TIMESINDONESIA, MALANG – Pakar Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya, Ria Casmi Arrsa, SH, MH, berpendapat bahwa struktur "Kabinet Gemuk" di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo dapat menimbulkan kebingungan di kalangan pemerintah daerah (Pemda). Khususnya dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Hal itu dia ungkapkan ketika gelaran FGD Hubungan Pusat-daerah Dalam Konteks Harmonisasi Dan Sinkronisasi RPJPN, RPJP Provinsi, RPJP Kabupaten/Kota di Bidang Transformasi Tata Kelola Supremasi Hukum, Stabilitas dan Kepemimpinan Indonesia Dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, Kamis (7/11/2024) di Hotel Montana Malang.
Pria yang juga sebagai Ketua Pusat Pengembangan Otonomi Daerah (PPOTODA) Fakultas Hukum UB itu menyebutkan bahwa penambahan kementrian hingga badan baru akan menambah kompleksitas birokrasi dan berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan.
“Kita menghadapi tantangan over struktural dan over birokrasi. Ketika Kabinet Merah Putih gemuk, ditambah lagi adanya unsur wakil menteri, utusan khusus, dan badan-badan lain. Hal ini mungkin belum terasa pada 2024, namun akan mulai berdampak pada 2025 saat proses penyusunan RKP dan RKPD,” ungkap Ria.
Arrsa menilai bahwa birokrasi yang semakin gemuk akan menimbulkan inefisiensi dan tumpang tindih kewenangan, yang justru bertentangan dengan upaya penyederhanaan birokrasi yang selama ini digaungkan pemerintah.
"Birokrasi gemuk berisiko menyebabkan inefisiensi anggaran dan tumpang tindih tugas. Padahal, kita selalu menekankan efektivitas dan efisiensi dalam pemerintahan," jelasnya.
Meskipun beberapa pihak mendukung "Kabinet Gemuk" karena dianggap lebih fokus dalam menangani bidang-bidang tertentu, Arrsa menilai nilai positif tersebut belum cukup kuat untuk menutupi dampak negatifnya.
“Selain kelebihan fokus dalam penanganan, dampak negatif seperti tumpang tindih birokrasi dan anggaran yang kurang efisien akan lebih dominan,” tambahnya.
Menurutnya, pemerintah daerah juga akan mengalami kebingungan dalam menjalankan fungsi pelaporan dan koordinasi data. Sebagai contoh, jika Kementerian Hukum dan HAM dipecah menjadi beberapa entitas, seperti Kementerian Hukum dan Kementerian HAM yang terpisah, akan sulit bagi Pemda untuk memahami siapa yang memiliki kewenangan dalam pelaksanaan kebijakan hukum dan HAM di tingkat daerah.
“Dalam hal pelaporan dan data saja, pemda bisa bingung, misalnya jika ada Kementerian Hukum, Kementerian HAM, dan kementrian imigrasi dan pemasyarakatan yang terpisah. Ini akan membingungkan siapa yang punya kewenangan di tingkat nasional dan daerah,” kata dia.
Dengan adanya tantangan ini, Arrsa berharap pemerintah mempertimbangkan dampak panjang dari struktur kabinet yang gemuk terhadap kinerja birokrasi dan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, demi menciptakan pemerintahan yang lebih efektif dan efisien. (*)