TRIBUN-MEDAN.com - Bupati Konawe Selatan, Surunuddin Dangga meminta agar konflik antara guru Supriyani dan Aipda Wibowo Hasyim bisa diselesaikan secara kekeluargaan.
Ia meminta untuk keduanya saling memaafkan terkait tuduhan penganiayaan anak.
Kasus ini bermula ketika Supriyani ditahan di Lapas Perempuan dan Anak Kota Kendari setelah tuduhan penganiayaan terhadap anak Aipda WH.
Proses hukum berlanjut hingga sidang di Pengadilan Negeri Andoolo.
Meskipun pihak kepolisian, kejaksaan, dan Aipda WH berupaya melakukan mediasi, upaya tersebut tidak membuahkan hasil hingga pertemuan yang digagas oleh Bupati Surunuddin.
Inisiatif Bupati
Kuasa Hukum Supriyani, Samsuddin, menjelaskan bahwa pertemuan tersebut merupakan inisiatif Bupati Surunuddin untuk mendamaikan kedua belah pihak.
Pertemuan ini diadakan untuk menghindari riak-riak di Desa Baito.
Pemkab ingin menjaga keamanan dan mencegah adanya pihak-pihak yang memanfaatkan situasi ini.
"Intinya Pak Bupati menitikberatkan pada keamanan di Baito, apalagi ini menjelang Pilkada 2024 jangan sampai karena kejadian ini ada yang memanfaatkan untuk adu domba di sana, itu yang dihindari," kata Samsuddin.
Meskipun keduanya telah saling memaafkan, Samsuddin menegaskan bahwa proses hukum akan tetap berjalan di Pengadilan Negeri Andoolo.
Di sisi lain, Bupati Surunuddin berharap agar kasus ini dapat dihentikan.
Supriyani juga telah memberikan maaf kepada Aipda WH.
"Proses hukum tetap berjalan. Tapi tadi Pak Bupati menyampaikan kepada kejari dan berharap kasus ini dihentikan. Tadi juga Supriyani sudah memaafkan Pak Bowo (Aipda WH)," tandasnya.
Aipda Wibowo Ngaku Kena Mental Diserang Netizen
Aipda Wibowo Hasyim yang laporkan guru Supriyani ke Polisi atas tuduhan pemukulan terhadap anaknya kini alami ketakutan.
Dia mengaku diserang warganet dan mentalnya terganggu.
Aipda Wibowo kini memohon agar dilakukan mediasi dengan Supriyani.
Ia memohon agar kasus diselesaikan secara damai.
Orang tua pihak si bocah kini menjadi menutup diri akibat hujatan publik.
Hal itu disampaikan kuasa hukum keluarga Aipda WH, Laode Muhram.
Ia mengatakan, pihak korban tertekan oleh adanya pemberitaan publik.
Sehingga karena tekanan-tekanan itulah, orang tua korban menjadi menutup diri.
"Akhirnya daripada semakin melebar lagi, lebih baik melakukan mediasi," kata Laode.
"Dan itu juga mendapat bujukan dari pihak Kapolres dan Kejari. Hal ini juga diketahui tokoh agama," imbuhnya.
Karena itu, lanjut Laode, pihak korban menyerahkan permasalahan ini kepada orang-orang yang dipercaya, daripada melebar kemana-mana.
"Mereka akhirnya terima saja. Namun, catatan dalam mediasi itu kan permohonan maaf dan mengakui kesalahan.
Sebenarnya yang dikejar dari keluarga korban hanya satu, yakni ibu Supriyani mengakui kesalahannya," katanya.
Dikatakan Laode, suasana kebatinannya berbeda.
"Pada saat dekat persidangan publik sudah menghakimi, bahwa keluarga korban ini memeras, dan karena tidak diberikan uang, ibu Supriyani dipenjarakan.
Jadi, karena luar biasanya ini pemberitaan maka orang tua korban tertekan," ungkap Laode.
Sementara menurut pihak Aipda WH, saat di mediasi awal, guru Supriyani justru menantang dan membentak korban di hadapan orang tuanya.
"Sehingga saat dibentak itu, hati dari ibu korban sudah terluka, karena anaknya sudah dipukul, lalu dibentak lagi."
"Dan yang menambah luka itu pada saat Ibu Supriyani datang bersama suami dan kepala desa dengan membawa uang," katanya.
Jadi, lanjut Laode, itu juga mengklarifikasi semuanya, di mana jika orang tua korban menginginkan uang, sejak awal uang tersebut sudah diambil.
"Akhirnya suasana kebatinan ini berbeda, karena di awal merasa dimainkan, sedangkan di akhir keluarga korban ini terhakimi oleh framing yang dilakukan oknum-oknum tertentu," katanya.
Laode mengaku, ketakutan pihak keluarga korban ini menjadi masalah karena kasusnya ke mana-mana.
Karena itu, pihak korban mau mediasi, dengan catatan Supriyani mengakui kesalahannya dan meminta maaf.
"Jadi poinnya tetap ada pengakuan kesalahan dari Ibu Supriyani," tegasnya.
Namun Laode menilai, saat ini Supriyani sudah di atas angin dan merasa kuat, maka dari pihak korban tetap teguh juga untuk melanjutkan kasus.
"Kami ingin membuktikan apa yang sebenar-benarnya terjadi bahwa memang terjadi pemukulan."
"Kita menyelesaikan masalah ini dengan cara-cara yang mulia, sehingga kita juga berharap dalam keadilan ini dari terdakwa ada keinsafan, tidak lagi melakukan perbuatan."
"Jadi, itu saja sebenarnya yang ingin dikejar, tujuannya mulia kok. Namun, masalahnya Ibu Supriyani ini tidak mau mengakui lagi," katanya, melansir Tribun Medan.
Diketahui sebelumnya, Aipda WH sempat ngotot penjarakan guru honorer Supriyani atas tudingan telah memukul anaknya.
Bahkan Supriyani beberapa kali sempat datang ke pihak Aipda WH untuk meminta maaf.
Namun sang polisi dan istrinya kekeuh memproses ke jalur hukum.
Buntutnya, Supriyani pun sempat ditahan dan kini menjalani persidangan di Pengadilan Andoolo, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara.
Diketahui, kasus penganiayaan siswa yang dituduhkan kepada Supriyani sudah berlangsung sejak Rabu, 24 April 2024, lalu.
Korban diketahui berinisial D siswa kelas 1 SD anak Kanit Intelkam Polsek Baito, Aipda Wibowo Hasim.
Kasus ini viral setelah kejaksaan melakukan penahanan terhadap Supriyani di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan Kendari, pada Rabu, 16 Oktober 2024.
Setelah penahanan terhadap Supriyani ditangguhkan, guru SD tersebut bisa bebas untuk sementara dan menceritakan peristiwa yang dialaminya.
Supriyani yang dituduh menganiaya bocah kelas 1 SD dengan sapu ijuk kini mengungkap tabiat sang anak polisi tersebut.
Ditemui di kediamannya Kecamatan Baito, Konawe Selatan, Supriyani menjelaskan kalau dirinya mengajar di kelas yang berbeda dengan korban.
Pada hari kejadian, Supriyani juga sedang mengajar dan di kelas korban pun ada wali kelasnya.
Bahkan selama ini Supriyani mengaku belum pernah sekali pun berinteraksi dengan siswa tersebut.
"Enggak pernah, enggak pernah (berinteraksi)" ujar Supriyani eksklusif kepada TribunnewsSultra.com, Senin (28/10/2024).
Lalu Supriyani menceritakan keseharian siswa anak polisi tersebut, dimana para guru sudah mengetahui latar belakang siswa.
Supriyani yang cuma guru honorer menjelaskan bagaimana keseharian korban di sekolah.
Para pengajar di SDN 4 Baito, Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara, juga tidak berani berbuat macam-macam, apalagi memukul.
Para guru di tempat Supriyani mengajar bahkan juga selalu hati-hati saat bicara dengan korban.
"Itu memang dari awal sebelum anak itu masuk SD, guru-guru di situ sudah tahu semua," tutur Supriyani.
Supriyani menyebut, siswa D di kesehariannya dikenal aktif, bahkan sudah pernah mendapat peringatan dari mantan gurunya di TK.
"Sudah ada pesan dari guru TK-nya dulu, awas kalau menerima anak itu, hati-hati karena aktif," ungkapnya.
Supriyani memastikan, para guru juga tidak berani macam-macam kepada siswa tersebut.
"Jadi guru-guru di SD sudah hati-hati sekali. Bicara saja hati-hati, apalagi kalau sampai memukul begitu," imbuh Supriyani.
Setelah kasus ini, guru Supriyani mengaku belum mengajar di sekolah.
Namun tidak ada rasa trauma di benaknya untuk mengajar lagi.
"Belum. Tidak ada rasa trauma, saya akan tetap mengajar, karena anak-anak saya di sekolah sudah menunggu," tegasnya.
"Kemarin juga sempat jalan-jalan di sana didampingi pengacara untuk datang di sekolah," imbuh Supriyani.
"Belum sempat ketemu karena anak-anak sudah pulang," ungkapnya.
Kini harapan Supriyani sederhana ingin segera terbebas dari tuduhan dan masalah agar bisa kembali mengajar.
"Harapannya ke depannya, ya mudah-mudahan masalah ini cepat selesai, saya bisa terbebaskan tanpa hukuman apapun, karena saya tidak bersalah," ucapnya.
Tidak lupa, Supriyani mengucapkan rasa terima kasih kepada teman-teman dan semua pihak yang mendukungnya.
"Dan untuk teman-teman, terima kasih sudah membantu dan mendukung saya sampai saat ini," katanya.
"Saya ke depannya akan tetap menjadi guru yang rendah hati dan tetap semangat," tandas Supriyani.
(*/tribun-medan.com)