan optimalisasi eksploitasi minyak harus menjadi perhatian di samping merampungkan pembangunan kilang-kilang baru Pertamina. Dengan kata lain perlu ditingkatkan lifting minyak pertamina sekaligus produksi BBM melalui kilang domestik," tandas Mulyanto.
© Copyright @2024 LIDEA. All Rights Reserved.