---
Intisari-online.com - Angin semilir berhembus lembut, menggoyangkan dedaunan pohon beringin tua yang menaungi kompleks makam Ki Ageng Henis.
Di bawah naungan teduh itu, terhampar sebuah kisah, terukir dalam liku-liku sejarah, tentang bagaimana sebuah kampung di tepian Bengawan Solo menjelma menjadi pusat batik yang tersohor.
Laweyan, namanya. Sebuah nama yang kini identik dengan guratan canting dan warna-warni kain yang memesona.
Mayoritas penduduknya, seperti tercatat dalam buku "Sejarah Kota Surakarta" karya R.M. Sajid (1939), bermata pencaharian sebagai petani dan pedagang.
Namun, takdir telah menenun benang-benang sejarah yang akan mengubah wajah Laweyan selamanya.
Pada abad ke-15, seorang tokoh kharismatik bernama Ki Ageng Henis datang dan menetap di Laweyan.
Ki Ageng Henis, yang merupakan keturunan Raja Brawijaya V dari Majapahit, bukan hanya seorang ulama yang disegani, tetapi juga seorang seniman dan budayawan.
Beliaulah yang pertama kali memperkenalkan seni membatik kepada masyarakat Laweyan.
Dalam buku "Batik dan Mitra: Budaya Batik Indonesia" karya Soedarmadji Damais (1986), dijelaskan bahwa Ki Ageng Henis mengajarkan teknik membatik tulis dengan menggunakan canting dan malam.
Motif-motif yang diajarkannya sarat dengan nilai-nilai filosofis dan spiritual, mencerminkan kearifan lokal dan ajaran agama Islam yang dianutnya.
Ajaran Ki Ageng Henis jatuh di tanah yang subur. Masyarakat Laweyan, yang sebelumnya telah terbiasa menenun kain, dengan cepat menyerap ilmu membatik.
Batik Laweyan pun mulai berkembang, dikenal dengan ciri khasnya yang halus, penuh detail, dan didominasi warna-warna sogan yang elegan.
Pada masa pemerintahan Keraton Pajang (1546-1587), Laweyan semakin berkembang sebagai sentra produksi batik tulis warna alami.
Hal ini didukung oleh letak Laweyan yang strategis, berada di jalur perdagangan antara Keraton Pajang dan wilayah-wilayah di sekitarnya.
Para pedagang dari berbagai daerah singgah di Laweyan, membawa serta berbagai komoditas perdagangan, termasuk kain batik.
Kejayaan Laweyan sebagai pusat batik mencapai puncaknya pada awal abad ke-20. Berbagai faktor berkontribusi terhadap fenomena ini, antara lain:
Munculnya Juragan Batik: Seperti dikisahkan dalam "Kampoeng Batik Laweyan" dikutip dari situs kampoengbatiklaweyan.org, pada awal abad ke-20, muncul sejumlah juragan batik di Laweyan yang memiliki modal besar dan kemampuan manajerial yang baik.
Mereka membangun pabrik-pabrik batik modern, mempekerjakan ratusan buruh, dan mengembangkan jaringan pemasaran yang luas.
Nama-nama seperti Haji Samanhoedi, Haji Darmodihardjo, dan K.H. Ahmad Dahlan tercatat sebagai pelopor industri batik di Laweyan.
Inovasi Teknik Batik Cap: Penemuan teknik batik cap pada tahun 1900-an merupakan sebuah revolusi dalam industri batik.
Teknik ini memungkinkan produksi batik dalam skala besar dengan biaya yang lebih murah.
Laweyan dengan cepat mengadopsi teknologi ini, sehingga mampu memenuhi permintaan pasar yang semakin meningkat.
Peran Organisasi Sarekat Dagang Islam: Organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh Haji Samanhoedi pada tahun 1911 memiliki peran penting dalam memajukan industri batik di Laweyan.
SDI membantu para pengusaha batik dalam memperoleh modal, memasarkan produk, dan melindungi hak-hak mereka.
Namun, di balik gemerlapnya industri batik, tersimpan juga kisah perjuangan dan ketahanan.
Pada masa penjajahan Belanda, para pengusaha batik di Laweyan harus berhadapan dengan berbagai rintangan, mulai dari pajak yang tinggi hingga persaingan dengan tekstil impor. Namun, mereka tidak menyerah.
Dengan semangat nasionalisme yang tinggi, mereka terus berkarya dan menjaga kelestarian batik sebagai warisan budaya bangsa.
Salah satu bentuk perlawanan para pengusaha batik terhadap penjajah adalah dengan menciptakan motif-motif batik yang mengandung pesan-pesan nasionalisme.
Motif-motif seperti Parang Rusak Barong, Semen Rama, dan Sidomukti dimaknai sebagai simbol perjuangan dan semangat pantang menyerah.
Pasca kemerdekaan, industri batik di Laweyan terus berkembang.
Generasi penerus para juragan batik berinovasi dengan menciptakan motif-motif baru yang lebih modern dan menyesuaikan dengan selera pasar. Namun, mereka tetap menjaga pakem dan filosofi batik tradisional.
Pada awal tahun 2000-an, Laweyan mengalami masa sulit akibat masuknya batik printing dari Cina. Batik printing yang lebih murah dan berproduksi cepat secara bertahap menggeser dominasi batik tulis dan cap tradisional.
Minimnya pengetahuan masyarakat dalam membedakan batik printing dan batik asli semakin memperparah situasi.
Namun, Laweyan tidak tinggal diam. Berbagai upaya dilakukan untuk melestarikan batik tulis dan cap tradisional, antara lain:
Pengembangan Kampung Batik Laweyan: Pada tahun 2004, pemerintah Kota Surakarta menetapkan Laweyan sebagai Kampung Batik Laweyan (KBL).
KBL dikembangkan sebagai sentra industri batik dan destinasi wisata budaya. Berbagai fasilitas pendukung dibangun, seperti showroom batik, workshop batik, dan museum batik.
Pelatihan dan Pembinaan Pengrajin Batik: Pemerintah dan berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) aktif menyelenggarakan pelatihan dan pembinaan bagi para pengrajin batik di Laweyan. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan daya saing batik Laweyan.
Promosi dan Pemasaran Batik Laweyan: Pemerintah dan para pengusaha batik gencar melakukan promosi dan pemasaran batik Laweyan, baik di dalam maupun luar negeri.
Berbagai event batik diselenggarakan secara reguler, seperti Solo Batik Carnival dan Laweyan Batik Festival.
Kini, Laweyan kembali bangkit sebagai salah satu sentra batik terkemuka di Indonesia. Batik Laweyan tidak hanya dikenal karena kualitasnya yang tinggi, tetapi juga karena nilai-nilai sejarah dan budaya yang terkandung di dalamnya.
Setiap helai kain batik Laweyan merupakan sebuah mahakarya seni yang menceritakan kisah panjang perjalanan sebuah kampung yang teguh menjaga tradisi leluhurnya.
*
---