Bagaimana Sejarah Indonesia Menjadi Negara Non Blok?
Afif Khoirul M November 06, 2024 05:34 PM

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com -Fajar menyingsing di ufuk timur, semburat jingga membelai lembut langit Bandung.

Tahun 1955, di kota kembang inilah, benih-benih sebuah gerakan besar mulai disemai.

Para pemimpin dari dua benua, Asia dan Afrika, berkumpul dalam Konferensi Asia Afrika, menjahit persatuan di tengah dunia yang tercabik-cabik oleh Perang Dingin.

Indonesia, dengan Bung Karno sebagai nahkodanya, menjadi tuan rumah yang ramah, menawarkan semangat solidaritas dan jalan tengah di antara dua blok raksasa yang saling bersitegang.

Konferensi Asia Afrika, yang kemudian dikenal dengan sebutan Konferensi Bandung, menjadi tonggak penting dalam sejarah perjuangan bangsa-bangsa terjajah.

Ia melahirkan Dasasila Bandung, sepuluh prinsip yang menjadi landasan bagi negara-negara Asia-Afrika untuk menjalin kerja sama dan mencapai kemerdekaan.

Prinsip-prinsip ini, yang meliputi penghormatan terhadap hak asasi manusia, persamaan derajat semua bangsa, dan penyelesaian sengketa secara damai, menjadi nyala api yang menerangi jalan menuju dunia yang lebih adil dan beradab.

Di tengah pusaran Perang Dingin, di mana dunia terpolarisasi menjadi dua kubu yang saling berhadapan, Indonesia memilih untuk tidak memihak.

Bung Karno, dengan kharisma dan visinya yang mendunia, menyerukan pentingnya sebuah gerakan yang independen, yang tidak terikat pada blok Barat maupun blok Timur.

Gerakan ini, yang kemudian dikenal dengan Gerakan Non-Blok (GNB), menjadi wadah bagi negara-negara yang baru merdeka untuk bersatu dan menentukan nasibnya sendiri, bebas dari pengaruh kekuatan-kekuatan besar.

Tahun 1961, di Belgrade, Yugoslavia, GNB resmi didirikan. Indonesia, bersama dengan India, Yugoslavia, Mesir, dan Ghana, menjadi pelopor gerakan ini.

Mereka menyerukan pentingnya perdamaian dunia, penghormatan terhadap kedaulatan negara, dan kerjasama internasional yang setara.

GNB menjadi suara bagi negara-negara berkembang, yang selama ini terpinggirkan dalam percaturan politik global.

Indonesia, dengan semangat anti-kolonialisme dan anti-imperialisme yang membara, memainkan peran sentral dalam GNB.

Bung Karno, dengan pidato-pidatonya yang berapi-api, menggemakan semangat perjuangan bangsa-bangsa terjajah untuk meraih kemerdekaan dan keadilan.

Ia menyerukan pentingnya solidaritas di antara negara-negara Selatan, untuk bersama-sama menghadapi tantangan dan membangun dunia yang lebih baik.

Perjalanan Indonesia di GNB tidak selalu mulus.

Di tengah dinamika politik internasional yang kompleks, Indonesia harus menjaga keseimbangan antara prinsip-prinsip non-blok dan kepentingan nasionalnya.

Konfrontasi dengan Malaysia, yang dipicu oleh sengketa wilayah dan ideologi, menjadi ujian bagi komitmen Indonesia terhadap GNB.

Namun, Indonesia tetap teguh pada pendiriannya, menolak untuk terjebak dalam permainan politik blok-blok besar.

Pasca Orde Lama, Indonesia di bawah kepemimpinan Soeharto mengambil langkah pragmatis.

Meskipun tetap menjadi anggota GNB, Indonesia lebih fokus pada pembangunan ekonomi dan menjalin hubungan baik dengan negara-negara Barat.

GNB, yang sempat kehilangan momentum di era Perang Dingin, kembali menemukan relevansinya di era globalisasi.

Indonesia, dengan pengalamannya yang panjang di GNB, berperan aktif dalam mendorong gerakan ini untuk beradaptasi dengan tantangan baru, seperti isu lingkungan, kemiskinan, dan terorisme.

Reformasi 1998 membawa angin segar bagi politik luar negeri Indonesia.

Prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia, dan good governance menjadi landasan bagi Indonesia dalam menjalin hubungan internasional.

GNB, dengan semangat kemerdekaan dan kesetaraan, tetap menjadi bagian penting dari identitas politik luar negeri Indonesia.

Di abad ke-21, GNB menghadapi tantangan baru. Munculnya kekuatan-kekuatan baru, seperti China dan India, mengubah peta politik global.

Isu-isu global, seperti perubahan iklim, pandemi, dan konflik regional, menuntut kerjasama internasional yang lebih erat.

GNB, dengan keanggotaannya yang beragam, memiliki potensi untuk menjadi jembatan antara negara-negara maju dan berkembang, untuk bersama-sama mencari solusi bagi permasalahan global.

Indonesia, dengan posisinya yang strategis di Asia Tenggara dan pengalamannya yang panjang di GNB, memiliki peran penting untuk dimainkan.

Dengan diplomasi yang aktif dan konstruktif, Indonesia dapat mendorong GNB untuk menjadi kekuatan yang relevan dan berpengaruh dalam percaturan politik global.

Indonesia dapat menjadi motor penggerak bagi kerjasama Selatan-Selatan, untuk memperkuat solidaritas dan kemandirian negara-negara berkembang.

Sejarah Indonesia di GNB adalah cermin dari perjalanan bangsa ini dalam mencari jati diri dan menentukan posisinya di dunia.

Dari semangat anti-kolonialisme di era Bung Karno hingga pragmatisme di era Soeharto, dan reformasi di era pasca 1998, Indonesia terus berupaya untuk menjaga keseimbangan antara prinsip-prinsip non-blok dan kepentingan nasionalnya.

GNB, dengan segala dinamika dan tantangannya, tetap menjadi wadah bagi Indonesia untuk menyuarakan aspirasi dan berkontribusi bagi perdamaian dan kemajuan dunia.

Di tengah arus globalisasi yang deras, Indonesia tetap teguh pada komitmennya untuk menjadi negara non-blok, yang merdeka, berdaulat, dan berperan aktif dalam membangun tatanan dunia yang lebih adil dan beradab.

---

© Copyright @2024 LIDEA. All Rights Reserved.